Aku mengamati dari kejauhan, perempuan berambut lurus sepunggung yang saat ini sedang mengobrol dengan perempuan berambut ikal sebahu yang duduk di sampingnya. Dia banyak tersenyum, dan kuakui dia sangat cantik. Aku hanya memberi penilai subjektif, jangan salah paham.
Dia adalah Adila Zeline Adiwilaga, perempuan yang kuharapkan adalah orang yang sama dengan Tante Dila-nya Ken. Sudah tiga hari ini Ken sedang berada di rumah orang tua Syafa, jadi aku tidak bisa membawanya ikut serta ke kantor.
“Sudah ada niatan cari pengganti Bu Syafa, Pak Akhdan?” aku agak terkejut ketika mendapat pertanyaan seperti itu. Tiba-tiba saja, Farhan sudah berdiri di sebelahku sembari membawa map berwarna merah marun.
“Sembarangan, kamu ini!”
“Hehe, maaf, Pak. Habisnya Pak Akhdan dari tadi ngeliatin bawah terus. Yang baju mocca atau yang ungu lilac, Pak?”
“Mocca.” Aku menjawab reflek.
“Cantik banget, Pak.”
“Memang. Tapi bukan berarti saya sudah berniat cari pengganti Syafa.”
“Padahal, saya pernah dengar kalau laki-laki yang ditinggal istrinya meninggal, lebih baik suruh cepat-cepat nikah lagi.” Farhan meringis.
“Dengar dari mana kamu? Jangan ngarang, Han!”
“Saya enggak ngarang, pernah aja denger kalimat kaya gitu, tapi lupa dari mana. Soalnya setahu saya emang kalau laki-laki sudah pernah menikah, enggak bisa bisa hidup single lagi dalam waktu yang lama. Apalagi Pak Akhdan ini lho masih muda banget.” Farhan lagi-lagi meringis.
“Kenapa begitu? Saya baik-baik saja.”
“Iya, sekarang. Coba kalau nanti?”
Aku diam, tidak menanggapi kalimat Farhan lagi. Farhan menyerahkan map yang dia bawa untuk meminta tanda tangan perjanjian dengan salah satu toko batik di Purwokerto.
Sejujurnya, selain sekretaris dan tangan kananku, Farhan sudah kuanggap seperti adik sendiri. Kami juga masih saudara jauh jalur simbah buyut. Makanya jangan heran, dia terkadang berani ngebanyol ngalor-ngidul tentangku. Untuk ukuran bawahan, dia memang cukup berani. Tidak apa-apa, selagi tidak melampaui batas, aku akan membiarkannya.
“Han...”
“Iya, Pak?”
“Tolong cari tahu tentang seluk-beluk cewek itu, yang baju mocca.”
Farhan seketika tersenyum lebar. “Siap, pak.”
“Jangan mikir aneh-aneh, ini untuk Ken.”
“Mama baru buat Ken, gitu, Pak?”
“Farhan!”
Farhan seketika menangkupkan kedua telapak tangannya di depan wajah. “Bercanda, Pak. Iya, nanti saya cari tahu.”
“Sudah, sana!”
“Iya, Pak.”
Setelah Farhan pergi, aku kembali menatap bawah. Perempuan itu masih ngobrol dengan perempuan di sebelahnya. Mereka berdua jelas sama-sama sedang mengikuti serangkaian rekruitment karyawan perusahaan.
Ngomong-ngomong perusahaan, sebenarnya perusahaanku belum sebesar itu. Kantornya pun hanya dua lantai dan tidak terlalu luas. Akan tetapi, jangan remehkan profit perusahaanku tiap tahunnya. Aku bisa membeli mulut-mulut yang sering nyinyir. “Lulusan S2 kok jualan batik!”
Shit! Mereka tahu apa tentang jualan batik versiku?
Oke, aku akan berhenti membahas tentang mereka yang memiliki otak dangkal. Mereka yang hanya tahu tentang pangkat dan jabatan di sebuah instansi yang mereka anggap elit. Mereka yang mengagungkan orang yang kerja dari pagi sampai sore dengan gaji itu-itu saja.
Jangan tersindir, aku hanya bicara fakta. Nyatanya memang ada orang-orang semacam itu. Aku tidak merendahkan mereka yang gajinya itu itu saja, tetapi aku hanya benci orang-orang yang mudah memandang rendah orang lain yang tidak bekerja sesuai standar mereka.
Paham maksudku, kan?
***
Hari ini aku pulang lebih awal karena Ken sudah menungguku di bawah. Dia ke sini diantar oleh Putri, adik Syafa satu-satunya.
Senyumku seketika mengembang lebar begitu melihat Ken sudah melambai ketika melihatku menuruni anak tangga. Putri yang berdiri di sebelah Ken juga ikut tersenyum.
“Papa, kangen!” Ken melepaskan diri dari genggaman Putri dan berlari ke arahku. Aku reflek menundukkan badan untuk meraih Ken ke gendongan.
“Papa juga kangen. Enggak nakal, kan, di rumah Nenek?”
Ken menggeleng lucu. “Enggak, Pa. Aman!”
“Pinter.”
Aku berjalan ke arah putri, dan Putri menyalamiku sekilas. “Sehat, Put?”
“Sehat, Mas.”
“Ken enggak bikin onar, kan?”
Putri menggeleng cepat. “Enggak, Mas. Malah suka mijitin Bapak sama Ibuk.”
“Wah... bener gitu, Ken? Suka mijitin Kakek sama Nenek?”
“Iya, Pa, kadang-kadang.”
“Oh iya, Mas. Ngomong-ngomong aku lagi buru-buru, nih. Bentar lagi ada jadwal ngelesin. Ini barang-barang Ken.” Putri mengulurkan tas jinjing batik kepadaku.
“Iya, Put. Makasih banyak, ya. Maaf kalau Ken banyak ngerepotin.”
“Jangan sungkan, Mas. Ken kan ponakanku juga.”
Aku tersenyum, lalu mengangguk. “Sekali lagi makasih.”
“Sama-sama.”
Setelah Putri pergi lebih dulu dengan motor matic-nya, aku mengajak Ken ke parkiran untuk segera pulang. Namun, tepat ketika aku belok melewati kolam ikan kecil di samping kantor, tiba-tiba saja telingaku seperti nyaris tuli karena Ken berteriak sangat keras.
“TANTE DILAAA!”
Ken langsung minta turun, dan aku pun reflek menurunkannya. Ken berlari ke samping, ke arah perempuan berbaju mocca.
Ah, mereka memang orang yang sama!
Melihat betapa ken bahagia memeluk kaki perempuan itu, juga perempuan itu langsung jongkok sambil tersenyum lebar, seketika ada perasaan aneh yang tak bisa kudeskripsikan. Ini adalah ekspresi paling bahagia Ken setelah ditinggal pergi Mamanya.
“Ken cariin Tante berkali-kali loh, tapi Tante enggak ada di taman.”
“Iya, kah? Maafin Tante, ya. Rumah Tante sebenarnya jauh dari taman itu.”
Ken menggeleng pelan dengan senyum yang tak luntur sedikit pun. “Enggak papa, Tante. Enggak papa.”
Perempuan itu berdiri sambil menggendong Ken, lalu tampak mencubit pipi Ken gemas. Ken, anakku yang terkadang usil, ikut mencubit balik pipi perempuan itu.
“Ehm!” Aku berdehem cukup keras, dan itu membuat mereka menoleh.
Ken tersenyum lebih lebar, kali ini sambil melambaikan tangan, mengisyaratkan agar aku segera mendekat. “Pa, sini, Pa. Kenalan sama Tante Dila.”
Perempuan itu menatapku canggung, lalu menunduk sesaat. Aku mengangguk sekilas sebagai jawaban, lalu segera menatap Ken sambil tersenyum tipis.
“Seneng, Ken, Tante Dila-nya ketemu?” tanyaku yang membuat perempuan itu menatapku bingung. “Anak saya cari kamu di taman yang waktu itu. Berkali-kali. Dia nangis tiap kali kamu enggak ada.”
Perempuan itu langsung menatap Ken dengan tatapan bersalah, sementara Ken hanya cengar-cengir menunjukkan deretan giginya yang keci-kecil. “Saya minta maaf, sebenarnya saya iseng mampir ke taman itu. Rumah saya jauh dari sana.”
“Enggak papa. Lagipula saya ingat kalau kamu tidak pernah janji akan kembali. Anak saya saja yang terlanjur berharap lebih.”
Perempuan itu mengangguk paham, lalu menyerahkan Ken ke gendonganku. Dia kembali tampak kikuk, lalu menatapku selama beberapa detik. “Eee... sepertinya saya harus pulang sekarang.”
“Sebentar... saya boleh minta nomor kamu?”
Sebenarnya ini hanya basa-basi. Aku bahkan sudah menyimpan kontaknya di ponselku, hanya saja aku belum memiliki keberanian untuk mengirim pesan. Rencananya, aku kan mengirimi pesan ke nomornya kalau lain kali Ken menangis minta bertemu dengannya.
“Eee, boleh. Tapi maaf, masnya kerja di sini juga?”
Aku terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk. Aku memutuskan untuk berbohong agar dia bisa sedikit lebih santai denganku.
“Ah, begitu. Saya belum sih, saya masih bakal calon. Jadi belum tentu saya ke sini lagi.”
“Berdoa saja, semoga diterima.”
Perempuan itu mengangguk pelan. “Semoga.”
Aku merogoh ponsel dari dalam celana, lalu menyerahkan benda pipih itu padanya. Perempuan itu menerimanya, lalu tampak mengetik selama beberapa saat. Aku sengaja menyerahkan ponsel kedua, karena kalau aku menyerahkan ponsel utama, basa-basiku jelas akan ketahuan.
“Terimakasih, ya. Lain kali kalau Ken mencarimu, saya hubungi. Semoga kamu tidak keberatan.”
“Iya, boleh. Selagi saya tidak ada kegiatan. ”
“Tante jangan ngilang-ngilang lagi, lho!”
Perempuan itu mengangguk sambil tersenyum lebar, membuat lesung pipi sebelah kirinya tercetak jelas. “Iya, Ken.”
Setelah menatap Ken, perempuan itu menatapku dan mengangguk sesaat. “Saya pulang dulu...”
“Iya.”
“Tante Dila, hati-hati...”
“Iya, Ken.”
Ken melambai antusias, dan perempuan itu membalasnya sekilas. Aku menunggunya pergi lebih dulu sebelum lanjut menuju parkiran.
Begitu aku dan Ken sudah duduk di mobil, entah kenapa aku ingin mengecek kembali soft file CV perempuan itu yang aku simpan di ponsel.
“Adila Zeline adiwilaga. Adiwilaga? Sebentar, nama ini kok kaya enggak asing?”
***