“Pa, dingin...” Ken yang berada di pangkuanku, menarik selimut sampai leher. Saat ini kami sedang berada di balkon, lebih tepatnya, balkon kamarku yang ada di rumah orang tua.
Semenjak Syafa pergi, yakni baru satu minggu yang lalu, aku belum pulang lagi ke rumah. Aku tidak sanggup kalau harus pulang dalam waktu dekat ini, karena bayangan Syafa terus saja memenuhi otak.
Syafa yang sedang memasak, Syafa yang bermain dengan Ken, juga Syafa yang sedang memarahiku karena aku lupa menjemur handuk, semuanya terus memenuhi pikiranku. Aku benar-benar tidak tahu sampai kapan aku akan kuat pulang ke rumah yang lima tahun ini aku tempati bersamanya.
Ngomong-ngomong mengenai penyakit Syafa, dia mengidap penyakit jantung bawaan sejak lahir. Dia optimis dengan penyakitnya, jadi dia selalu menyempatkan diri untuk rutin check up ke dokter.
Aku masih ingat dengan jelas ketika dia bilang akan hidup untuk waktu yang lama denganku, tetapi ternyata, dia tidak bisa menepati janjinya. Dia meninggalkanku beberapa hari setelah kami merayakan anniversary pernikahan yang ke-lima. Dia meninggalkanku untuk selama-lamanya, meninggalkan kenangan manis yang sangat melekat di ingatan.
Kurasa, saat ini aku harus berhenti berbicara tentang Syafa, atau kalau tidak, aku takut air mataku akan menetes membasahi kepala Ken. Aku tidak peduli kalau aku dikata pria cengeng. Kalian yang belum pernah ditinggal orang terkasih, tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya.
“Pa, Mama di sana lagi apa, ya?” tiba-tiba saja, Ken mendongak. Dia kini menatapku sambil tersenyum.
“Lagi duduk di tempat yang bagus banget, lagi lihatin kita dari kejauhan. Mama lagi tersenyum.” Aku mengusap kepala Ken, pelan.
“Bener gitu, Pa?”
Aku mengangguk. “Iya. Ken yakin, kan, Mama di sana bahagia?”
“Iya, Pa. Ken yakin banget!” Ken menekankan kalimatnya, lalu menatap ke atas, tepatnya ke langit yang malam ini terdapat banyak sekali bintang.
Sejujurnya, tiap kali Ken bertanya tentang Syafa, aku sering bingung sendiri menjawab pertanyaannya. Dia paham kalau Mamanya pergi, tetapi dia terus menanyaiku banyak hal yang aku sendiri tidak tahu pasti jawabannya.
Seperti Mama sedang apa, Mama sudah makan atau belum, kangen dengannya atau tidak, Ken terus bertanya hal-hal semacam itu. Pertanyaan yang Ken lontarkan sebenarnya sangat sederhana, tetapi aku tetap tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Akhirnya, aku hanya menjawab sekenanya, yang kiranya bisa membuat Ken tersenyum tenang.
“Pa, besok jenguk Mama, yuk? Tadi mataharinya panas, pasti bunganya udah kering.”
“Boleh. Agak sore tapi, ya? Pagi sampai siang Papa ada urusan.”
Ken mengangguk antusias. “Oke, Pa.”
Untuk beberapa saat lamanya, baik aku maupun Ken, kami hanya diam sambil menatap langit. Sesekali aku menunduk, mengamati Ken yang tak berkedip.
Apakah dia mulai merindukan Mamanya?
Aku mengeratkan dekapanku pada Ken, lalu mencium pucuk kepalanya agak lama. Aku hampir saja menangis andai Ken tidak kembali mendongak.
“Pa, habis jenguk Mama, kita ke taman, ya?”
Keningku seketika mengernyit bingung. “Kenapa kok mau ke taman?”
“Pengen ketemu Tante Dila. Papa belum kenalan, kan?”
Mendengar itu, aku hanya tersenyum tipis. “Papa enggak pengen kenalan.”
“Ih, Tante Dila baik. Itu di baju Ken yang hitam, masih ada permen dari Tante Dila.” Ken meringis lucu, sambil menunjuk ke arah pintu kamar yang terbuka lebar.
Memang, baik bajuku maupun baju Ken yang dipakai ketika acara pemakaman, masih belum dicuci dan menggantung di sudut ruangan. Ibu sudah menawarkan diri untuk mencucinya, tetapi aku menolak.
“Memangnya waktu itu Ken dikasih permen?”
“Iya, soalnya Tante Dila lihat Ken nangis, terus Ken dipangku, terus dikasih permen.”
“Enak permennya?”
“Enak. Manis. Dikasih tiga, masih dua.”
Aku mengusap kepala Ken lembut. “Ya udah, semoga besok Tante Dila di taman, ya...”
“Iya, Pa. Kalau enggak, Ken mau nangis lagi.”
“Loh... ya jangan, dong!”
“Soalnya kangen, Pa! Harus ketemu pokoknya...” Ken kembali mengeratkan selimutnya, dan aku juga memperbaiki posisi duduknya di pangkuanku.
Ngomong-ngomong ‘Tante Dila’ yang dimaksud Ken, dia perempuan yang waktu itu kan? Kalau dari yang aku lihat sekilas, dia tampak masih muda. Andai memang besok kami ada kesempatan bertemu, aku akan berterimakasih sekali lagi padanya. Bagaimanapun juga, dia sudah menjaga Ken ketika aku tidak ada.
***
Keesokan hari...
“Papa! Tante Dila bohong!” aku mulai kewalahan ketika Ken menangis sangat keras karena tidak berhasil bertemu dengan ‘Tante Dila’-nya.
“Minggu depan kita ke sini lagi, ya?”
“Enggak mau! Maunya sekarang!” Aku mendekap erat, ketika tangisan Ken semakin keras terdengar.
Ke mana aku harus mencari perempuan itu? Dilihat dari penampilannya, dia berada di taman ini tampak iseng. Maksudku, melihat wajahnya yang sedih, kukira dia sedang menenangkan diri di tempat yang sepi.
Ini juga, tumben sekali Ken menangis sampai seperti ini?
Sejauh ini, yang bisa membuat Ken berhenti menangis hanya Syafa. Aku selalu menyerah, karena usahaku sering sia-sia. Selama ini hanya syafa yang paling mampu mengubah mood Ken dalam waktu singkat. Aku sangat payah dalam hal ini.
“Besok, deh. Kita ke sini lagi. Oke?” Ken terus menggeleng dan menangis semakin keras.
Duh! Aku harus bagaimana?
Sebenarnya, Ken termasuk anak yang kalem dan tenang. Dia jarang sekali menangis hanya karena hal-hal kecil. Akan tetapi, tiap kali Ken sudah terlanjur menangis keras, jangan harap bisa membuatnya diam. Dia hanya lunak dengan Mamanya, dan sekarang Mamanya sudah tiada.
Di satu sisi, anakku ini sangat penurut dan jauh dari kata rewel, tetapi di sisi lain, dia keras kepala. Terkadang, jika sedang tidak ingin dibantah, dia mendadak sulit dilunakkan. Seperti saat ini contohnya.
“Sayang, Papa janji bakal cari Tante Dila buat kamu. Tapi jangan sekarang. Oke?”
“Mau sekarang!” Aku meringis ketika Ken meninju pundakku.
“Ken sayang Papa, kan?” tanyaku yang membuat Ken tiba-tiba memelankan tangisannya.
“Iya...”
“Papa juga sayang sama Ken. Sekarang udah sore, kalau nanti tiba-tiba hujan lagi, gimana? Nanti Ken masuk angin.”
“Tapi, mau lihat Tante Dila...” isaknya sambil memeluk leherku erat.
“Iya, segera. Papa bakal cari Tante Dila. Kalau perlu, nanti Papa marahin dia, soalnya ingkar janji—“
“Jangan dimarahin! Nanti Tante Dila enggak mau ketemu Ken lagi!” satu tinjuan dari tangan mungilnya kembali menghantam pundakku.
Aku menghela napas panjang. “Iya, Papa enggak akan marahin Tante Dila. Tapi sekarang kita pulang ya?
Ken mengangguk. “Ya udah... iya.”
Aku mengembuskan napas lega begitu Ken berhenti menangis dan akhirnya mau kuajak pulang. Selama aku menggendongnya ke mobil, tatapan Ken terus tertuju ke arah gazebo taman.
Sebenarnya apa yang sudah perempuan itu lakukan pada Ken? Kenapa Ken begitu ingin bertemu lagi dengannya?
***