7. Ken Sakit

1159 Words
Nisan di depanku terasa lembab dan basah. Hujan baru saja mengguyur Yogyakarta dengan begitu lebatnya. Tanah yang biasanya tampak kasar mengering, kini berwarna coklat dan tidak berdebu. Setengah tahun sudah Syafa pergi meninggalkanku, dan setengah tahun pula aku mencoba terlihat baik-baik saja di mata semua orang. Bohong besar kalau aku tidak rindu Syafa. Rindu saja bahkan sepertinya tak cukup untuk menggambarkan betapa aku ingin bertemu dengannya lagi. Sayang sekali, itu tidak akan pernah bisa, sampai kapan pun. Hidup memang seringnya penuh kejutan, entah kejutan manis ataupun pahit. Sejak aku memantapkan hati ingin menikahinya, tak pernah satu kali pun aku membayangkan akan ditinggal dia secepat ini, meski aku tahu betul dia memiliki riwayat penyakit dari kecil. Syafa yang tenang, Syafa yang malang, dia bahkan belum sempat kuajak jalan-jalan melihat Colosseum seperti impiannya. Kesehatannya yang sering menurun membuatku tidak bisa mengajaknya ke tempat jauh sesuai saran dokter. Syafa juga tidak pernah mengungkitnya lagi, membuatku perlahan-lahan melupakan keinginannya itu. Apalagi setelah ada Ken, hari-hari kami hanya dipenuhi dengan kebahagiaan mengurus anak bersama. Syafa yang sabar selalu menertawakanku yang tidak sabaran. Dia melengkapiku, dan aku benar-benar merasa kehilangan setelah dia pergi. Aku buru-buru mendongak ketika kurasakan air mataku sudah menggenang di pelupuk. Aku ingin menangis bukan aku belum ikhlas Syafa pergi, aku hanya teramat merindukannya. Aku rindu harum badannya, aku rindu harum masakannya, juga rindu bagaimana cara dia memperhatikanku. “Sya, Ken semakin hari semakin pintar saja. Dia cerdas sepertimu, tapi sangat keras kepala sepertiku. Hari ini dia tidak kuajak karena sedang demam. Doakan kami dari atas sana ya, Sya. I love you... ” Kusap pelan batu nisan yang bertuliskan “Syafa Anindira”, lalu kutabur tanahnya dengan bunga mawar segar yang tadi kubeli sebelum kemari. Selain menabur bunga mawar, aku juga meletakkan satu buket bunga anggrek kesukaannya. Aku berdoa sejenak, sebelum akhirnya pergi dari area makam dengan hati yang lebih lapang. Memang, tiap aku merindukan Syafa, aku selalu menjenguk makamnya. Entah hanya sekedar berdoa, atau menabur bunga. Bagaimanapun, dia adalah istri yang sangat aku cintai. Dia meninggalkanku karena Tuhan lebih mencintainya. Sepulang dari makam, aku mampir ke apotek membeli sirup untuk Ken. Anak itu tidak mau kuajak ke rumah sakit, barangkali dia trauma karena Mamanya meninggal di sana. “Mbak, mau beli obat demam untuk anak. Yang sirup aja kalau ada,” ucapku begitu sudah berdiri di depan petugas apotek. “Umur berapa, Pak, anaknya?” “Empat tahunan, Mbak.” “Demamnya disertai pilek dan batuk atau enggak, Pak?” “Pilek saja, Mbak. Batuknya enggak.” Selama beberapa saat, aku menunggu petugas apotek mengambilkan obat untuk Ken. Mereka memberiku pilihan dan aku memilih merek yang dulu sering Syafa beli tiap Ken demam. Setelah dari apotek, aku tidak mampir ke mana-mana lagi karena Ken pasti mencariku. Sebenarnya, tadi aku tidak tega meninggalkan Ken yang sedang tidur sendirian di kamar. Sayangnya, aku tidak kuat menahan diri untuk tidak pergi ke makam menjenguk Syafa. Rinduku sudah di puncak, dan aku kalah. *** “Enggak mau, Pa! Pokoknya enggak mau! Huaaa!” Ken lagi-lagi menangis. Dia menolak untuk makan dan minum obat. Sejak tadi dia hanya ingin nonton TV, padahal keningnya panas sekali. Mbak Iin sudah menyerah sejak tadi, karena katanya, Ken bahkan sampai menumpahkan satu mangkuk bubur ke lantai. Ken sedang mode sulit diatur, jadi satu-satunya cara adalah harus aku sendiri yang turun tangan. “Makan dikit aja, sayang. Sirupnya juga manis, lho...” Ken tetap menggeleng. Dia kini malah bersembunyi di balik selimut dan menutup badannya rapat-rapat. Aku menghela napas, mencoba tetap sabar. “Ken... Ken enggak kasihan sama Papa kalau kaya gitu terus. Papa sedih kalau Ken sakit.” Tidak ada sahutan. Ken tetap diam dalam posisinya yang bersembunyi di balik selimut. Aku berjalan menghampiri ranjangnya, lalu kutarik pelan-pelan selimutnya. “Ken...” “Enggak mau makan, Pa. Pait!” “Dua sendok aja enggak papa, Sayang. Sirupnya manis. Atau nanti biar Eyang bikinin jus mangga. Gimana?” Ken lagi-lagi menggeleng, dan dia kini semakin beringsut sampai badannya menabrak tembok. “Kalau sembuh, nanti Papa ajak Ken jalan-jalan. Mau?” “Enggak!” Ya ampun, Ken! Kenapa dari sekian banyak sifat buruk, Ken harus mewarisi sifat keras kepalaku? Sebenarnya aku seperti sedang mengaca pada diri sendiri, karena aku juga termasuk yang sulit diurus ketika sakit. Aku jadi ingat betapa sabarnya Syafa dulu yang pernah mengurusku dan Ken karena sakit secara bersamaan. “Ken...” “Enggak mau, Pa!” “Padahal nanti kalau jalan-jalan, Papa mau ajak Tante Dila.” Gotcha! Kepala Ken tiba-tiba menyembul dibalik selimut tebalnya yang bermotif kartun Spiderman. “Beneran?” tanyanya pelan. “Iya, dong. Makanya sini, makan. Biar cepat sembuh...” Perlahan Ken mendekat, lalu meminta mangkuk tempat makannya. Dia menolak untuk aku suapi dan memilih untuk makan sendiri. Aku melihat Ken beberapa kali memejamkan mata erat –barangkali rasa makanannya pahit, tetapi dia terus memakannya tanpa protes dan sampai habis tak tersisa. Sebegitu besarnya kah efek ‘Tante Dila’ bagi Ken? “Udah habis, Pa. Mana obatnya?” Aku segera mengambil sirup, lalu membantu Ken minum. Setelah itu aku juga memberinya air putih hangat, baru kemudian mengelap bibirnya yang agak belepotan. “Kalau Papa bohong, Ken marah!” “Enggak, Sayang.” Ken akhirnya kembali beringsut mundur, lalu duduk bersandar di kepala ranjang. Sejujurnya, aku bawa-bawa Dila adalah kalimat spontan karena sudah putus asa. Pantang bagiku membawa-bawa Dila lagi kecuali super kepepet. Aku sudah cukup merasa bersalah karena beberapa kali melibatkannya dalam mengurus Ken. Selain tidak enak, aku juga tidak ingin orang kantor yang melihat kami akan salah paham. Aku bukannya memikirkan diriku sendiri, tetapi aku justru memikirkan Dila. Aku hanya tidak mau kalau dia dicap tidak baik hanya karena dekat denganku. Pasti orang akan mengira Dila-lah yang mendekatiku, padahal kenyatannya justru sebaliknya. Aku yang mendekatinya lebih dulu, dan itu semua hanya demi Ken. Tidak lebih. Statusku yang sekarang duda anak satu, seringkali membuatku harus sadar diri. Meski umurku masih cukup muda, tetapi aku sudah memiliki Ken. Perempuan yang ingin mendekatiku pasti berpikir dua kali, dan aku pun juga pasti akan berpikir dua kali andai nantinya tertarik untuk menikah lagi. “Tapi mainnya nunggu Ken bener-bener sembuh, ya? Dan besok-besok Ken harus rajin makan dan minum obat. Oke?” Ken langsung mengangguk, lalu dia minta minum lagi. Kudekati dia lalu kuusap kepalanya pelan. Rambut Ken sudah agak panjang, kalau dia sudah sembuh aku harus segera mengajaknya ke salon. “Ken jangan sakit lagi, ya? Papa jadi khawatir soalnya...” Ken mendongak, tangannya yang mungil tiba-tiba terulur mengusap air yang menggenang di kedua sudut mataku. Anak itu tidak bertanya lagi, tetapi langsung memelukku. “Besok Ken sembuh, Pa. Janji!” Kudekap erat badan Ken, seperti tidak ingin melepasnya. Aku buru-buru mengusap air mata yang kembali menggenang. Ken jangan sampai melihatku berkaca-kaca lagi. Aku benci kalau Ken tahu Papanya bisa mendadak selemah itu. “Pa, Ken enggak kemana-mana. Ken enggak pergi kaya Mama. Maafin Ken ya, Pa, udah bikin Papa khawatir.” Aku tidak menjawab dan hanya terus memeluk Ken erat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD