“Aku tidak punya uang membayar semua itu. Lagi pula aku tidak mengambil sepeser pun dari uangmu. Aku mengembalikan semuanya pada bank!” ujar Sophie berlinang air mata. Ia menolak membayar utang yang tidak pernah dilakukannya.
“Uang itu tidak ada di bank mana pun, Sophie. Aku sudah mencarinya dan aku bisa membuat keluarga Marigold bangkrut demi membayar kekonyolan yang sudah kamu lakukan!” sahut Cassidy meninggikan suaranya.
Sophie terengah mengatur napasnya. Keringat dingin mulai membasahi batas rambutnya. Ia harus bisa kabur dari Cassidy secepatnya tapi bagaimana caranya?
“Tanda tangan!” perintah Cassidy lagi membuat Sophie tersentak. Wajah pucat dan memelasnya membuat Cassidy tak tega. Ia ingin menghentikan yang sedang dilakukannya sekarang tapi terlanjur semuanya.
“T-Tapi ... beri aku waktu. Aku akan mencari uangmu di bank itu ....”
“Aku memberimu waktu 40 hari untuk mengembalikan uangku, Sophie. Aku sudah mengatakannya kan? Aku bukan seorang penjahat, Sophie,” ujar Cassidy dengan cengir culasnya.
“Jadi menurutmu yang kamu lakukan padaku sekarang tidak jahat?” sindir Sophie.
“Huh, aku hanya mengejar uangku. Aku tidak salah kan?”
“Kamu ,.. aku sedang hamil, Cass, Aku tidak mungkin membayar uang sebanyak itu!” ujar Sophie seperti akan menangis.
“Dalam 40 hari jika kamu tidak bisa mengembalikan uangku, maka kamu harus ikut masuk penjara bersama keluargamu, mudah bukan? Kamu hanya akan dihukum 30 atau 50 tahun bersama keluargamu. Itu harga yang setimpal dengan apa yang sudah kamu lakukan padaku!”
“Aku tidak mau! Aku tidak mau menandatangani apa pun. Pergi dari sini!” teriak Sophie kembali membentak.
Rasa mual tiba-tiba naik membuat Sophie nyaris limbung. Tangannya dengan cepat menangkap ujung meja sementara tangan Cassidy ingin meraih tapi tak jadi.
“Pergi dari sini!” ulang Sophie mengusir Cass lagi.
“Tidak akan. Aku akan tinggal di sini sebagai Suamimu. Aku baru akan menceraikanmu setelah urusan kita selesai.” Cassidy mengancam lagi. Napas Sophie jadi makin berat.
“Aku mau istirahat jadi kamu punya waktu untuk berpikir sampai besok pagi. Hanya besok pagi, Sophie. Atau aku akan menelepon NYPD untuk menahan Ayah dan Ibumu. Setelah itu kita lihat apa yang akan kamu putuskan, hhm!” Cassidy mengambil dokumen tersebut dan membawanya bersama.
“Frost ayo kita tidur!” panggil Cassidy pada anjingnya yang menggonggong dan mengikutinya ke kamar Sophie. Sophie makin resah serta sesak napas. Ia ikut naik ke kamar melarang Cassidy masuk.
“Tunggu, kamu tidak boleh tidur di kamarku!” hardik Sophie melarang Cassidy.
“Kenapa memangnya?” Cassidy balik bertanya dengan santai.
“Itu kamarku. Aku tidak mau tidur denganmu.”
“Ya sudah, kalau begitu kamu bisa tidur di sofa atau di kamar lain. Gampangkan?”
Cassidy dengan cueknya membuka pintu kamar Sophie lalu masuk begitu saja. Sophie masih bersikeras dan ngotot untuk melarang. Namun Cassidy tidak peduli sama sekali.
“Aku bilang jangan masuk ke kamarku!”
“Aku mau tidur, Sophie. Ini sudah malam!”
“Tapi ini bukan kamarmu. Untuk apa kamu ada di sini?”
“Aku Suamimu, okey. Jika ada yang bertanya dan ingin melihat buktinya, ini ... aku masih memakai cincin pernikahan kita dan aku membawa seluruh dokumen asli pernikahan kita. Jadi kamu mau beralasan apa lagi?!” sahut Cassidy begitu kesal. Ia kembali hendak melewati Sophie yang terus menghalanginya.
Dengan kesal, Sophie menarik lengan Cassidy mencegahnya menuju tempat tidur itu lagi. Sophie bahkan berdiri di depan Cassidy dengan sebelah tangan yang merentang ke depan dan sebelah lagi memegang pinggang belakang. Ia sudah lelah dan pinggangnya sakit.
“Aku tidak bisa tidur di sofa, aku sedang hamil,” sahut Sophie tidak tahu lagi harus memberikan alasan apa.
“Kalau begitu tidak usah tidur di sofa. Kita bisa tidur bersama di sini!”
“Tidak. Kamu tidur di luar. Aku tidak mau melihatmu.” Sophie kembali berteriak tapi kemudian mengaduh karena bayinya bergerak lagi.
“Aduh, ahh ....” Sophie pun tidak tahan dan akhirnya duduk dipinggir ranjang.
Cassidy menghela napas panjang lalu diam sejenak. Ia menekan keinginannya untuk memegang perut Sophie demi menenangkan bayinya. Baginya, ini soal keberhasilan misi dan harga diri.
“Ya sudah. Kita berbagi ranjang saja. Aku tidak keberatan tidur denganmu,” ujar Cassidy membuat keputusan. Sophie yang masih merasa aneh di perutnya mencoba mendelik. Ia ingin melawan tapi tenaganya memang lepas begitu saja.
“Apa ...”
“Aahh, aku lelah sekali.”
Cassidy melempar punggungnya di ranjang begitu saja. Bahkan ia belum melepaskan sepatu bootnya.
“Cass, kamu mengotori tempat tidurku!” rengek Sophie kesal. Cassidy tersenyum lalu melepaskan sepatu dengan kakinya. Suara dan perilaku Sophie berhasil membuat Cassidy tersenyum kali ini.
Sementara Sophie sebenarnya ikut salah tingkah dengan apa yang dilakukan oleh Cassidy padanya. Namun, ia tidak mungkin mengalah saat ini.
“Cass, aku mohon keluarlah!” Sophie kembali merengek. Ia sudah kegerahan dan kesal. Ditambah dengan Cassidy yang tidak mau bangun. Bukannya menjawab, Cassidy memperdengarkan dengkuran keras pada Sophie. Sophie jadi makin kesal. Ia menarik bantal dan mengayunkannya pada Cassidy.
“Aku tahu kamu tidak tidur!” seru Sophie memukul Cassidy dengan bantal. Ia masih memiliki lima persen sisa tenaga untuk mengusir Cassidy. Tidak ada yang berhasil. Cassidy bahkan mengacuhkannya dengan tidur menyamping membelakangi Sophie.
Mau tidak mau Sophie pun menyerah. Ia mulai dilema. Tidak mungkin untuk tidur di sofa malam ini. Terlebih ia sedang hamil dan butuh tempat lebih besar. Akhirnya Sophie mengalah. Ia pun berbaring menyamping membelakangi Cassidy di ranjang yang sama.
Rasanya memang berbeda. Biasanya Sophie hanya sendirian di ranjangnya yang sepi. Mulai malam ini, jantungnya tidak akan berhenti berdegup kencang karena Cassidy kembali ke sisinya.
Sementara Cassidy masih membuka matanya menyamping menatap ke arah jendela. Sebelah tangannya meremas sisi bantal dengan air mata yang nyaris tumpah. Bayangan Sophie yang sangat ingin didekap Cassidy kini berada di belakangnya. Betapa rasa rindu itu begitu menyiksa. Rasanya ingin mendekap tapi melakukannya berarti menyerah.
Malam semakin turun dan membelai keduanya dalam kedamaian. Sunyi senyap perlahan memberikan damai pada jiwa-jiwa yang sedang mencari cinta di antara rasa benci yang sedang ditumbuhkan. Mata Sophie perlahan terpejam dan ia benar-benar tertidur.
Cassidy bangun perlahan dari tempat tidurnya dan berjalan memutar ke sisi Sophie. Ia kemudian duduk di lantai tepat di depan Sophie. Sebelah tangan Cassidy perlahan menyentuh helai rambut Sophie dan memindahkannya ke samping telinga.
“Aku sangat merindukanmu,” bisik Cassidy tak bersuara.