Setengah jam berlalu.
Raka mengenakan jasnya kembali. Setelah memastikan dirinya sudah rapi, Raka mengambil map berisi materi yang akan dia ajarkan hari ini.
Sepanjang lorong menuju kelas banyak sekali mahasiswa yang memandanginya tanpa berkedip. Bukan hanya memandang, beberapa di antaranya bahkan terlihat histeris. Raka memfokuskan pandangannya ke jalan.
Meskipun sudah terlalu sering menerima perlakuan seperti itu, Raka belum kunjung terbiasa hingga sekarang. Rasanya risih jika terus dipandangi seperti itu.
Raka berdoa dalam hatinya sekarang semoga tidak ada mahasiswi yang mendatanginya untuk meminta berfoto bersama.
"Pak!" panggil salah seorang mahasiswi. Raka menghentikan langkahnya, menolah ke belakang. Dua orang mahasiswi berjalan cepat mengejarnya.
"Boleh minta foto?"
Raka mengelus d**a. Baru saja dia selesai berdoa dalam hati berharap agar kejadian ini tidak berlaku, eh taunya malah sebaliknya. Raka segera menggeleng. "Maaf, saya ada kelas." Raka langsung pergi meninggalkan mereka berdua yang tengah memasang wajah kecewa.
Sampai di depan pintu kelas, Raka berhenti sejenak, menarik napas dalam. Dia sudah dua tahun menyandang gelar dosen. Akan tetapi dua tahun itu belum cukup menghilangkan rasa grogi dalam diri Raka. Apalagi sekarang dia mengajar di kampus baru. Raka harus mengulang dari awal untuk meminimalisir hingga menghilangkan rasa groginya.
Tarikan napas terakhir, Raka memejamkan matanya, meyakinkan diri kalau semua akan baik-baik saja. Raka pasti bisa mengajar dengan baik.
Pintu dibuka. Raka melangkahkan kaki ke dalam kelas.
"Selamat pagi!" sapa Raka mendekati mejanya.
Para mahasiswa yang tadinya tengah bercanda-gurau kembali ke meja masing-masing. Ruangan kuliah yang dimasuki Raka tidak terlalu luas. Hanya ada dua puluh lima mahasiswa di sana. Dan satu sudah Raka kenali.
"Pagi, Pak!" balas para mahasiswa serempak.
"Saya tidak tahu sampai di mana materi yang Pak Burhan sudah ajarkan—"
Abira mengangkat tangannya. "Pak Burhan sudah mengajar materi Mekanika, Pak," ujar Abira memberitahu sambil tersenyum asri sekali.
Gladis yang duduk di samping Abira langsung memonyongkan bibirnya. Cepat sekali Abira mengambil kesempatan. Dia memang mahasiswa yang berprestasi, tapi tidak biasanya Abira menonjol seperti ini. Tidak lain-tidak bukan, ini pasti taktik Abira untuk menarik perhatian Raka.
Ah, iya. Abira dan Gladis duduk di barisan kedua dan ketiga. Mereka berdua duduk di depan.
"Baiklah kalau begitu. Sebelum kita lanjutkan ke materi selanjutnya, saya ingin mencoba sampai di mana kemampuan kalian terlebih dahulu."
"Oke. Siapa takut." Abira memasang wajah mantap sembari membenarkan posisi duduknya.
Gladis menatap jengah sahabatnya itu. Kalau sudah urusan menaklukkan pria tampan, Abira tidak diragukan lagi. Pasti ada saja ide yang muncul di kepala Abira.
Abira tidak akan tinggal diam. Untuk urusan kuis dia memang suka. Soal-soal random yang biasa dosen tanyakan di kelas selalu bisa dijawabnya. Itu menunjukkan bahwa Abira ini memang mahasiswi yang berprestasi. Menjawab kuis sudah menjadi favorit Abira sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Hanya saja dulu Abira selalu memberikan kesempatan kepada teman-teman sekelasnya dulu untuk menjawab. Abira akan menunggu sampai tidak ada yang bisa menjawab soal kuis random dari guru, barulah dia akan mengacungkan tangan untuk menjawab. Tapi … kali ini sepertinya akan berbeda.
"Baiklah." Raka menatap wajah Gladis. "Kamu." Raka menunjuk Gladis. "Kapan penemu gravitasi dilahirkan?"
Gladis tertawa dalam hatinya. Itu pertanyaan yang terlampau mudah. "Isaac Newton dilahirkan 25 Desember 1642 di Woolsthorpe-by-Colsterworth, sebuah hamlet (desa) di county Lincolnshire."
Hingga pertanyaan seterusnya semua mahasiswa bisa menjawab. Dan sekarang tersisa satu orang lagi yang belum ditanyai, Abira. Dia dari tadi sudah menunggu ditunjuk Raka, namun hingga sekarang belum juga.
Tau kenapa?
Raka sengaja melakukan itu. Alasannya untuk membalas perlakuan Abira kemarin siang. Abira pasti ingin mencari muka kepada Raka.
"Pak, saya tidak ditanya?" tanya Abira saat Raka sudah membuka tutup spidol bersiap untuk menuliskan manteri.
"Bukannya kamu mahasiswi terbaik di sini?" tanya Raka menantang.
Raka sudah mendengar tentang siapa Abira. Selain itu nama Abira sempat menjadi perbincangan di tahun 2018. Dia berhasil memenangkan ajang olimpiade di dunia. Bukan hanya itu, bahkan kemenangan Abira juga disiarkan di televisi nasional.
Maka dari itu saat tiba-tiba Abira menyiram Raka dengan air mineral kemarin siang langsung membuatnya terheran-heran. Bagaimana bisa juara olimpiade dunia bertingkah seperti itu tanpa Raka berbuat salah kepadanya. Dan sekarang, Raka mulai bisa mengerti ke mana Abira ingin membawa arah permainan.
Abira ingin mencari perhatian Raka.
Setelah dipikir-pikir, tidak ada salahnya untuk mencoba seberapa cerdas gadis bernama Abira itu. Raka menutup spidolnya. "Baiklah jika kamu memaksa."
Abira mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan senyum, sambil mengatakan yes! di dalam hati.
"Apa itu Mekanika?"
"Mekanika adalah bagian dari ilmu fisika mengenai gaya yang bekerja pada benda. Sebagian besar konsep dasar di dalam mekanika klasik memanfaatkan hukum gerak Newton yang dirumuskan oleh Isaac Newton. Mekanika klasik sendiri dibagi menjadi beberapa sub bagian lagi, yaitu statika (mempelajari benda diam), kinematika (mempelajari benda bergerak), dan dinamika (mempelajari benda yang terpengaruh gaya).
"Mekanika klasik memberikan hasil yang sangat akurat untuk penerapan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Kekurangannya hanya pada kasus tertentu—"
"Cukup, cukup!"
Raka langsung menghentikan Abira. Jawaban yang Abira lontarkan sudah lebih dari cukup untuk membuktikan siapa dirinya. Cara Abira menjawab sudah cukup meyakinkan Raka. Apalagi saat ini Abira masih duduk di semester 3.
Senyum Abira terpampang jelas di wajah. Dia sangat percaya diri hari ini. Melihat Raka menghentikannya menjawab, membuat Abira merasa semakin bangga. Itu artinya jawabannya sesuai dengan apa yang Raka inginkan.
Dua jam kemudian.
Kelas Raka selesai.
"Untuk hari ini kalian tidak saya beri tugas. Tapi ingat, kalian harus tetap mencari materi di luar kelas ini. Paham?"
"Paham, Pak."
Gladis langsung mendatangi Abira. "Lo caper banget, sih!"
"Namanya juga usaha, Dis. Kalo gak gitu gimana Raka mau ngelirik gue."
Gladis menepuk bahu Abira. "Pak Raka. Gak sopan tau!"
"Eh, iya. Pak Raka maksud gue."
Abira selesai memasukkan bukunya ke dalam tas. "Eh, lo gak laper?"
"Laper, sih. Tapi bukannya bentar lagi jamnya Bu Intan?"
"Alah udah. Kita bolos aja." Abira keluar dari kursinya, menarik tangan Gladis.
"Lo yakin? Minggu lalu kita gak masuk lho."
Abira sendiri memang tidak menyukai jam Bu Intan. Baginya dosen yang sudah berusia 56 tahun itu membosankan sekali. Tidak ada asyik-asyiknya belajar dengannya. Abira sendiri akan bertukar duduk di belakang untuk tidur di jam Bu Intan.
Satu lagi yang harus digarisbawahi, Abira sangat berbeda dari mahasiswi yang berprestasi di luaran sana. Abira justru menyukai hal-hal yang tidak disukai anak berprestasi pada umumnya. Contohnya seperti sekarang. Abira suka bolos di jam Bu Intan.
Bersambung...