Situasi Tak Disangka

1649 Words
Malam itu adalah malam pertama puasa. Masjid sangat ramai oleh jamaah salat tarawih baik pria maupun wanita, termasuk Ningsih. Selepas salat Isya, mendengarkan ceramah dari ustadz Arifin ---salah satu ustadz kondang dari kabupaten--- kurang lebih selama 45 menit, lalu dilanjutkan salat tarawih sebanyak delapan rakaat dan tiga rakaat salat witir. Panitia Ramadan telah mengundang imam salat dengan bacaan yang pelan dan merdu, sehingga salat sebelas rakaat berhasil diselesaikan dalam waktu lebih dari satu jam. Karena bacaan Al-Qur'an-nya fasih dan sangat indah ditelinga membuat para jamaah tidak merasa keberatan salat selama itu. Usai salat tarawih, sebagian remaja mulai bersiap untuk tadarusan. Bahkan panitia sudah menunjuk tiap RT harus ada minimal lima orang remaja yang rutin mengikuti tadarusan tiap malam guna meramaikan masjid selama bulan Ramadan. "Kamu nggak ikut tadarusan, Ning?" tanya Diah yang sudah duduk di sebelahnya sambil memangku Ragil. "Enggak, Yah. Di rumah banyak kerjaan," jawab Ningsih sambil tersenyum. Pada saat itu, bertepatan dengan Winda lewat di dekat mereka, tanpa menyapa sedikit pun. Ningsih segera berpamitan pada Diah dan mengikuti langkah Winda. Sepanjang perjalanan Ningsih hanya terdiam sambil terus mengikuti langkah sahabatnya. Ia akan terus mengikuti sampai Winda berhenti, di mana pun rimbanya. Tapi sebelum lebih jauh melangkah, Winda sudah menghentikan langkahnya. "Ada perlu?" Suara datar Winda terasa begitu menyeramkan di malam yang gelap itu. Apalagi orang-orang tidak melewati jalan yang mereka lalui. "Mmm, aku mau bicara sama kamu." Akhirnya Ningsih memberanikan diri. Terdengar suara helaan napas Winda. "Aku minta maaf kalau punya salah. Mungkin selama ini aku telah melakukan sesuatu yang menyakiti hatimu, sampai-sampai kamu ngejauhin aku sama kayak orang-orang lain itu. Tapi besok sudah puasa, aku pingin menjalani puasa dengan lancar, tanpa rasa hasad, iri, dengki, atau pikiran-pikiran buruk. Aku harap kita bisa dekat kayak dulu lagi." Plong, lega rasanya berhasil mengucapkan kalimat yang selama ini menjadi beban pikirannya. Seperti ada seonggok batu yang diangkat dari dasar hatinya membuat tubuh terasa ringan. Tapi reaksi winda tetap dingin, tidak ada seulas senyum pun yang menunjukkan keakraban. Ia tidak menjawab, hanya langsung berbalik dan pergi meninggalkan Ningsih sendirian dalam kegelapan. Ningsih hanya bisa terdiam, memandangi bayangan hitam Winda menjauhinya, seolah tidak pernah berbicara dengannya, dan tanpa rasa bersalah sedikit pun meninggalkannya. Hatinya terpukul, beribu pertanyaan kembali berputar-putar mengelilingi otaknya, mencari-cari apa sebenarnya masalah yang tengah menimpa Winda hingga bersikap seperti itu. *** Malam itu sahur pertama Ningsih sambil bertelepon ria dengan sang suami tercinta. Sesekali melakukan video call, jika sinyal mulai memburuk, panggilan akan dialihkan ke telepon biasa. "Mas, aku kaangeeeen banget. Lebaran pulang, ya?" rajuk Ningsih sambil menatap lekat-lekat wajah suaminya. "In syaa Allaah, sayang. Mas usahakan. Tapi kemungkinan nggak bisa kalo lebaran karena pengiriman barang lagi membludak. Nih, Mas aja sahur di kantor lho." Danu mengedarkan kamera ke seluruh ruangan, tampak sebuah ruangan putih bersih dengan berbagai barang-barang yang menggunung. Ningsih tidak menjawab, hanya terus memandangi layar ponsel yang menunjukkan wajah suaminya itu. Jari telunjuknya menyentuh layar ponsel menelusuri wajah Danu yang kini tengah tertawa melihat tingkahnya. "Udah dulu, ya. Cepetan makan sahurnya, nanti keburu imsak." Danu turut mengusap layar seolah sedang mengusap wajah Ningsih. "Aku matikan, ya, tuh udah ada yang datang." Sesaat kemudian wajah suaminya sudah hilang berganti dengan wallpaper ponselnya. Ningsih menghela napas, lalu mulai memakan menu sahurnya yang tiba-tiba menjadi terasa tidak enak di lidah. Tidak lama kemudian, ponselnya kembali menyala, sebuah notifikasi pesan masuk dari nomor tak dikenal. Ia segera membukanya. "Selama menunaikan ibadah puasa, mohon maaf lahir batin. Bagas sekeluarga." Ia berdecak sebal, berniat hendak mematikan ponsel, tapi sebuah pesan susulan kembali masuk. "Selebaran buat rekrut karyawan udah jadi nih, sebentar pagi aku ke rumah kamu." Ningsih mengurut kepalanya, ia sedang tidak ingin ketemu pemuda menyebalkan satu itu yang membuat dirinya terjatuh dalam gosip memalukan. "Nggak usah saja, Kang. Biar nanti aku minta tolong Pak Lik aja buat carikan orang." Ningsih mengirim jawaban. "Oh, gitu. Ya udah, nggak apa-apa." Ningsih segera mematikan ponselnya, tidak ingin terlarut dalam percakapan dengan Bagas. Jujur, Bagas terlalu sempurna untuk diabaikan, jadi ia harus pintar-pintar membawa diri agar tidak sampai jatuh dalam perasaan yang menghanyutkan. "Lagian dari mana dapat nomorku?" gerutu Ningsih sambil memukul ponselnya. "Awas kalau ngirim pesan lagi, apalagi sampe nelpon!!!" ancam Ningsih, kini ia menunjuk-nunjuk ponselnya. Tidak lama kemudian, azan subuh telah berkumandang dengan nyaring. Memberikan kesejukan tersendiri bagi hamba Allah yang ingin kembali bersimpuh di hadapan-Nya. *** Sambil membersihkan halaman seperti biasanya, Ningsih terus memikirkan cara merekrut karyawan, juga dengan selebaran yang sudah dibuat Bagas. Ia menjadi tidak tega mengabaikan usaha Bagas yang tentu sudah susah payah membuat barang itu ---yang entah ia juga tidak tahu seperti apa bentuknya. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke rumah pemuda itu. Dalam pikirannya yang polos dan tanpa berpikir panjang, ia mengira bahwa langkahnya itu akan mencegah Bagas datang berkunjung ke rumahnya. Tapi siapa sangka, setelah ia sampai di sana, justru Bagas menyambutnya dengan hangat dan dengan semangat membantunya memasang selebaran itu tanpa bisa ditolaknya. "Jadi selebaran itu begini? Hanya selembar kertas ada tulisannya?" Ningsih mengkerut tak percaya begitu menerima selembar kertas dengan tulisan, Dibuka lowongan kerja untuk dua orang, satu laki-laki dan satu perempuan. Kriteria : rajin, cekatan, terampil (nanti diajari cara kerjanya), bisa bawa motor. Yang berminat segera hubungi 08xxxxxxxx Jadi sekarang ia benar-benar menyesal telah menerima bantuan pemuda itu, karena sebenarnya ia juga bisa membuatnya sendiri menggunakan kertas dan bolpoin. Bagas tertawa lebar melihat reaksi Ningsih yang polos dan lucu. Tapi ia tidak mengatakan apa pun, justru segera mengajak Ningsih menempelkan selebaran itu. "Emang kamu pikir bagaimana?" "Udah deh. Yuk, langsung kita pasang saja supaya cepat ada yang mendaftar." Bagas sudah berjalan keluar dari rumahnya, sementara Ningsih masih terbengong di depan pintu. "Kenapa lagi?" Bagas mengernyit. "Mmm, biar aku saja yang tempel. Terima kasih." Ningsih segera menyambar berlapis-lapis kertas selebaran dari tangan Bagas dan segera berlalu. Tapi Bagas mengikutinya dari belakang tanpa sepengetahuan Ningsih yang berjalan dengan tergesa sambil menunduk. Beruntung suasana jalanan cukup sunyi sehingga tidak berpapasan dengan orang-orang. Hingga sampai di pertigaan hendak berbelok ke lorong rumah Ningsih seorang pemuda desa yang tengah duduk-duduk di halaman rumah menegur mereka. "Waduh, Bagas! Semangat banget jadi pengekor!" Sontak seruan pemuda itu membuat Ningsih mendongak. "Yoai, Bos!!!" Suara keras Bagas di belakangnya membuatnya terlonjak kaget. Ia sama sekali tidak menyadari kalau cowok itu mengikutinya. "Kang Bagas ngikutin aku?!" Ningsih mendelik begitu menyadari Bagas tersenyum lebar di belakang punggungnya. "Ya, mastiin aja kalo Mbak bisa pasang selebarannya," ucapnya sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Tanpa berkata-kata lagi, Ningsih kembali melanjutkan langkahnya memasuki lorong. Namun Bagas segera menahannya. "Mau ke mana? Kita tempel di balai desa, masjid, sama...." "Mau ambil selotip!" tegas Ningsih memotong ucapan Bagas. "Ini aku bawa." Bagas mengacungkan dua buah selotip kecil bening, plus sebuah gunting kecil. Akhirnya tanpa banyak bicara, Ningsih kembali melangkah ke jalan utama, tetap tidak mempedulikan pemuda yang terus mengekorinya sejak tadi. *** Setelah menempelkan selebaran di mading masjid, balai desa, pos ronda, pangkalan ojek, dan terakhir Pustu, akhirnya kegiatan tempel menempel selebaran selesai dengan sempurna. Ningsih bernapas lega, ia tersenyum puas memperhatikan selebaran yang tertempel di mading Pustu. "Makasih, Bu Bidan!" seru Ningsih. "Iya, Ning, sama-sama!" jawab Bidan Anggi dengan berseru juga dari dalam. Ketika hendak melangkah pulang, Ningsih teringat Winda, ia akhirnya kembali masuk ke dalam. Tapi keberadaan Bagas yang terus mengikutinya cukup mengusik hatinya. "Makasih sudah membantu. Tapi aku masih ada urusan, kalau Kang Bagas mau pulang duluan silahkan." Pemuda itu tidak menjawab, justru lebih dulu masuk ke dalam dan duduk di kursi tunggu sambil bercakap-cakap dengan Bidan Anggi. Ningsih hanya geleng-geleng kepala, lalu memilih memutar ke dapur Pustu karena biasanya Winda ada di sana. Ketika sudah dekat, ia mendengar suara kelonteng piring, gelas, dan sendok saling beradu. Dengan senyum sumringah ia hendak menyapa Winda, tapi langkahnya terhenti ketika mendengar obrolan Winda dengan seseorang di telepon. "Iya, Kang. Itu mereka sama-sama nempel selebaran buat rekrut karyawan. Ya, apa coba kalo nggak ada hubungan apa-apa?" Winda terdiam, sepertinya mendengarkan ucapan seseorang di seberang. "Aku yakin itu, Kang. Mereka tidak sekadar saling membantu saja...." Ningsih tidak tahan lagi mendengar berbagai ucapan Winda yang jelas penuh provokasi itu. Dengan langkah cepat ia menghampiri Winda yang belum menyadari kehadirannya. Sesaat kemudian, Ningsih hampir berhasil meraih ponsel Winda, tetapi dengan gerakan cepat gadis itu menutup teleponnya dan menatapnya tajam, lalu membuang muka dan melanjutkan aktifitasnya. "Kamu telepon siapa ngomongin aku di belakang?!" bentak Ningsih penuh kemarahan. Winda tidak menggubris, justru mempercepat pekerjaannya. "Jadi kamu yang selama ini menghasut warga dan nyebarin gosip murahan itu?!" Ningsih masih tersulut emosi. Winda masih tetap diam. Kesal dengan sikap Winda yang tak acuh, Ningsih mendorong tubuh Winda hingga mundur beberapa langkah, sontak membuat gadis itu menatap tajam penuh amarah yang memuncak. "Memangnya kenapa kalo aku yang nyebarin gosip?! Itu bukan gosip, tapi kenyataan!!!" Suara Winda jelas sangat keras, penuh penekanan, dan sangat lugas. Kenyataan yang langsung membuat suara Ningsih tercekat, tidak bisa lagi mengeluarkan suara, hanya rintik-rintik bening yang berjatuhan dan suara isakan tertahan yang memberikan jawaban. "Kamu tega, Win!" pekik Ningsih serak tertahan. "Kamu yang lebih kejam! Kamu telah membunuhku dengan cara yang paling apik!" tegas Winda dengan sorot mata tajam. Mendengar keributan di dapur, Bagas dan bidan Anggi segera menyusul ke dapur. Mereka terkejut melihat posisi Winda dan Ningsih yang saling berhadapan dengan sorot penuh permusuhan. Bersambung... Terima kasih banyak semuanya... masih setia membaca hingga part ini... Kalian adalah penyemangat terbaikku... Love you all, big hug for you all... See you at the next chapter... Note: ✓ Tekan Love untuk yang belum tekan ya, yuk beri semangat penulis dengan love-nya. ✓ Ramaikan komentar biar aku makin semangat update, klik tanda kotak di ujung bawah. ✓ Bantu share sebanyak-banyaknya ya. ✓ Terkait maraknya tindakan ilegal memperjualbelikan ebook/PDF n****+ online dan plagiarisme, aku buat note tambahan : Cerita ini hanya terbit di Platform Dreame dan Innovel, jika ada yang memperjualbelikan ebook/PDF n****+ ini atau menerbitkannya di luar Platform ini berarti tindakan ilegal yang wajib dilaporkan. Dan penjual maupun pembeli ebook/PDF ilegal dan plagiator tidak akan mendapat keberkahan di dunia dan akhirat, karena sangat merugikan penulis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD