Sebuah Harapan

1104 Words
Beberapa bulan bersama Willy, perlahan membuatnya mulai mengenal watak dan sikap pria tersebut. Aleya sedang menyelesaikan administrasi setelah melakukan perawatan mahalnya di sebuah klinik kecantikan ternama di daerah Kemang. Ia menghabiskan waktunya untuk menikmati kopi latte favoritnya di sebuah kedai tak jauh dari tempat tersebut. "Dimana?" Willy mengirimkan pesan singkat kepada Aleya. Wanita itu meraih ponsel berlogo apel tersebut lalu mengukir layar ponselnya untuk membuka pesan dari sugar daddy nya. "Ngopi di tempat biasa, habis nyalon." Aleya mengirimkan lokasi dimana ia berada. "Oke, dijemput." Setelah mengirimkan pesan tersebut, Willy langsung menuju lokasi dimana Aleya berada. Willy langsung mendaratkan kecupan manis di pipinya. Aleya yang berpenampilan seksi membuat Willy menautkan kedua alisnya tidak percaya. "Jangan dimarahi disini, aku tahu." Aleya merajuk. Dengan suara manjanya, ia berusaha meredam amarah Willy kepada dirinya. "Kau harus terima akibatnya, lihat saja." Willy tersenyum smirk. Mereka menuju sebuah apartemen di daerah tanjung duren, sebuah apartemen cantik yang dibeli Willy khusus untuk Aleya. Mobil range rover hitamnya terparkir manis di area parkiran VIP tempat itu. Aleya tanpa ragu menggandeng tangan Willy memasuki lobby utama apartemen tersebut. "Hhm, ganti shampoo?" Willy yang tak sengaja mencium aroma rambut Aleya bertanya. Keduanya sudah berada di dalam lift. "Iya, coba yang baru launching. Gimana?" Ia mencium ulang aroma rambutnya untuk memastikan agar Willy tidak terganggu. "Wangi, lebih soft tapi oke lah," jawab Willy terlihat tidak keberatan dengan cara Aleya merawat dirinya. “Kalau gak suka, aku ganti lagi,” ucap Aleya merajuk. “Kau ini, selalu ada saja alasan kalau mau dimarahi,” jawan Willy tergelak. “Namanya juga usaha,” jawab Aleya bergelayut manja di lengannya. Memasuki unitnya, Aleya yang memakai dress pendek langsung mendapatkan sederet pertanyaan dari Willy. “Sejak kapan kamu boleh pake dress sependek itu?” Willy mendudukkannya di sofa ruang tengah. “Aku pikir, kan cuma ke salon sama ngopi aja. Masa gak boleh sih,” jawab Aleya manja. “Tidak boleh!” Willy menjewer kedua telinga Aleya karena kesal. “Aww, sakit!” “Jangan diulangi lagi,” kata Willy tegas namun masih terdengar lembut. “Maaf,” jawab Aleya sambil mengusap-usap kedua telinganya. “Sudah sana, buatkan minum yang dingin. Kamu gak kasian apa, aku haus lho,” ucap Willy memelas. “Lha, tadi marah-marah,” sahut Aleya memanyunkan bibirnya protes. “Hhhhhmm, buruan sayang,” ucap Willy tidak sabar. “Iya-iya, tunggu,” jawab Aleya patuh. Ia bergegas membuatnya jus jeruk untuk pria yang selama ini tidak ada dalam jangkauannya. Aleya menghampiri Willy dengan membawa satu pitcher jus jeruk yang ia beri potongan es batu yang menyegarkan. “Silahkan, sayangku,” ucap Aleya lembut. “Ah begini kan enak, seger,” kata Willy berbinar. “Jadi, kapan aku boleh ketemu sama istrimu?” tanya Aleya mengingatkan Willy akan janjinya tiga bulan yang lalu kepada gadis di depannya. “Dia tetap seperti dulu, lugas dan ceplas ceplos. Satu lagi, menggemaskan,” gumam Willy dalam hati. “Sabar, dia minggu depan baru balik dari Amerika, kita jadwalkan kamu ketemu dia setelah dia di Jakarta.” Willy menyunggingkan senyum manisnya. “Apaan sih senyam-senyum, habis marah-marah terus senyum-senyum, gak jelas,” ucap Aleya manja. “Ngomong-ngomong, pertanyaanku tadi gak di jawab. Kapan dan alasan apa yang membuat aku kasih izin kamu pakai dress sependek itu,” ucap Willy tegas. “Aahhh, kan udah di jewer. Sudah dong,” jawabnya merajuk. “Kebiasaan,” sahut Willy mentoel pipinya gemas. Aleya menyiapkan makanan ringan untuk teman berbincang dengan Willy, pria itu sedang libur dan ingin bersantai di apartemen dengannya. Sedangkan Willy memilih membersihkan diri agar lebih segar setelah golf tadi pagi. “Sayang, ini coba deh, aku gak kasih mayonaise, hanya buah-buahan saja, lebih sehat juga,” ucap Aleya yang dinilai Willy lebih care soal kesehatan dibandingkan dengan istrinya sendiri. “Hhhhhh, kamu siapkan dari pagi?” tanya Willy berbinar, setelah membersihkan diri, ia kembali menghampiri Aleya di dapur. “Iya, sebelum jalan tadi aku siapkan,” jawab Aleya berbinar ketika melihat Willy menyukai makanan yang disiapkan. “Perkara rumah kamu, itu sudah dijual sama Krisna dan istrinya, aku sedang cari tahu dimana keberadaan pemilik barunya, agak sulit karena dia bukan warga negara Indonesia. masih butuh waktu,” ungkap Willy mengenai rumah peninggalan orang tua Aleya. Aleya terlihat berkaca-kaca mendengar penuturan Willy mengenai satu-satunya rumah kenangan bersama orang tuanya. “Jangan sedih begitu, aku usahakan terus untuk ambil kembali rumah itu, tapi dengan syarat, setelah aku tahu orangnya, kamu ikut yah, meyakinkan pemiliknya untuk bersedia menjualnya kembali padamu,” kata Willy menenangkan Aleya yang terisak kecil. “Iya, terima kasih,” jawabnya sambil mengusap pipinya yang basah. “Jadi kamu pulang jam berapa tempo hari?” Willy kembali menelisik kejujuran Aleya ketika berpamitan hangout dengan teman-teman lamanya. “Jam satu, kan sudah minta maaf,” jawab Aleya sambil memasang wajah semanis mungkin. “Hahahaha, kau ini. Pinter banget memprovokasi aku,” ucap Willy tergelak melihat tingkah laku wanitanya. “Makan buahnya habiskan, aku ingin Mas tetap sehat dan muda, gak boleh keliatan tua,” ucap Aleya lagi. “Makanya nurut, kamu jangan buat aku marah,” ungkap Willy terkekeh. “Iya, lalu soal perusahaan itu bagaimana?” tanya Aleya lagi. “Aku sudah taruh orang di dalam management mereka, kita pelajari dulu baru ambil jalan bagaimana untuk bertindak, masalah beratnya, mereka merombak total orang-orangnya.” Willy menceritakan jika kondisi perusahaan cukup stabil walaupun tidak dikatakan bagus juga. “Jadi, semua laporan yang dikasih Krisna itu bohong,” ucap Aleya sambil menundukkan kepalanya sedih. “Bisa dikatakan seperti itu, untuk mempermudah mereka ambil alih, ini sih uda pro, bahkan siapa itu istrinya berani kerjasama dengan orang bank,” jawab Willy apa adanya. Aleya menatap Willy dengan mata berkaca-kaca. “Masih ada harapan?” tanya Aleya lagi. “Tentu, kamu pemilik sah perusahaan itu, aku sedang kumpulkan orang-orang kepercayaan orang tuamu untuk mau kembali bekerja, semoga saja mereka mau dan ini mempermudah kita buka kedok Krisna,” ungkap Willy lagi. “Artinya, dia bisa dipenjara?” tanya Aleya memastikan. “Bukan hanya bisa, tapi dia membusuk disana. Kejahatannya sudah masuk kategori terencana, tapi kamu sabar dulu. Kita main cantik, jangan grasak-grusuk,” kata Willy meminta Aleya lebih sabar lagi. “Oke, harapanku hanya ini. Walaupun tidak bisa mengembalikan nyawa orang tuaku, setidaknya kenang-kenangan dari mereka masih terjaga, tidak seperti ini,” ungkap Aleya. tersirat sebuah harapan besar jika Aleya dapat mengelola sendiri perusahaan itu. “Kuliah yang benar, jadi, kau tidak bisa dikibulin orang lain. Aku memintamu kuliah sebagai pendukung jika nanti perusahaan itu benar-benar ada di tanganmu,” kata Willy sambil mengusap pipinya dengan lembut. “Kenapa sentuhan dia terasa tidak asing bagiku, ah aku hanya berkhayal saja,” gumam Aleya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD