Musibah Atau Anugerah

1007 Words
Aleya yang sudah tiga tahun bekerja di Hadinata Grup untuk pertama kalinya menginjakkan kakinya di lantai tertinggi gedung tersebut. Sayangnya bukan karena prestasi, namun karena kecerobohan dirinya hingga ia harus berurusan dengan Willian Hadinata. "Masuk saja, Pak Willy sudah menunggu," ucap Hendra. Asisten pribadi Willy tersebut menyambut kedatangannya di depan pintu ruangan pimpinan tertinggi di gedung tersebut. "Makasih, Pak Hendra." Aleya memasuki ruangan tersebut hati-hati. Karena tidak ingin membuat kesalahan lagi di depan pria irit bicara seperti Willy. "Duduk, baca dokumen yang di meja itu baik-baik." Willy yang sedang duduk dibalik laptopnya mulai berbicara. Aleya duduk di kursi yang ditunjuk oleh Willy lalu membaca satu lembar dokumen yang berisikan nota perbaikan mobilnya karena ulahnya. Wajahnya mendadak pucat dan tidak bisa membayangkan dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu untuk menggantikan biaya perbaikannya. "Saya gak mungkin ada uang sebanyak itu, Pak." Aleya menatap kertas yang dipegangnya dengan wajah sendu. "Kalau begitu, tanda tangani surat yang diberikan Hendra." Willy tanpa basa-basi meminta wanita yang duduk di depannya itu segera mengambil keputusan. Aleya masih dalam mode membisu, ia menerima surat yang diberikan oleh Hendra kepada dirinya. Dengan tangan bergetar, ia membaca kata demi kata dari kertas yang dipegangnya itu. Surat pengunduran dirinya sebagai pegawai di Hadinata Grup, menandakan ia akan kehilangan pekerjaannya. Susah payah ia mendapatkan pekerjaan layak di tempat bagus harus berakhir sia-sia karena kecerobohannya. "Tapi saya masih butuh kerja, Pak. Tolong, saya butuh makan dan bayar kost," ucap Aleya dengan mata berkaca-kaca. "Hendra," kata Willy meminta asistennya mendekat. "Iya, Pak." Willy yang sejak tadi menunggu di sofa tamu tak dari tempat duduknya menghampiri atasannya. "Urus dia," kata Willy meminta asistennya untuk melakukan tugasnya. Ia keluar dari dari ruangannya entah kemana. "Lebih baik kamu tanda tangan saja. Maaf, hanya ini yang bisa saya lakukan untuk kamu. Daripada beliau lebih marah lagi," ucap Hendra memberikan alat tulisnya. Seperti dipaksa secara halus, Aleya diminta merelakan pekerjaan yang sudah tiga tahun ia jalani. Dengan tangan bergetar dan mata berkaca-kaca, ia menguatkan hatinya untuk menandatangani surat tersebut. Lalu, Hendra menyelipkan kartu namanya  "Untuk apa kartu nama ini?" Aleya bukanlah orang bodoh yang tidak mengerti apa-apa. Ia yakin ada maksud tersendiri dari Willy. Namun, seperti apa maksud pria itu, ia sendiri belum tahu. "Saya tidak bisa menjelaskan disini. Jika kamu percaya padaku, lebih baik selesaikan urusan dengan personalia dan aku akan menemuimu di tempat kost mu." Hendra memintanya untuk bergegas karena Willy sudah beberapa kali mengirim pesan singkat kepada dirinya. "Baiklah, saya tunggu kebenaran ucapan Pak Hendra," jawab Aleya beranjak dari kursinya. Aleya membereskan barang-barangnya di meja resepsionis dan berpamitan dengan teman-temannya. Diiringi perpisahan mengharukan, Aleya bergegas menuju ruangan personalia untuk menyelesaikan administrasi. "Hati-hati dijalan ya. Semoga sukses di tempat baru." Kepala bagian personalia itu bahkan membuatkan surat pengalaman kerja tanpa ia minta. "Makasih, Bu. Saya pamit dulu." Aleya berpamitan kepada wanita yang sudah ia anggap ibunya sendiri. Keluar dari gedung lima lantai perusahaan tersebut, Aleya melangkahkan kakinya dengan berat. Menyusuri jalan di belakang gedung megah tersebut, ia membayangkan bagaimana kelanjutan hidupnya. Tidak ada sanak saudara dan pasangan membuatnya limbung. Sore itu, merupakan hari terburuk baginya. Untuk kesekian kalinya, ia bertanya kepada Tuhan. Tidakkah cukup kenistaan yang ia alami selama ini. Jika harus hidup di jalanan kembali, bukan ia tidak sanggup, tapi sampai kapan ia harus menunggu lagi untuk mengambil alih peninggalan orang tuanya. Angan-angan itu akan semakin jauh jika ia tidak memiliki uang dan bekerja. Sempat berhenti sejenak, ia menengadahkan kepalanya menatap langit sore yang mulai menggelap. Cara ini, ia pakai agar air matanya tidak kembali jatuh. Karena sibuk dengan pikirannya sendiri, Aleya tidak menyadari kedatangan Hendra di depan rumah kost yang ia tempati. Pria itu sudah menunggu hampir sepuluh menit yang lalu. "Aleya, ayo masuk." Hendra tidak berbasa-basi. Ia meminta gadis itu untuk ikut masuk ke dalam mobilnya. "Darimana Bapak tahu tempat saya?" Aleya yang terkejut melihat Hendra berada di depannya bertanya. "Ada hal yang lebih penting dari pertanyaanmu. Ayo ikut saya, Pak Willy tidak banyak waktu karena malam ini, ia harus terbang ke Surabaya." Hendra memintanya untuk bergegas. "Hah? Bukannya tadi saya sudah dipecat?" Aleya menatapnya tajam karena tidak mengerti maksud dan tujuan Hendra. "Nanti ada penawaran lebih menarik daripada pekerjaanmu sebagai resepsionis. Dan, semua masalah hidupmu akan diselesaikan oleh Pak Willy." Ucapan Hendra menyadarkan dirinya bahwa Willy sengaja melakukannya untuk tujuan tertentu. "Apa maksudnya?" Aleya yang masih enggan masuk ke dalam mobil bertanya lebih jauh. "Setelah kamu masuk ke dalam mobil, aku akan jelaskan lebih detail. Tidak baik juga berbicara dengan kondisi seperti ini, bukan." Hendra memintanya untuk masuk. Aleya memantapkan hatinya ikut masuk ke dalam mobil tersebut dan duduk di samping Hendra. Ia tidak banyak bertanya kepada pria itu. "Kemana ini, Pak?" Aleya bertanya karena ia ingin tahu, kemana Hendra akan membawanya. "Kita bertemu dengan Pak Willy di dekat Bandara. Nanti kamu bisa bicara secara langsung dengan beliau." Hendra melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang menuju sebuah hotel tak jauh dari bandara untuk memudahkan Willy. "Oke." Aleya menjawab singkat. Tiba di hotel yang dimaksud Hendra, pria itu membawa Aleya naik ke kamar khusus yang dipesan oleh Willy. Ketika Aleya dan Hendra datang, ia sedang menikmati minumannya di balkon kamar tersebut. "Oh, sudah datang." Willy mempersilahkan Aleya duduk. "Langsung saja, katanya Bapak mau keluar kota. Maksudnya apa minta saya berhenti kerja dan sekarang minta saya datang kesini." Aleya bertanya kepada Willy tanpa rasa takut. Setidaknya, Willy bukanlah atasannya lagi. "Bagus, tidak ada basa-basi. Saya suka wanita yang memiliki prinsip." Willy menyerahkan satu lembar dokumen yang ia dapatkan dari anak buahnya. "Dari mana Bapak dapatkan ini?" Aleya menatap surat tersebut tidak percaya. "Tidak penting, yang jelas saya akan bantu kamu tapi dengan syarat." Willy duduk di depan Rani, membuat gadis itu terlonjak kaget. "Bantu apa maksudnya? Lalu, syarat apa itu?" Aleya bertanya menyelidik. "Saya akan bantu kamu mengambil alih aset keluargamu dari mantan pacar dan sahabatmu. Tentunya, itu tidak gratis. Ada syarat yang harus kamu ketahui untuk itu. Jika kamu bersedia, jalankan." Willy sudah mencari tahu sebelumnya siapa Aleya dan latar belakangnya. Hanya saja, ia baru mengetahuinya belakangan ini. Setelah memastikan semuanya, barulah Willy yakin, bahwa Aleya lah gadis yang ia cari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD