Bab 27. Kontemplasi

1285 Words
Rasa cinta mungkin memang tidak akan bisa hilang. Meskipun telah sakit menyakiti, tapi baik Cassidy dan Sophie tidak pernah melupakan satu sama lain. Tangan Sophie masih memegang sisi leher dan garis rahang Cassidy membuatnya seakan tertarik ke bawah. Kedua tangan Cassidy yang sebelumnya tidak memegang apa pun perlahan menyentuh punggung Sophie menariknya lebih dekat. Bibir mereka nyaris memagut lembut saat terdengar bunyi ponsel Sophie yang mengagetkan keduanya. Buru-buru Sophie melepaskan pegangannya pada Cassidy. Cassidy pun melepaskan tangannya dari Sophie. “Ponselku ....” gumam Sophie pelan dan berbalik dari Cassidy. Cassidy hanya diam saja lalu menunduk untuk mengulum senyumannya. Sophie mencari ponsel yang ia letakkan di atas konter dapur. Cassidy hanya mengulum senyuman saja tak bicara. “Oh, ini dia ....” Sophie pun memeriksa lalu mengernyitkan keningnya. Setelah ia menunggu sekian lama, Laura menghubunginya. Sophie pun langsung mengangkatnya. “Laura ... Laura kamu di mana? Apa kamu baik-baik saja?” Sophie langsung bertanya pada Kakaknya. “Aku baik-baik saja, Sophie. Bagaimana kabarmu?” “Aku ... aku sangat mencemaskanmu,” balas Sophie dengan lutut lemas. Ia terduduk di kursi tak lama kemudian. “Aku baik-baik saja, Sophie. Percayalah, aku tidak apa-apa.” Laura kembali meyakinkan adiknya. Napas Sophie masih tersengal karena adrenalin. Laura bisa mendengarnya dan kembali menenangkan Sophie. “Bagaimana denganmu? Apa kamu sudah bicara dengan Cassidy?” Kening Sophie sedikit mengernyit mendengar yang dimaksudkan oleh Laura. Laura tidak terdengar tertekan dan di belakangnya seperti sedang ada pesta dengan banyak orang berbicara serta tertawa. “Apa maksudmu? Aku sedang menunggumu. Kamu di mana?” sahut Sophie balik bertanya. Laura menjeda cukup lama tak bicara. Ia baru bicara setelah beberapa saat kemudian. “Maafkan aku, Sayang. Aku tidak bisa menjemputmu. Aku ... aku sudah menikah dengan Erik.” Mata Sophie membesar seketika. Ia menoleh cepat ke arah Cassidy yang masih duduk di kursinya ikut menatapnya dengan wajah datar. Sophie kembali berpaling dan kebingungan tidak mengerti. “Tapi ... bukankah kamu ditahan oleh Polisi?” sahut Sophie dengan nada sangat cemas. “Tidak. Erik malah bilang jika kamu yang akan ditahan oleh Polisi jika ... oh, Tuhan dia membohongiku lagi!” “Huh, Laura aku tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi!” tukas Sophie meninggikan suaranya. “Oh, Sophie. Ada kesalahpahaman di sini. Yang jelas aku telah menikah dengan Erik beberapa jam yang lalu. Soal Cassidy, bicaralah dengannya. Kalian harus bisa memutuskan akan seperti apa. Jika kalian memang ingin bercerai, lakukan setelah anak kalian lahir. Cassidy berhak atas bayi di dalam kandunganmu, Soph, dia ayahnya.” Sophie terdiam mendengar nasihat Laura. Ia tahu jika yang dikatakan oleh Laura adalah sebuah kebenaran. Hanya saja, Sophie tidak mau menerimanya. Hatinya masih merasakan sakit yang sama meski cinta dan kerinduannya juga sama besarnya. “Aku tidak bisa memaafkannya begitu saja,” gumam Sophie pelan. Air matanya jatuh tanpa ia sadari dan langsung menghilang kala menyentuh pangkuannya. “Aku tahu. Aku pun merasakan hal yang sama pada Erik. Aku tidak akan mudah memaafkannya.” “Lalu mengapa kamu malah menikah dengannya?” “Karena aku mencintainya. Bukankah itu juga alasanmu mau mengandung darah daging Cassidy?” balas Laura. Sophie kembali diam dan menundukkan kepalanya. “Pikirkan bayimu, Sophie. Dia tidak bersalah atas apa pun yang terjadi pada kalian dan Cassidy sudah banyak membayar semuanya. Kalian berdua sudah banyak terluka,” imbuh Laura lagi. Sophie masih diam lalu menelan ludah yang rasanya sangat sulit saat ini. “Apa yang harus aku lakukan, Laura?” Cassidy yang sudah menunggu Sophie terlalu lama bicara dengan Laura akhirnya berdiri. Tanpa bicara, ia berjalan naik ke kamar atas memilih ingin membersihkan diri agar rasa perih tersengat lebah bisa hilang. Sementara itu di pesta pernikahannya, Laura selesai menghubungi Sophie. Ia meletakkan ponsel itu di atas meja dan menoleh ke arah para pengiring pengantin. Erikkson sedang bercengkerama dengan sahabatnya menikmati jamuan pesta yang cukup sederhana. “Apa kamu sudah bicara pada Sophie?” tegur Kourtney. Laura menoleh pada Ibunya dan tersenyum lalu mengangguk. “Kamu akan segera pergi bersama Erikkson, bolehkah aku bicara sesuatu padamu, Sayang?” ujar Kourtney lagi. Laura masih tersenyum lalu mengangguk. Tangannya menggenggam tangan Ibunya dan mereka saling berhadapan. “Aku sangat bahagia bisa menyaksikanmu menikah dengan Erikkson Thomas. Dia pria yang baik dan tepat untuk menjagamu, Laura. Apa pun yang sudah terjadi di masa lalu, tinggalkan. Jangan pernah mengingatnya lagi.” Laura menyimak tanpa menyanggahnya sama sekali. “Aku selalu memimpikan bisa melihatmu dan Sophie menikah dengan pria-pria yang akan menjadi suami terbaik seperti Ayahmu Jonathan.” Laura sedikit menyunggingkan senyumannya dengan mata berkaca-kaca. “Saat Sophie menikah, aku melihat hal yang berbeda pada Cassidy. Hari itu aku yakin jika Cassidy akan menjadi pelindung dan suami yang setia bagi adikmu. Dan Cassidy membuktikannya, sekalipun dia melakukan hal yang memalukan tapi kamu juga bisa melihat seperti apa kesetiaannya.” “Jika tidak, Cassidy pasti sudah menikah lagi jauh sebelum Sophie ditemukan, iya kan?” Laura mengangguk pelan lalu menundukkan wajahnya. “Demikian pula denganmu, Sayang. Erikkson, aku yakin jika dia akan menjadi suami yang setia bagimu. Dia akan menjagamu seperti yang dilakukan Ayahmu. Sesungguhnya akulah yang meminta Ayahmu untuk mencegah Justin menikah denganmu─” Laura mengangguk pelan dengan sedikit senyuman. “Aku tahu soal itu, Mom. Daddy pernah mengatakannya padaku jika sesungguhnya Erik tidak berhubungan langsung soal itu. Tapi ya ... itu sudah berlalu dan aku tidak ingin mengingatnya lagi,” jawab Laura dengan suara lembut. Kourtney tersenyum lalu mengangguk. “Kalau begitu kamu dan Erikkson, akan kembali seperti dulu, iya kan?” “Mom, kami sudah menikah.” Laura menjawab dengan pipi merona dan senyuman terkulum. Kourtney begitu bahagia dan langsung memeluk putri sulungnya. Laura dan Kourtney kemudian saling melakukan tos dengan anggur yang dihidangkan oleh pelayan. Keduanya tertawa saling bercerita sebelum pesta berakhir. “Selamat bulan madu!” ujar para tamu melambaikan tangan pada Erikkson dan Laura yang akan berlayar menggunakan Yacth mewah milik Erikkson. Keduanya menuju sebuah kapal pesiar untuk keduanya berbulan madu. Erikkson sudah mempersiapkan perjalanan beberapa bulan untuk bulan madunya bersama Laura. Kali ini rekonsiliasinya harus berjalan lancar. “Sudah siap menjelajahi dunia ini bersamaku?” ucap Erikkson mendekati Laura. Ia mengurung Laura dengan kedua lengannya memegang railing pembatas kala Yacth sedang berhenti sejenak. “Aku belum bilang akan mau kan?” Laura balik menantang. Ia sedikit tersenyum sedangkan Erikkson hanya terkekeh mengangguk saja. Erikkson tidak peduli Laura mau mengatakan apa. Ia langsung mengecup sisi kening Laura beberapa kali. “Aku tidak peduli,” gumam Erikkson lalu kecupannya turun ke pipi. Laura sedikit berbalik dan berhadapan dengan Erikkson kini. Laura menaikkan kaca matanya lalu melepaskan kacamata Erikkson yang perlahan tersenyum. “Aku akan membuatmu repot─” “Aku tidak peduli.” Erikkson menyahut cepat. Laura menggeleng pelan sembari mengulum senyumannya. “Kamu sangat keras kepala, Erik.” Erikkson balik terkekeh kecil seraya membuang wajahnya ke samping. “Aku ... keras kepala? Bukankah yang keras kepala itu adalah dirimu?” Laura sedikit mengernyit. “Tidak─” “Tentu saja, iya. Jika kamu tidak keras kepala, kita sudah menikah sejak lama, Peaches Sayang. Kamu terlalu lama menahan gengsimu padaku!” Laura langsung mengacungkan telunjuknya pada Erikkson sebagai tanda protes. Erikkson kembali menegakkan tubuhnya. Ia kembali bersemangat karena Laura sudah mengambil ancang-ancang akan berdebat dengannya. “Itu bukan gengsi. Kamu membawa gadis lain ke kamarmu. Kamu masih bersama mantan kekasihmu,” sanggah Laura. “Oh, tidak. Aku sudah menjelaskan padamu jika Monica masuk ke kamarku tanpa ijin. Apa kamu tahu jika aku berurusan hukum dengannya? Itu karena aku mengusirnya. Kenapa aku tidak percaya padaku?” sahut Erikkson mulai berdebat. “Apa buktinya?” Laura kembali memutar bola mata indahnya. Erikkson menarik napasnya lalu meraih wajah Laura dan mencium bibirnya. Lumatan lembut bibir Erikkson membuat Laura seketika diam berdebat. “Aku tidak akan mencium wanita lain, seperti aku mencumbumu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD