Chapter 14 : Berita Duka

1109 Words
Ch 14 Suasana di rumah Ira nampak sepi, Citra mengisi daya baterai pada ponselnya, sembari ia menggambar desain baju. Dulu ia suka menggambar, namun pekerjaan selalu menyita hobinya itu. Kini ia menjaga Ira yang sedang dalam masa pemulihan selepas dirinya sakit beberapa hari yang lalu dan menyalurkan hasratnya yang telah lama ia lupakan itu. Citra pernah bermimpi, bercita-cita ingin menjadi desainer yang terkenal, namun itu semua butuh biaya yang cukup besar dan Citra tak memiliki biaya untuk itu, ia memendam mimpinya itu, dan lebih memilih untuk menyalurkannya hanya di atas kertas. Dering ponsel Ira mengagetkan Citra yang tengah serius dengan pensil juga kertas itu, dengan cepat ia berlari ke arah kamar Ira dan mengambil ponsel itu. Ia takut suara berisik dari ponsel itu mengganggu Ira yang sedang istirahat. Namun begitu ia sampai di kamarnya ponselnya sudah berhenti mengeluarkan suara. Setelah di lihat ternyata ponsel Ira juga mati karena baterainya habis. "Astaga, kenapa aku selalu lupa *mencharge* HP," kesalnya pada dirinya sendiri. "Kenapa nak? Kok mukanya asem begitu," tanya Ira yang melihat Citra cemberut. "Tidak Bu, ponsel ibu mati tadi, Citra akan mengisi dayanya Bu, maaf jika Citra mengganggu ibu istirahat. Mari Citra bantu berbaring Bu," tawar Citra. Ia segera mendekat pada tubuh Ira. "Tidak nak, ibumu ini sudah dari kemarin-kemarin di atas kasur. Lebih baik ibu membersihkan diri, rasanya sudah sangat lengket," tolak Ira. "Mandi? Ini sudah malam Bu, lebih baik ibu istirahat besok pagi baru ibu mandi. Citra tidak ijinkan ibu mandi malam-malam," sergah Citra. "Baiklah-baiklah aku akan menuruti anak ibu sekarang, senangnya ada yang mengomeli ibu," tutur Ira, ia memeluk tubuh ramping Citra. "Terima kasih sudah hadir di kehidupan ibu nak, yang sehat-sehat ya," imbuh Ira. "Aamiin Bu, semoga saja. Doa ibu yang akan selalu memberikan Citra kesehatan dan kesuksesan," balas Citra. Iapun memeluk tubuh Ira tak kalah erat. Pemandangan yang begitu indah antara ibu dan juga anak, meski mereka tidak memiliki hubungan darah. Namun takdir dan juga cinta dari sang pencipta yang menyatukan mereka berdua. ------- Desa Kecubung "Tidak tersambung pak, bagaimana ini? Pasti anak itu lupa mengecas HPnya. Kebiasaan, kalau sudah beginikan kita juga yang repot," omel Sukma. "Sabar Bu, mungkin dia terlalu repot, besok saja kita hubungi lagi, sekarang lebih baik ibu tenangkan pikiran ibu. Masalah Citra kita bicara besok lagi," terang Adi. Sukma menurut, ia kembali terduduk lemas dengan mata yang telah bengkak. Banyak warga yang berkumpul di rumah nenek Citra itu. ------ Suara kicau burung, serta kokokan ayam tetangga mulai terdengar, hari baru telah dimulai, seluruh penduduk bumi memulai aktivitasnya kembali. Tak terkecuali Ira saat ini. Pukul tiga lewat tiga puluh menit dirinya sudah mandi dan melakukan segala kesibukan serta menjalankan kewajibannya sebagai seorang hamba. Ira mulai memasak, tapi tiba-tiba dia teringat akan ponselnya. Ia lantas megambil dan pencabutan dari pusat pengisian Baterai itu. Begitu menghidupkan ponsel itu, banyak sekali pesan yang masuk, dari tempatnya bekerja yaitu sekolahan, serta dari para wali muridnya. Termasuk panggilan dari orang tua Citra. "Assalamualaikum Bu," sapa seseorang dari seberang dengan suara yang begitu serak. "Waalaikumussalam Bu, ibu kenapa? Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Ira pada Sukma. Tentu saja itu adalah telepon dari desa. "Saya ingin bicara dengan Citra Bu, anaknya ada? Ini sangat penting," tutur Sukma. "Ada apa Bu? Tolong beritahu saya ada apa? Apa terjadi sesuatu di Desa?" tebak Ira. Sukma menjelaskan persoalan yang terjadi di Desa, Ira yang kaget mendengar kabar itu hingga hampir terjatuh. Ia bertopang pada kursi yang kebetulan ada di sebelahnya. Tubuhnya kembali melemas dan tak bertenaga. Mencium bau gosong dari dapur, Citra yang masih berada di tempat suci itu segera keluar dengan tergesa-gesa. Ia takut jika terjadi sesuatu dengan Ira. "Bu, bau gosong apa ini?" tanya Citra setelah sampai di dapur. Citra melihat Ira sedang duduk termangu di kursi, dengan ponsel yang di biarkan di tangannya, panggilanpun masih berlanjut. Citra mematikan kompor terlebih dulu setelah itu meraih ponsel Ira. "Ada apa Bu? Sampai ibu terlihat lemas dan cemas seperti ini," tanya Citra. Dia belum sadar bahwa ponselnya masih terhubung dengan Sukma. "Angkat nak, ini ibumu menelpon tadi. Dia ingin bicara denganmu," jawab Ira dengan nada yang sangat lemas dan derai air mata. Dengan kebingungan Citra mendekatkan ponsel itu ketelinganya. "Assalamualaikum Bu," jawab Citra. "Nduk kamu kemana saja? Dari semalam ibu telpon tidak bisa? Pulanglah nak, ada kabar buruk terjadi di sini," tutur Sukma, suaranya mulai tidak jelas karena ia berbicara dengan menangis. "Ibu kenapa menangis? Jangan membuat Citra khawatir, apa yang terjadi Bu? Katakan pada Citra," kata Citra. Perasaanya mulai tidak tenang. "Nenek meninggal Citra," jawab Sukma. Mendengar itu, hati Citra bak tersambar ribuan anak panah. Kakinya melemas dan tidak mampu lagi menopang tubuhnya yang kecil itu. Tangisnya pecah saat itu juga. Ia mulai menyalahkan dirinya, mengutuk dirinya, ia beranggapan bahwa dia adalah cucu durhaka. Citra terus mengumpat dirinya, melihat itu Ira trenyuh, hatinya ikut sakit. Ira mendekap Citra, menenangkan gadis itu. Ia tidak kuat melihat gadis sebaik Citra menangis hingga tersedu-sedu. "Tenangkan dirimu nak, ikhlaskan, berdoa untuk nenek ya," tutur Ira. Citra masih terus terisak. Wajahnya sudah tidak karuan saat ini. "Ini semua salah Citra m, Bu. Andai Citra tidak pergi semuanya tidak akan terjadi," sesalnya. "Tidak nak, ini sudah takdir Tuhan. Setiap yang bernyawa pasti akan pergi bukan? Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Tenangkan dirimu nak, bersiaplah bersihkan wajahmu, segeralah pergi sebelum terlambat. Kamu masih bisa melihat wajahnya untuk terakhir kalinya," kata Ira. Benar yang dikatakan ibu. Aku harus cepat. Batin Citra. "Baik Bu, apa ibu tidak apa-apa Citra tinggal?" tanya Citra. "Pergilah nak, ini adalah kesempatan terakhir, ingatlah sebelumnya ibu juga sendirikan?" kata Ira. Ia mencoba menarik kedua sudut bibirnya. Citra memeluk Ira dengan erat, sekejap kemudian ia beranjak dan bersiap untuk pergi ke desanya. Melihat wajah sang nenek untuk terakhir kali. Perpisahan memang pasti akan terjadi, hanya saja perpisahan itu untuk selamanya atau hanya untuk sementara. Kita tidak pernah tahu kapan kematian akan datang tapi itu semua pasti akan terjadi pada semua makhluk yang bernyawa. Memang tidak mudah untuk menerima kepergian, dan perpisahan dengan kematian. Tapi kita tetap harus menghadapinya. Percayalah memang waktu tidak bisa terulang, tapi kenangan akan selalu ada dalam hati serta jiwa kita. Lambat laun kita akan menerima kesesakan itu dan mengikhlaskan semuanya. ------ Saat ini bus telah membawa Citra menyusuri jalan utama kota untuk menuju ke desanya. Perjalanannya memang akan lebih cepat dari naik kereta namun dia harus berganti dengan bus lain jika telah sampai di perbatasan antara kota Bougenville dan Kota Kamboja. Tepat pukul delapan pagi Citra sudah menaiki bus yang kedua. Ia duduk di kursi yang berisi dua penumpang. Tatapan matanya menerawang kosong keluar jendela. Bahkan dia tidak sadar bus telah penuh sesak. Duduk seorang laki-laki di samping Citra. "Citra?" sapa laki-laki itu. Siapa lagi yang bertemu dengan Citra?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD