Chapter 10 : Hadiah dan Pekerjaan

1610 Words
Ch 10 [ Hai Citra, kamu sibuk? ] Begitulah isi pesan Deny pada Citra. [ Tidak ada, lagi beres-beres rumah ibu. ] balas Citra. [ Aku akan datang tunggu ya? ] Citra tak membalas pesannya. Ia sibuk dengan sikat yang ada ditangannya dan juga lantai kamar mandi. Bersih-bersih adalah salah satu hobi Citra. Sejak hidup di desa ia terbiasa melakukan segala hal sendiri , tak pernah sekalipun ia hanya berdiam diri duduk mengangkat kakinya atau bersantai-santai. Beberapa waktu kemudian suara bunyi bel rumah berdering. Assalamualaikum. Begitulah bunyi bel rumah Ira. Citra beranjak dan melangkah pergi dari kamar mandi. Sebelum itu ia membersihkan dulu tangan serta pakaiannya. Citra membuka pintu itu dan menampakkan sosok lelaki yang tinggi dengan rambut pendeknya. "Hai." sapanya dengan menyunggingkan senyum semanis mungkin. "Kamu? Ngapain?" tanya Citra. "Aku sudah bilang kalau aku akan kemarikan? Jadi bersiaplah kita pergi hari ini. Kamu harus belajar banyak di toko aku. Kamu sendirikan yang bilang kalau kamu ingin kerja?" kata Deny. "Serius? Aku boleh kerja denganmu?" tanya Citra tidak percaya. Deny mengangguk dan kembali menebar senyum menawannya. Menampilkan lesung dipipinya. Tidak semua orang bertato itu garang, contohnya Deny. Dia sosok yang lembut dan penyayang. Citra masuk kembali ke dalam rumah, meninggalkan Deny di depan pintu. Deny terbengong pasalnya baru kali ini ia tidak di persilahkan masuk oleh pemilik rumah. Beberapa menit berlalu Citra kembali keluar dari rumah.engunci pintu dan bersiap pergi dengan Deny. "Ayo aku siap." ucap Citra dengan semangat. "Aku haus lho, baru pertama kali ada tuan rumah yang sombong." kata Deny bercanda. "Hah? Benarkah? Kita beli sambil jalan saja. Tidak baik membiarkan laki-laki bukan mahram masuk rumah tanpa ada orang lain. Ngerti kan?" tutur Citra. "Baiklah kau memang. Aku juga nggak jadi haus." jelas Deny. Mereka berjalan dengan santai, beriringan. Deny mencuri-curi pandang pada Citra. Tapi Citra justru asyik menikmati suasana kota ini di pagi setengah siang ini. Dia tak pernah keluar saat kerja di rumah Kasih dulu. Dia hanya keluar pagi buta saat pergi ke pasar dan juga mengantar anak asuhnya sekolah lalu menjemputnya selebihnya ia habiskan untuk membersihkan rumah sang bos. Butuh waktu sekitar sepuluh menit berjalan kaki hingga mereka sampai pada toko Deny. "Aku akan belikan minum untukmu tunggulah disini." kata Deny. Begitu sampai di depan toko yang masih tertutup itu. Citra menurut menjawab dengan bahasa tubuhnya, menganggukkan kepalanya patuh. Semoga dia adalah jalanku menuju kebahagiaan. Doa Citra dalam hati. Ia tersenyum bila mengingat senyum Deny yang begitu manis dengan lesung pipi kanannya. "Ish ... kenapa dengan aku? Astaghfirullah jantungku mau copot." lirih Citra pada dirinya sendiri. Cukup lama Deny pergi, entah membeli minum di mana dia dan apa yang dia beli. Citra menunggu di kursi yang tersedia di depan toko itu. Beberapa saat kemudian muncullah batang hitung Deny. "Hei lama ya?" tegurnya. "Hei." Citra terkejut dengan kehadiran Deny yang tiba-tiba entah dari mana. "Tidak lama kok, hanya saja mungkin kursi yang aku duduki sudah memanas." canda Citra dengan menunjukkan deretan gigi-giginya yang mungil. Deny tertawa mendengar ucapan Citra barusan. Sungguh senyum dan tawanya seakan menghipnotis Citra, senyum dan tawanya mampu mengalihkan dunia Citra saat ini. Apa itu trauma? Apa itu syok? Dia bahkan lupa pernah mengalami hal buruk itu dua kali berturut-turut. "Maaf aku membuatmu menunggu. Aku punya sesuatu untukmu." jelas Deny. "Tidak apa-apa, apa itu? Sebotol air? Boleh, mana?" jawab Citra. Ia menjulurkan tangannya meminta air yang di janjikan oleh Deny. Deny lantas memberikan sebotol air pada Citra. Matahari hari ini seakan bersinar lebih hangat dibandingkan biasanya. Panas dan gerah itu yang di rasakan Citra begitu Deny muncul kembali dan berada didekatnya. "Aku ada sesuatu lagi untukmu." ucap Deny. Citra menoleh kearahnya yang duduk disampingnya. "Hem apa itu?" tanya Citra penasaran Deni mengambil sesuatu dari dalam sakunya, terlihat gelang kecil dari kain anyaman, sederhana dan cukup menarik. Deny memberikan itu untuk Citra. "Ambillah." kata Deny. " Untukku? Terima kasih Deny. Untuk apa ini? Maksud aku untuk apa kamu berikan ini padaku?" tanya Citra dengan begitu polosnya. Citra menerima dan membolak-balikkan gelang itu ada inisialnya "c" disitu, mungkin itu inisial nama Citra. Citra begitu besar kepala melihat satu huruf yang tertera di sana. Ia senyum-senyum sendiri. Lagi-lagi Deny memergoki hal itu. "Kami hobi banget senyum sendiri? Kamu waras kan?" canda Deny. Ia menatap Citra dengan intens. "Hah? Iyalah aku waras, kamu kira aku gila. Terima kasih ya, apa aku boleh tanya sesuatu?" kata Citra. Ia berniat menanyakan satu huruf yang ada di sana. Tanpa memalingkan wajahnya Deny mengangguk, ia mengangkat bahu tanda mempersilahkan Citra untuk bertanya. "Katakanlah, apa tentang inisial itu?" tebaknya. Namun tebakan itu benar dan tepat sekali. "Iya, kamu tahu? Kok bisa?" sergah Citra. "Tahulah, aku adalah cenayang. Dan aku tahu kamu pasti berpikir kalau satu huruf yang ada di sana adalah nama kamu 'Citra' betulkan? Dan kamu pasti besar kepala karena aku memberikan hadiah yang begitu romantis ke kamu? Betul lagikan? Jujur, ayo ngaku." canda Deny, dan itu berhasil membuat wajah cantik Citra bersemu kemerahan. Citra begitu malu karena tertangkap basah mengagumi setiap apa yang di berikan Deny barusan. Semudah itukah Citra merasa nyaman dengan seseorang? Tidakkah ia ingat bahwa dia pernah diperlakukan buruk oleh lelaki? Atau Citra adalah seorang gadis yang dengan mudahnya *move on*? "Apa yang bisa kau lihat dariku Deny? Jujur aku malu saat ini. Bisa kita segera bekerja saja. Tidak usah lagi membicarakan hal lain kecuali pekerjaan?" terang Citra. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Saat ini jantung Citra seakan dipacu lebih cepat dari biasanya. Citra takut jika suara detakan hatinya terdengar sampai pada telinga Deny. Deg... Deg... Deg... Kenapa? Mengapa? Semua pertanyaan itu memenuhi hati dan pikiran Citra. Apa yang terjadi denganku? Pikir Citra. "Baiklah, mari kita mulai bekerja sesuai permintaan mu." tutur Deny. Deny mulai membuka rolling door dan masuk kedalam toko itu. Baru satu langkah Citra menginjakkan kakinya di dalam toko itu. Citra langsung bersin-bersin tidak berhenti. "Haciw ... apa in-- ni haciw. Ini yang kau sebut tok-- haciw." cerca Citra. Meski gadis desa dia selalu menjaga kebersihan baik diri dan juga rumah yang ia tempati. Melihat toko Deny yang begitu berdebu seakan ia pikir ini bukanlah toko. Potongan-potongan kertas berserakan di mana-mana. "Kapan terakhir kamu membersihkan ini semua Deny? Astaghfirullah, syukurlah masih banyak yang datang kemari pelanggan kamu. Haciw ... haciw. Astaghfirullah." kesal Citra. Deny dengan sigap memberikan sebuah masker medis pada Citra. "Pakailah, setiap hari aku membersihkannya, aku menyapu mengepel dan mengelap semua perabotan di sini. Mungkin bagimu kurang bersih saja. Kalau aku baik-baik saja kok." jelas Deny menyangkal. "Terserah kau saja. Terima kasih maskernya. Di mana lap basahmu?" tanya Citra. Deny menunjuk dengan jari telunjuknya di mana ia menyimpan semua alat pembersihnya. Citra segera mengambil seluruh alat itu dan membersihkan mulai dari satu sudut ke sudut yang lain. Dengan cekatan dan begitu telaten. Deny yang melihat itu tersenyum dan terus mengagumi sosok ulet Citra. Sembari bebersih Citra masih terus bersin-bersin sampai ruangan itu benar-benar bersih dari debu. "Apa kau pernah jatuh cinta Citra?" tanya Deny dengan tiba-tiba. Mendengar itu Citra menghentikan aktivitasnya, ia menoleh ke arah Deny dan duduk di kursi yang ada di sampingnya. "Kenapa?" tanya Citra serius. Karena dia bahkan tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. "Apa kamu pernah? Aku bertanya padamu. Aku sedang jatuh cinta saat ini. Kau tahu dia adalah gadis lucu, dan cuek. Tidak mau tahu urusan orang dan dia rajin banget. Menurutmu apa aku bisa mendapatkannya?" tanya Deny pada Citra. Mendengar itu Citra merasa hatinya begitu sakit, seakan diremas-remas dan ditusuk ribuan kali. Sakit, sakit sekali, itu yang di rasakan Citra. Ia belum menjawab pertanyaan Deny untuk waktu yang cukup lama. "Hei, kenapa? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Deny. "Hah? Aku -- aku baik kok. Aku tidak tahu hanya saja aku sedikit berbeda." jujur Citra. Dia sama sekali tidak tahu apa yang ia rasakan saat ini. "Jadi apa jawaban pertanyaan aku tadi?" tanya Deny lagi. "Apa pertanyaanmu?" ulang Citra. "Astaghfirullah, sudahlah lupakan. Kerja lagi sana." kata Deny. Tanpa banyak bicara Citra melanjutkan aktifitasnya, entah kemana perginya alerginya seakan menghilang tanpa jejak. Sambil terus mengerjakan berkas-berkas yang sudah mengantri Deny dan Citra terus berbincang ringan. Citra sudah melupakan apa yang ia rasakan tadi. "Citra, aku mau tanya, bagaimana jika seseorang yang kamu sayang, kamu suka, kamu cinta ternyata tidak bisa menerimamu?" tanya Deny. "Kenapa? Apa masalahnya? Jika dia sudah bahagia dengan pilihannya. Jika posisi yang mencintai itu aku, aku akan relakan dia. Sakit memang tapi lebih sakit jika memaksakan seseorang yang tidak memilih kita untuk tetap memilih kita. Aku tidak tahu apa yang aku ucapkan benar atau salah." tutur Citra. "Apa maksudmu? Apa kau tak tahu apa yang sedang kau rasakan saat ini?" tanya Deny lagi. Citra mengangkat bahunya. Benar iya tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. "Memang ada apa dengan kamu Deny? Kamu memberikan pertanyaan yang tidak aku mengerti, apa yang terjadi? Apa jika ada orang yang menyukaimu tidak layak denganmu?" ucap Citra. "Tidak ... bukan begitu tapi kamu tidak akan pernah bisa paham dengan apa yang aku jalani, yang aku alami saat ini dan untuk kedepannya ... aku juga sayang, aku cinta sama kamu dan yah inisial di gelang itu memang nama kamu, aku ingin buat kamu tahu kalau aku juga punya rasa yang sama dengan kamu, tapi kita tak bisa untuk bersatu maafkan aku Citra ... maaf." lirihnya. Bahkan Citra pun hampir tidak mendengarnya. "Hah? Apa sih? Kamu ngomong yang kenceng kaya tadi Deny. Aku enggak denger." teriak Citra. "Sudahlah lupakan, kerja yang bener. Kalau kamu merusak hasil kerjaku aku potong gajimu." candanya. Ia terus menggoda Citra. "Ck, dasar sombong." cela Citra. Ia membantu Deny merapikan kertas-kertas yang sudah di cetak ulang dan di rapikan untuk menjadi sebuah buku yang utuh. Apa yang sebenarnya di sembunyikan oleh Deny? Apa benar dia menyukai Citra? Kata-katanya seakan memiliki arti yang besar untuk kelangsungan hidupnya, apa itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD