Happy Reading.
Pagi itu Deby terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang sedikit tenang. Setelah semalaman dia berperang batin dengan pikirannya akhirnya Debby sudah memiliki keputusan yang akan diambil.
Wanita cantik itu bangkit dari atas tempat tidur dan berjalan menuju ke meja rias nya. Semalam memang Deby memutuskan untuk pulang ke rumah setelah dari rumah sakit karena sudah dua hari Dia tidak menginjakkan kakinya di rumah peninggalan kedua orang tuanya itu. Selama Desy opname di rumah sakit, Debby lebih sering menginap di rumah sakit juga karena memang kakaknya itu tidak ada yang menjaganya. Mereka tidak memiliki sanak keluarga di kota itu karena awalnya dulu orang tua Deby adalah perantauan.
Tadi malam Deby libur kerja karena memang jatahnya dia libur. Dalam beberapa bulan ini Deby bekerja di sebuah tempat karaoke meskipun tempat itu memang bukan tempat biasa, tetapi Deby nyaman karena gajinya besar. Tempat itu juga biasanya untuk para lelaki yang ingin menyewa wanita dan bermalam dengan mereka dengan bayaran tinggi. Namun, Deby baru tergiur menjual keperawanannya karena sedang dalam keadaan darurat.
"Aduh aku taruh di mana, ya?" gumam Deby saat membuka tasnya dan menggeledah isinya, dia mencari kartu nama yang diberikan oleh Alvaro kemarin. Deby sama sekali belum membacanya bahkan dia pun tidak menyimpan nomor Alvaro. Kalau sampai ke kartu nama itu hilang bagaimana Deby bisa berhubungan ataupun menjawab permintaan dari pria tersebut.
"Masa iya ketinggalan di rumah sakit?" Deby mengeluarkan semua isi tasnya dan tidak menemukan kartu nama itu. Rasanya sedikit frustasi karena di saat genting dan penting seperti ini benda yang kemarin yang sempat dia anggap tidak berguna menjadi hal yang paling penting.
"Ah, nggak mungkin kan ketinggalan? Aku ingat kok udah masukin ke dalam tas!" Deby berjongkok untuk mencari kartu tersebut siapa tahu kartu itu jatuh di saat dia tidak mengetahuinya. Ataupun keluar sendiri. Memangnya kartu nama memiliki kaki, dia bisa jatuh sendiri tanpa dibuka?
Perasaan Deby benar-benar kacau. Di saat dia sudah frustasi tiba-tiba matanya melihat sebuah benda mengkilap di bawah kursi meja riasnya. Benda itu kotak persegi dan kecil dan bisa dipastikan jika itu adalah sebuah kartu nama.
Wanita itu meraih benda tersebut dan matanya langsung berbinar ketika melihat jika benda itu adalah kartu nama milik Alvaro Bautista.
"Akhirnya ketemu," Deby mencium kartu itu seperti benda berharga. Wanita itu membaca tempat alamat yang tertera di sana. "Bautista Corp."
Awalnya Deby ingin menelpon saja, tetapi sepertinya lebih baik dia langsung pergi menemui Alvaro di kantornya. Bukankah Alvaro sendiri yang memintanya untuk datang.
"Mudah-mudahan semuanya di lancarkan, Aamiin."
Deby meletakkan kartu nama itu di atas meja rias kemudian dia langsung yang masuk ke dalam kamar mandi membersihkan diri. Setelah tiga puluh menit kemudian Deby keluar dan langsung memakai pakaiannya dan sedikit berias.
"Sempurna, cantik kok. Udah pantas sebelumnya kalau bersanding sama Tuan Alvaro?" Deby terkikik geli ketika mengucapkan hal itu. Tentu saja kalau dia sudah menerima permintaan dari Alvaro, dia akan menjadi istri dari pria tersebut.
Deby mengendarai motornya menuju ke alamat di mana perusahaan Alvaro berada. Saat tiba di lampu merah tiba-tiba Dia teringat sesuatu.
"Sepertinya aku harus menghubungi Tuan Alvaro terlebih dahulu, takutnya nanti aku diusir oleh satpam karena mencari direktur mereka," gumam Deby mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan kepada nomor yang baru saja dia simpan tadi.
'Tuan, saya sedang on the way ke perusahaan Anda, nanti kalau saya sampai tolong minta resepsionis Anda untuk mengantarkan saya.'
Deby mengirimkan pesan tersebut, akhirnya lampu lalulintas berubah menjadi hijau dan Deby melajukan kembali motornya.
Sedangkan di perusahaan Alvaro yang sedang sibuk memeriksa berkas-berkas penting mendengar suara nada pesan dari ponselnya yang berada di atas meja tidak jauh dari laptopnya. Biasanya pria itu tidak pernah menghiraukan nada pesan seperti itu, tetapi entah kenapa sekarang Alvaro ingin melihatnya karena firasatnya mengatakan jika itu sangat penting.
Ternyata benar, pesan itu dari Debby. Alvaro mengulas senyum sekilas kemudian dia menelepon sekretarisnya dan menyuruhnya untuk menjemput Deby di lantai bawah. Alvaro tidak tahu apa yang dirasakannya untuk gadis itu, yang jelas pria itu merasa jika Deby memang wanita yang baik dan berasal dari keluarga yang baik-baik.
***
Deby sudah sampai di alamat yang ada di kartu nama itu, dia mendongak untuk melihat gedung yang menjulang tinggi dihadapannya ini. "Wow, benar-benar menunjukkan betapa besarnya seorang Alvaro, lihatlah gedung perusahaannya ini, kalau aku menjadi istrinya, pasti akan menyenangkan," gumam Deby senyum-senyum sendiri.
Seorang satpam mendatanginya. "Mbak, mau apa di sini?"
"Oh, pak satpam. Saya mau ketemu dengan ... " Deby menghentikan ucapannya. Kalau dia mengatakan ingin bertemu dengan Alvaro dan sudah ada janji dengannya pasti akan ditertawakan. Tetapi apa yang akan Deby katakan pada satpam itu jika memang kenyataannya seperti ini.
"Dengan siapa, Mbak?" tanya pak satpam lagi. Pria itu bahkan menatap Deby dari atas hingga bawah. Deby memakai kemeja polos berwarna biru langit dan rok pendek warna hitam. Memang tidak mewah dan mahal, tetapi bagi Deby itu sudah cukup sopan daripada memakai dress di atas lutut dan tanpa lengan.
"Ehmm ... saya mau bertemu dengan tuan Alvaro, tadi kita udah janjian mau bertemu," jawab Deby akhirnya. Wanita itu memberengut dalam hati karena Alvaro belum juga membalasnya pesanan, padahal pesan itu sudah di baca.
"Untuk apa kamu ketemu sama pak Presdir?" tanya satpam itu dengan tatapan meremehkan.
"Untuk--"
Deby sungguh mati kutu, apakah dia akan menjelaskan pada pak satpam jika dia dan Alvaro akan menemui kesepakatan? Tentu saja tidak, bukan?
"Udah deh, sebaiknya kamu pergi, nggak ada kamera buat acara konten-konten seperti ini, aku tahu kalau tuan Alvaro memang penuh dengan pesona, dan bukan kamu yang pertama kali ke sini dengan kebohongan seperti itu," tiba-tiba satpam itu akan mendorong Deby agar pergi, tetapi sebuah suara membuatnya berhenti.
"Mbak Deby Aprilia?" Deby dan satpam itu menoleh dan tubuh Deby pun selamat dari dorongan satpam itu.
"Pak Andra?" sapa pak satpam sopan. Dia membungkuk kepada sekretaris direktur itu.
"Mbak Deby sudah datang ya? Maaf, tadi saya nggak tau. Ayo mbak, tuan Alvaro sudah menunggu Anda," ujar Andra mempersilahkan Deby masuk ke perusahaan.
Deby mengangguk dan menatap satpam itu dengan alis yang terangkat, senyum mengejek keluar dari bibirnya, bahkan sekarang Deby sudah menjulurkan lidahnya pada Satpam yang wajahnya terlihat pucat itu.
Bersambung