Prolog
Aku menatap nanar ke arah makam yang masih sangat baru, yang di atasnya baru saja ditaburi aneka kelopak bunga. Air mataku kembali menggenang, tetapi aku buru-buru mendongak untuk menahannya agar tidak sampai keluar.
Semua orang sudah pulang, tinggal aku sendirian di sini. Keluargaku menunggu di luar area pemakaman, tidak berani mengajakku untuk segera pulang. Mereka tahu betapa saat ini aku merasa kehilangan.
Syafa, istriku, pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Mulai detik ini aku sudah tak bisa melihat senyumnya lagi, tidak mendengar omelannya lagi, juga tidak merasakan usapan lembut tangannya yang selalu menjadi favoritku. Dia pergi meninggalkan ribuan kenangan yang membuatku semakin merasa kehilangan.
Aku jongkok, lalu kuusap batu nisan itu perlahan. “Sya, kamu udah enggak sakit lagi. Aku ikhlas kamu pergi, meski sangat sulit. Jangan khawatir, kupastikan Ken aman denganku. Aku akan berusaha membesarkan dia dengan baik, sampai kamu bisa menatap bangga dari sana. I love you, Sya...”
Aku kembali berdiri, lalu mengusap air mata yang menitik di pelupuk. Aku memakai kembali kacamata hitamku, lalu bergegas pergi meninggalkan area pemakaman.
“Dan, sudah selesai?” Ibu bertanya sambil menatapku sendu.
“Udah, Bu. Ken mana? Aku mau ajak dia ke suatu tempat dulu sebelum pulang.”
“Loh? Bukannya Ken sama kamu?” itu suara Ayah.
“Enggak, Yah. Kukira Ken ikut Ibu. Oh, ya ampun!“ detik itu juga, aku langsung berlari mencari Ken.
Bisa-bisanya aku tidak sadar kalau Ken pergi tanpa aku, juga tanpa orang tuaku?
“Ken? Kamu di mana? Ken!” aku terus berlari sambil celingukan mencari anakku yang tak terlihat batang hidungnya.
“Enggak ada, Dan?” Ayah dan Ibu menyusul, dan aku menggeleng.
“Ayah sama Ibu cari ke kiri, kamu ke kanan.”
“Iya, Yah.”
Aku kembali berlari sambil terus celingukan. “Ken? Ken Rayden!”
Air mataku runtuh lagi, ketika aku tak melihat ada tanda-tanda Ken berada di area ini. Aku memang salah, karena terlalu fokus dengan pemakaman Syafa, sampai tak kuperhatikan anak kami.
Duarrr!
Aku berjengit kaget ketika tiba-tiba mendengar petir menyambar dengan begitu kuatnya. Detik berikutnya, aku merasakan rambutku basah. Gerimis mulai turun, dan aku masih belum menemukan di mana anakku berada saat ini.
“Ken! Di mana kamu?” karena semakin lama hujan turun semakin deras, aku berlari ke tempat berteduh terdekat. Aku berteduh di bawah gubuk kecil seperti tempat jual bensin untuk kendaraan yang hendak ke sawah.
Aku masih terus mengedarkan pandangan, berharap hujan segera berhenti dan Ken bisa segera kutemukan. Aku mengecek ponsel, ternyata ada pesan dari Ayah.
Ayah bilang, beliau belum juga menemukan keberadaan Ken. Saat ini, beliau dan Ibu sudah masuk ke mobil karena hujan, dan membiarkan mobilku masih terparkir di area pemakaman.
Aku baru saja hendak kembali menerjang hujan, ketika langkahku dibuat terhenti setelah melihat ada seorang perempuan memangku anak kecil, duduk di gazebo taman. Kebetulan, sekitar sepuluh meter dari tempatku berteduh saat ini, terdapat taman bermain yang berukuran cukup luas.
Aku mengamati perempuan dan anak kecil di pangkuannya cukup lama. Mataku menyipit untuk memastikan apakah anak kecil itu Ken atau bukan. Dan tiba-tiba saja, ketika anak kecil itu berdiri, aku langsung yakin kalau dia memang Ken, anakku yang dari tadi kucari-cari.
“Ken!” panggilku lantang, sambil berlari menerjang hujan.
“Papa!” Ken balik badan, lalu segera berlari menabrakku.
“Kok bisa di sini? Papa bingung cari kamu!” aku segera mendekap Ken erat-erat.
“Papa udah enggak nangis?”
Aku menggeleng. “Enggak, Papa kan emang enggak nangis.”
“Bohong! Tadi Papa nangisin Mama.” Aku tidak membalas ucapan Ken, dan hanya memeluknya semakin erat.
Beberapa saat berlalu, aku baru sadar kalau perempuan tadi masih di diam tempatnya. Dia memalingkan wajah begitu aku balik menatapnya.
“Terimakasih banyak, Mbak,” ucapku pelan, sembari menunduk sekilas.
“I-iya...” perempuan itu mengangguk.
Aku terdiam sejenak ketika melihat pakaian perempuan ini sangat rapi. Dia memakai bawahan rok hitam dan atasan baju batik.
Sebentar, apakah perempuan ini seorang guru?
“Papa...” panggilan Ken menginterupsiku.
“Apa, Sayang?” aku melepas pelukan, agar Ken bisa menatapku.
“Papa jangan sedih lagi. Kata Eyang, Mama lagi piknik jauh, dan mungkin enggak pulang. Tapi kata Eyang juga, Mama udah bahagia, jadi Ken enggak boleh sedih.”
Mataku kembali memanas, tetapi kali ini aku langsung bisa mengendalikan emosiku. “Iya, Mama udah bahagia karena enggak sakit lagi. Ken sama Papa enggak boleh sedih lagi.”
“Siap, Pa...”
Aku agak menyingkir ketika perempuan itu tiba-tiba berdiri, tampak ingin turun dari gazebo. Aku menatap langit, dan ternyata hujan sudah reda. Maksudku, tersisa gerimis kecil-kecil yang cukup rapat.
“Sekali lagi terimakasih, Mbak.”
“Iya, sama-sama.” Perempuan itu tersenyum tipis.
“Tante Dila, mau pulang?” Aku agak terkejut ketika Ken tiba-tiba mendorongku, dan berlari ke arah perempuan itu.
“Iya, tante harus pulang, soalnya udah sore.”
“Kalau Ken mau ketemu Tante lagi, ketemu di sini bisa?”
Perempuan itu menatapku sesaat, lalu menatap Ken. “Iya, di sini bisa.”
“Janji?” Ken mengangkat tangan kanannya, lalu mengacungkan jari kelingking. Lagi-lagi perempuan itu menatapku, kali ini tatapannya terlihat tidak enak hati.
“Enggak bisa janji, tapi Tante usahain. Enggak papa?”
“Oke!” Ken memeluk perempuan itu selama beberapa saat, lalu kembali berlari ke arahku.
“Saya permisi.” Perempuan itu menunduk untuk pamit, sebelum akhirnya berlari kecil ke arah motor matic berwarna putih yang kehujanan di sudut taman.
Entah kenapa, aku tak bisa mengalihkan pandangan dari perempuan itu. Wajahnya tampak sedih, terlihat seperti sedang memikirkan banyak hal. Hari sudah sore, tetapi dia malah duduk di gazebo taman seperti ini sendirian.
Ada apa dengannya?
“Papa!” lagi dan lagi, panggilan Ken menginterupsi.
“Iya, gimana?”
“Ken lapar. Mau makan bakso!” Melihat Ken tersenyum lebar, mau tak mau aku juga ikut tersenyum.
“Oke, kita makan bakso.”
“Asik!” Ken memelukku erat, dan aku segera membawanya pergi dari taman itu.
Kalian tahu? Ken seperti ini bukan karena dia tidak sedih kehilangan Mamanya. Dia sudah paham, kalau Mamanya pergi untuk selama-lamanya. Akan tetapi, anakku ini sangat cerdas lebih dari anak kecil seumurannya.
Semalam aku melihat Ken menangis sambil melihat Mamanya yang terbujur kaku, tetapi begitu melihatku, dia langsung tersenyum lebar. Ken benar-benar sangat berharga.
Mulai detik ini aku berjanji, kebahagiaan Ken adalah prioritasku.
***
Eternity Summer, 16/10/2021