Bab 8. Bolos

1621 Words
Abira bukan tipe gadis yang langsung menerima penolakan begitu saja. Seperti saat ini contohnya. Keseringan bolos di jam Bu Intan, ini kali pertama Gladis menolak ajakan Abira untuk bolos. Alasannya Gladis tidak lagi ingin bolos mata kuliah. Tapi, itu tidak berjalan sesuai keinginan Gladis. Abira memaksa Gladis untuk ikut dengannya. Sambil menarik tangan Gladis secara paksa, Abira memperhatikan sekitar. Mereka sedang berjalan di lorong untuk keluar dari Gedung fakultas. “Sakit tau!” Gladis berusaha melepaskan tangannya. Nihil. Abira menggenggam pergelangan tangan Gladis terlampau erat. “Husst!” Abira meletakkan jari telunjuknya di bibir, memberi kode kepada Gladis untuk memelankan suaranya. “Lo bisa diem gak, sih?” “Ini lepasih dulu tangan gue. Sakit tau!” Abira melepaskan genggaman tangannya. “Lo emang bener-bener kelewatan, ya, Ra!” Abira melipat kedua tangannya di d**a. “Ya lo tinggal milih. Ikut gue bolos atau jatah traktiran lo gue kurangi?” Kalau Abira sudah menggunakan ancaman itu Gladis langsung terkunci seketika mulutnya. Mana bisa dia merelakan jatah traktirannya dipotong. Bisa kelaparan nanti. “Ya udah iya,” ucap Gladis pasrah. Sampai di kantin Abira memilih meja di pojokan. Kantin lumayan ramai. Ada sekitar dua puluh mahasiswa sedang mengisi perut mereka. Kantin di kampus Gunamaju terbilang luas. Terletak di tengah-tengah kampus. Dengan desain yang klasik, meja-meja yang terbuat dari kayu jati, pemandangan taman dan area kampus yang asri bisa dinikmati sembari menyantap menu yang tersedia. “Lo mau pesen apa?” tanya Abira. “Gue nasi gurih sama teh manis aja, deh.” “Mbok!” Abira memanggil Mbok Lastri, pemilik kantin. “Sebentar, Neng,” jawab Mbok Lastri. Saat itu wanita yang berusia 60 tahun itu tengah melayani pembeli. Usai, Mbok Lastri buru-buru datang ke meja Abira. “Mau pesen apa, Neng?” “Abira biasa, ya, Mbok. Nasi gurih satu, teh manis satu.” “Siap, Neng. Ngomong-ngomong Neng Abira tambah cantik aja!” Abira tersenyum. Sekilas dia memperhatikan penampilannya. Celana hitam dipadukan atasan merah muda membuatnya tampan manis dan cantik. “Makasih, Mbok.” Tak lama setelah Mbok Lastri meninggalkan meja mereka, Abira buru-buru bangkit, menarik tangan Gladis sembari menjerit, “Mbok, gak jadi, ya. Abira buru-buru!” Gladis ingin memekik menahan rasa sakit di tangannya yang digenggam erat dan ditarik oleh Abira. Sambil mengayunkan kaki menyeimbangi Abira, Gladis hanya bisa pasrah. Abira terus berlari menuju parkiran. Dia langsung masuk ke dalam mobil. “Mau lo itu apa, sih, sebenarnya, Ra? Tangan gue sakit tau!” Gladis mengeluh. Sambil menatap pergelangan tangannya yang sudah memerah, dia meniup-niup perlahan. Perih rasanya. Abira mengatur napasnya. Jarak kantin dan parkiran mobil sekitar lima ratus meter. Berlari sejauh itu membuat napasnya ngos-ngosan. Keringan tipis membasahi dahi dan leher Abira. Abira mengeluarkan ikat rambut, mengikat rambut sepinggangnya. Melihat Abira mengintip dari jendela mobil membuat Gladis bertanya, “Lo liatin apa, sih?” “Doni. Tadi gue liat Doni.” Ingin rasanya Gladis melayangkan tangannya, menjitak sahabatnya itu. Bisa-bisanya demi agar tidak bertemu Doni tangannya menjadi lebam seperti ini. Gladis menghela napas, dia berusaha menahan emosinya. “Emang Doni kenapa, sih? Dia mau makan lo emangnya? Nggak, kan?” “Gue juga gak tau, Dis. Entah kenapa gue sekarang takut banget kalo ketemu dia.” “Kita pulang aja gimana?” tawar Abira membuat mata Gladis melotot seketika. Jam kuliah mereka hari ini sampai jam lima sore nanti. Sekarang masih pukul sebelas. Sungguh, Abira memang benar-benar berbeda dari mahasiswa berprestasi pada umumnya. Bahkan sudah tidak diragukan lagi berbanding terbalik. “Lo gila, ya?!” “Ya terus gimana? Gue gak mau ketemu Doni, Dis.” Abira sendiri tidak tahu kenapa bisa rasa takut menguasai dirinya ketika melihat wajah Doni. Laki-laki yang dia sebut manja delapan hari lalu itu seketika langsung memiliki aura yang menyeramkan begitu Abira memutuskannya. Entahlah, Abira juga bingung dengan dirinya sendiri. Ini tidak biasa. “Lo aja, deh, gue nggak, Ra. Gue masih mau masuk.” “Please, Dis. Sekali ini aja. Lo temenin gue, ya, anterin gue sampe rumah.” Abira memohon. “Lo pegang jidat gue sekarang.” Abira meraih tangan Gladis, meletakkan di jidatnya. “Gue deman, Dis.” Hei, Abira tidak bohong. Badannya panas. Tidak butuh waktu lama untuk Gladis mengiyakan permintaan sahabatnya itu. Abira benar-benar demam. Rasa takutnya pada Doni membuat suhu tubuhnya naik. Itu menimbulkan tanda tanya di kepala Gladis. Gladis bergegas pindah duduk, menyalakan mesin mobil, melaju menuju rumah Abira. Yang mau diantar pulang masih belum memalingkan wajahnya, memeriksa apakah Doni mengikutinya atau tidak. Tiba di rumah Monica dan Bi Ijah membantu Abira keluar dari mobil, menggandeng sampai ke dalam kamar. Di jalan tadi Abira langsung melemas. Tubuhnya terus mengeluarkan keringat. Dia dibaringkan di atas tempat tidur. Bukan di kamarnya, melainkan di kamar Monica, di lantai dasar. “Ambilkan air putih, Bi,” suruh Monica panik. Melihat anaknya lemas seperti itu membuat Monica khawatir. “Baik, Nyonya.” Bi Ijah bergegas ke dapur untuk mengambil air putih sesuai perintah Monica. Gladis berdiri sambil menatap khawatir sahabatnya yang sudah tidak sadarkan diri. “Gimana bisa terjadi, Dis?” “Gladis juga gak tau, Tante. Abira minta Gladis buat anterin dia pulang. Waktu di jalan dia bilang pusing dan tubuhnya lemas.” Gladis harus berbohong. Dia tidak ingin membuat suasana semakin keruh jika mengatakan hal yang sebenarnya, kalau Abira ketakutan bertemu dengan Doni. Gladis pun yakin kalau Abira pasti tidak ingin mamanya tau apa penyebab pingsannya Abira sekarang. Bi Ijah masuk membawakan segelas air. “Ini airnya, Nyonya.” Monica menerima air itu. Tadinya ingin meminumkannya ke Abira, tapi sekarang dia sudah pingsan. “Panggilkan dr. Herman, Bi!” Tingkat kepanikan Monica kian bertambah. “Baik, Nyonya!” __00__ Malam tiba. Gladis baru saja menutup jendela kamar Abira. Sejak pukul satu siang hingga sekarang, dia belum beranjak dari kamar Abira. Monica terpaksa harus menitipkan Abira pada Gladis karena urusan mendadak mengenai agenda Monica untuk survei lokasi cabang butiknya nanti. Awalnya Monica sudah mau men-cancel saja agendanya, tapi setelah mendengarkan penjelasan dr. Herman mengenai kondisi anaknya, Monica memutuskan untuk mempercayakan Abira pada Gladis. “Dis,” panggil Abira pelan sekali. Suaranya nyaris tidak terdengar. Gladis balik badan. Melihat Abira berusaha bangkit, cepat-cepat Gladis menahan Abira untuk tetap berbaring. “Kondisi lo belum stabil, Ra. Udah lo baringan aja.” Abira mengangguk pelan, kembali berbaring. “Lo makan, ya.” Gladis mengambil bubur di atas nakas. “Gue gak laper, Dis.” Gladis duduk di bibir tempat tidur Abira. “Tapi lo tetep harus makan, Ra. Lo juga harus minum obat tuh yang dikasih dr. Herman,” Gladis menunjuk obat yang juga terletak di atas nakas dengan bibirnya. Diam. “Makan, ya.” Gladis menyendok bubur, bersiap menyuapi Abira. “Lo nyuruh gue makan tapi posisi gue tiduran begini.” Gladis menepuk jidatnya. Kalau kondisinya lebih baik sekarang dia pasti akan tertawa. Tapi, kali ini Gladis hanya tersenyum geli. Dia membantu Abira bersandar di sandaran tempat tidur. Sebelumnya Gladis sudah meletakkan bantal untuk membuat sandaran Abira terasa lebih nyaman. Suapan pertama. Abira terlihat sedikit memaksakan. Dilihat dari ekspresi wajahnya, kelihatannya dia tidak bisa menikmati rasa bubur buatan Bi Ijah itu. Pasti lidahnya terasa pahit sekarang. “Pahit, ya?” tanya Gladis. Abira menelan. “Iya, Dis.” “Tahan, ya, Ra. Biar lo bisa minum obat terus istirahat. Abira tidak tahan. Dia hanya bisa menelan sebanyak tujuh sendok saja. “Udah, Dis. Gak sanggup gue.” Gladis menyudahi. Setidaknya perut sahabatnya itu sudah terisi. Sekarang saatnya minum obat. Gladis memberikan gelas berisi air kepada Abira untuk dipegang. Dia mengambil obat, lalu memberikan kepada Abira. Usai meminum obat, Abira kembali berbaring. “Lo istirahat, ya.” Gladis menaikkan selimut, menutupi tubuh Abira. “Oh iya, Dis, nyokap gue mana?” “Katanya mau survei tempat, Ra.” __00__ Usai singgah dari toko kue, Raka melajukan mobilnya menuju rumah. Tidak ada pesanan dari adiknya sebenarnya. Hanya saja tiba-tiba Raka melihat ada toko kue, jadi, tidak ada salahnya membeli makanan favorit adiknya—kue coklat. Pokoknya apapun yang sudah disandingkan dengan coklat, pasti Vika suka. Hari ini Raka pulang agak malam. Pukul Sembilan dan dia baru serempat jalan menuju rumah. Menjadi dosen baru di Universitas Gunamaju, membuat Raka harus mempelajari banyak hal. Jalanan Jakarta jarang sekali mengenal sunyi. Malam ini beragam jenis kendaran saling memenuhi jalanan. Mulai dari yang kelas atas hingga kelas bawah. Semuanya terlihat ingin bergegas sampai ke tempat tujuan masing-masing. Raka sengaja menurunkan kaca jendela di samping kanannya untuk menikmati angin malam. Melepas penat. Akhirnya Raka sampai. Dia membunyikan klakson. Vika membuka pintu rumah. “Taraaa,” Raka mengangkat bawaannya, menunjukkan kepada Vika, sambil tersenyum ceria. “Wah!” Vika berlari mengejar Raka. “Mas beli apaan tuh?” “Kue coklat. Kamu mau, kan?” “Mau!” Vika terlihat seperti anak berusia enam tahun sekarang yang diberi hadiah. Tiba di dapur Raka membuka kulkas untuk meminum air dingin. Dia melihat ada dua desert box. “Ini desert box dari siapa, Ka?” Vika sedang duduk di meja makan, menikmati kue coklat, menjawab, “Dari Tante Monica, Mas.” Raka menutup kulkas setelah mengambil satu botol air mineral. “Tante Monica? Tante Monica siapa?” “Tetangga sebelah.” Sambil menuangkan air ke gelas Raka sudah mengetahui siapa ‘Tante Monica’ yang dimaksud. Mamanya Abira. “Tante Monica ke rumah ngapain?” Vika mengangkat bahu. “Vika juga gak tau, Mas. Gak lama setelah Mas pergi, Tante Monica dateng terus bawaan desert box.” Timbul pertanyaan di kepala Raka. Sebenarnya apa yang sedang mamanya Abira inginkan sekarang. Kalau itu sebuah penyambutan, seharusnya Raka yang melakukan itu karena dialah tetangga baru di kompleks ini. “Mas gak mau?” tanya Vika. Kue coklat sudah habis separuh. “Kamu makan aja, Mas udah kenyang. Nanti kalau gak habis masukin kulkas lagi aja, ya.” “Oke, Mas.” Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD