Suatu Sore Di Gubug Tua

1543 Words
Pagi itu, Ningsih mematut diri di depan cermin meja riasnya. Ia memandangi wajahnya sambil bergumam, "Apakah aku masih secantik dulu? Mas Danu akan pulang beberapa hari lagi, aku harus mempersiapkan diriku!" Dia memang cantik, bisa dibilang jika ada tiga orang gadis desa yang cantik, maka ia termasuk salah satunya. Meskipun wajah ayu itu tidak dipoles dengan skincare mahal, tapi aura kecantikan tetap terpancar. Siapa saja yang belum mengenalnya tentu mengira ia masih gadis. Ia mengulurkan jilbab lebar yang panjang sepaha, dipasangnya peniti bross cantik dengan melipat sedikit area jilbab ke depan d*da. Lalu ia tersenyum puas. "Ya, aku adalah Ningsih Sekar Ayu Radiman, putri Bapak Radiman rahimahullah, istri Mas Danu Dirgantara," ucap Ningsih seorang diri. Note : Rahimahullah adalah penyebutan yang sopan untuk orang yang sudah meninggal dan kata tersebut sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad. Karena Rahimahullah bermakna 'semoga Allah merahmatinya', sedangkan kata Almarhum yang sering digunakan di masyarakat bermakna 'yang dirahmati'. Artinya ketika menggunakan kata Almarhum menunjukkan bahwa yang sudah meninggal pasti dirahmati Allah, padahal tidak ada seorang pun bisa menjamin yang sudah meninggal pasti dirahmati atau tidak. Olehnya, pengguna kata Rahimahullah lebih tepat. Ningsih berjalan menuju ke rumah Winda, sahabat baiknya. Hanya dengannya ia merasa nyaman berteman dan bercerita panjang lebar. Winda lulusan akademi kebidanan dan kini bekerja di Pustu desa, sementara Ningsih hanyalah tamatan SMA seperti juga suaminya. Namu, beruntung, ia lebih cantik dari Winda, jadi Ningsih tidak merasa minder berteman dengan Winda. "Windaaaa!!!" Sejak masih di halaman rumah Ningsih sudah memanggil. Adalah sudah menjadi kebiasaan di desa saling memanggil nama dengan suara keras dari luar rumah, meskipun kadang jarak masih jauh dari rumah tapi tetap sudah memanggil. Yang dipanggil segera menyahut tak kalah kerasnya dari arah dapur, "Yaa, Ningsih, kemarilah!!!" Ia segera masuk ke dapur. Tampak Winda sedang memasak. Aroma lezat masakannya menguar ke seluruh ruangan membuat siapa saja merasa lapar jika menghirupnya. "Hmmm, harum amat masakanmu, Win. Boleh aku icip-icip?" ledek Ningsih sambil menyendok sayur dari belangan. "Ih, kamu ya, mentang-mentang masih menjanda tidak masak pagi-pagi!" seru Winda sambil memukul tangan Ningsih yang sedang menyapkan makanan ke mulutnya. "Apa? janda?!" Ningsih mendelik. "Aku ini istri sah Mas Danu, masa dibilang janda, yang benar saja," gerutu Ningsih sambil menghenyakkan tubuhnya ke atas kursi kayu. "Jadi sudah ada kabar kapan suamimu pulang?" tanya Winda sembari duduk. " Nah itu dia berita baik yang mau aku kasih tau ke kamu, tanggal dua puluh ini Mas Danu mau pulang, aku tuh bahagiaaa banget!" ucap Ningsih berapi-api. "Syukurlah kalau begitu," timpal Winda dengan ekspresi biasa saja membuat Ningsih kesal. "Kamu tidak senang suamiku pulang?" ketusnya. "Kamu kenapa sih sewot amat. Senanglah, kamu kan sahabat baik aku. Jadi kalau kamu bahagia aku juga pasti bahagia," sahut Winda sambil tertawa. Mereka lalu makan bersama. Ningsih sudah menganggap rumah Winda seperti rumahnya sendiri. Makan bersama, tidur bersama, bermain bersama sudah menjadi aktifitas biasa bagi mereka. Orang tua Winda yang masih ada dua-duanya juga menganggap Ningsih seperti anaknya sendiri. Setelah Winda selesai bersiap-siap, mereka menuju Puskesmas Pembantu alias Pustu, tempat Winda bertugas. Dia meskipun belum menjadi PNS tapi sudah ditugaskan untuk membantu bidan tetap di Pustu desa. "Kamu kapan diangkat jadi PNS, Win?" tanya Ningsih sambil jalan menuju Pustu. "Minimal mengabdi satu tahun plus melengkapi dokumen yang diminta langsung diangkat PNS, Jadi tidak perlu ikut tes lagi. Itu kemudahan untuk yang sudah punya sasaran tempat bertugas." Jawabnya gamblang. Sesampainya di Pustu, Ningsih membantu bersih-bersih ruangan. Bidan Anggi yang sudah di-SK-kan di sini belum datang. Dilihatnya toples keripik dan kue yang ia titipkan sudah kosong. Memang ia selalu menitipkan jualan kesini karena ada Winda yang bisa dipercayakan. "Wah, aku lupa bawa dagangan kesini, padahal sudah habis. Sudahlah, besok saja aku bawanya," gumam Ningsih. Ia benahi toples-toples jualan itu untuk dibawa kembali ke rumah. Tidak lama berselang datang seorang wanita muda menggendong anaknya untuk diperiksa. Winda segera melayani dengan sigap. "Diah, ada keluhan lagi sama Ragil?" tanya Winda. Rupanya Diah yang datang, kasihan dia selalu digosipkan oleh ibu-ibu kalau sedang berkumpul. Sepertinya sebelum hari ini dia sudah pernah datang kesini bersama puteranya. Mereka saling memanggil dengan nama saja karena semuanya seumuran. "Iya, Win. Panas, pilek dan batuk semalaman tidak bisa tidur," keluh Diah. Winda sigap mencatat. "Baringkan Ragil di sana, Yah, biar aku periksa," ucap Winda sambil menunjuk ke arah tempat tidur. Winda memulai pemeriksaan. Sementara menunggu dia, kesempatan Ningsih mengajak Diah bercakap-cakap. "Bapaknya Ragil tidak mengantar kesini, Yah?" tanya Ningsih memancing agar Diah bercerita. Ia memang tidak pernah berbicara langsung dengan Diah untuk membahas hal-hal serius, biasanya hanya bertegur sapa saat berpapasan di jalan. "Hmmm, enggak, Ning. Aku juga tidak butuh bantuannya." Ekspresi Diah tiba-tiba berubah seperti marah. "Emang kenapa? Kasihan kamu kesini sendirian," pancing Ningsih lagi. "Ya, itu..., dia itu cuma perhatian sama istri barunya, anaknya terus yang diperhatikan, sementara anakku diabaikan!" terang Diah dengan nada kesal. "Kamu masih satu rumah sama mereka?" tanyanya lagi. Rasa penasaran benar-benar membuatnya terus ingin bertanya, padahal sebenarnya dia bersimpati. "Iya, aku tidak punya tempat lain untuk pergi. Toh rumah itu adalah rumahku. Mereka saja yang numpang di rumahku," jawab Diah. "Oh, begitu, aku turut prihatin sama kamu, Yah, mudah-mudahan semuanya segera membaik," ucap Ningsih sambil mengelus pundak Diah. Mata Diah mulai mengembun, sebentar lagi pasti akan jatuh titik-titik air mata. "Kasihan sekali dia, semoga suamiku tidak seperti suaminya," batin Ningsih. Tidak lama kemudian, orang-orang yang mau berobat sudah ramai mengantri. Bidan Anggi baru tiba ketika hari sudah siang. Ningsih segera pamit setelah kedatangan bidan Anggi. Dalam perjalanan pulang Ningsih senyum-senyum sendiri mengingat suaminya akan pulang, membayangkan betapa bahagianya bertemu setelah bertahun-tahun beepisah. Tiba-tiba ia dikejutkan sebuah teriakan dengan suara cempreng dari sebuah rumah. "Hei Ningsih!!! besok pagi bawakan aku kangkung lima dan kerupuk satu!!!" Rupanya itu Bu Desi, salah satu ibu-ibu tukang gosip di kampung ini. "Iya, Bu! Besok pagi aku bawakan!" balas Ningsih dari jalan sambil berteriak juga. Begitulah di kampung, teriakan-teriakan sudah bukan hal yang asing didengarkan. *** Sore harinya, Ningsih berjalan-jalan di ladang. Sudah lama ia tidak mengunjungi ladang peninggalan Bapaknya yang dikelola keluarga. Waktu itu mereka sepakat untuk membagi hasil panen 75:25, untuk pengelola 75 persen hasil dan untuk pemilik 25 persen. Di sana terdapat sebuah gubuk yang sudah tua tetapi masih kuat dan kokoh. Dia duduk di gubug itu sambil memandangi hamparan tanaman padi yang menghijau, sangat sejuk dipandang mata. Angin sepoi-sepoi berhembus menerpa jilbab lebarnya sehingga berkibar-kibar seperti bendera. Segera pegangnya erat-erat jilbab itu agar tidak terbang diterpa angin. Diambilnya gawai, lalu diteleponnya orang yang paling ia cintai dan ia tunggu, Danu. Namun, berkali-kali teleponnya tidak dijawab. "Ah, mungkin dia lagi sibuk," batin Ningsih berusaha berprasangka baik. "Lagi ngapain ada Mbak Ayu sore-sore duduk sendirian di ladang?" Sebuah suara tiba-tiba mengagetkan Ningsih. Ia segera menoleh ke arah suara itu. "Oh, Kang Bagas, aku kaget lho, Kang, aku kira hantu. Emang Kang Bagas dari mana sore-sore begini?" tanya Ningsih. "Tadi habis lihat-lihat orang panen di ladangku. Pas mau pulang ada Mbak Ningsih sendirian di gubug tua ini, jadi aku singgah. Jarang-jarang Mbak Ningsih ke ladang, pasti ada sesuatu," jawabnya. Dia adalah Bagas, anaknya pemilik toko sembako terbesar di desa ini. Bisa dibilang orang tuanya seperti juragan. Orang-orang segan dengan keluarga mereka karena kekayaan mereka. Bagas sudah pasti jadi pewaris harta orang tuanya karena dia anak laki-laki satu-satunya. Dia sangat tampan, bersih, tinggi, terpelajar, baik hati, dan segudang kebaikan lainnya. Para gadis desa selalu berusaha mengambil hatinya, namun belum ada gosip terbaru dengan siapa dia berkencan. Dulu dia di gosipkan dengan Marni, anaknya Pak Lurah. Tapi sepertinya berita itu tidak benar karena mereka tidak berhubungan lagi. "Tidak ada apa-apa, Kang, cuma pengen liat-liat pemandangan ladang yang hijau. Sudah lama juga aku tidak kemari," Ningsih memandangi tanaman-tanaman hijau disekitar gubug. Ningsih mengira Bagas akan segera pulang, ternyata dia ikut duduk di gubug. Untungnya gubug ini terbuka, tidak ada dindingnya sehingga Ningsih merasa lebih nyaman. "Oh. Dulu waktu Pak Radiman masih hidup, kalau aku ke ladang pasti aku singgah di gubug ini kalau ada beliau disini, lalu kami sama-sama menangkap ikan di kali sana. Rasanya sangat menyenangkan," ucap Bagas mengenang tahun-tahun bersama Bapaknya Ningsih. "Oya, bagaimana kabar Kang Danu?" Bagas mengalihkan pembicaraan. "Alhamdulillah baik, Kang. In syaa Allah Mas Danu mau pulang tanggal dua puluh ini. Mudah-mudahan tidak ada kendala, sudah lama dia tidak pulang," jawab Ningsih, tiba-tiba ia merasa ada sesak di hati mengingat suaminya sudah lama tidak pulang. "Syukurlah kalau begitu, aku turut senang," ucap Bagas. Suasana semakin sore, namun Bagas belum juga beranjak dari tempatnya. Ningsih ingat di dalam buku yang ia baca bahwa laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak boleh berdua-duaan, karena yang ketiga pasti s*tan. Bersambung... Terima kasih banyak semuanya... masih setia membaca hingga part ini... Kalian adalah penyemangat terbaikku... Love you all, big hug for you all... See you at the next chapter... Note: ✓ Tekan Love untuk yang belum tekan ya, yuk beri semangat penulis dengan love-nya. ✓ Ramaikan komentar biar aku makin semangat update, klik tanda kotak di ujung bawah. ✓ Bantu share sebanyak-banyaknya ya. ✓ Terkait maraknya tindakan ilegal memperjualbelikan ebook/PDF novel online dan plagiarisme, aku buat note tambahan : Cerita ini hanya terbit di Platform Dreame dan Innovel, jika ada yang memperjualbelikan ebook/PDF novel ini atau menerbitkannya di luar Platform ini berarti tindakan ilegal yang wajib dilaporkan. Dan penjual maupun pembeli ebook/PDF ilegal dan plagiator tidak akan mendapat keberkahan di dunia dan akhirat, karena sangat merugikan penulis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD