Tiga Puluh Empat

2331 Words
“Ya, kami pernah mengobrol dan sempat aku bertanya padanya soal apa yang pernah terjadi di istirahat babak pertama di pertandingan perebutan gelar tahun delapan puluh tujuh itu. Sayangnya, mulutnya tak mau membuka, dia tidak mengucapkan satu kisi-kisi pun soal kejadian itu. Aku mencoba memancingnya dengan mengatakan jika aku tahu sedikit bahwa ada perkelahian yang terjadi. Tapi hasilnya nihil, dia masih menjadi seperti kerang. Mulutnya tertutup rapat. Aku menunggu selama beberapa hari dengan harap aku bisa tahu kebenaran dari dirinya. Pada akhirnya dia mengatakan kalau Leo mengusir para pelatih keluar dari ruang ganti, dan memerintahkan mereka supaya menjauh dari bench begitu babak kedua dimulai. Dia juga bilang kalau ada sedikit cek-cok antara Maggie dan Nicki. Aku tanya lagi padanya, apa yang dipukul olehmu sehingga tanganmu bisa sampai patah. Loker? Dinding? Tidak satu pun di antara benda itu dia benarkan. Orang lain? Tepat. Namun dia berhenti di situ, dia tidak menyebutkan siapa gerangan.” “Kau telah melakukan pekerjaanmu dengan baik, David,” kata Denis. “Mungkin aku akan mengusahakanmu untuk terpilih kembali dalam pemilihan selanjutnya.” “Bisakah kita langsung berangkat? Semakin larut aku mendengar cerita ini, semakin aku membenci semua kenangan itu.” Setelah itu, mereka melesat dalam sergapan keheningan selama setengah jam lamanya. David masih memegang kemudi mobil, dengan lampu-lampu yang masih menyala. Tampaknya perlahan-lahan matanya semakin berat sedang segunung makanan tadi baru dia cerna. “Aku tak keberatan jika harus mengambil alih kemudi,” kata Nicki setelah mobil berbelok ke bahu jalan yang berkerikil, kecepatan mobil itu semakin lirih saat David agak sulit untuk mempertahankan matanya tetap terjaga. “Kau tidak bisa melakukan itu, itu bertentangan dengan hukum,” kata David yang mendadak kesadarannya kembali pulih seutuhnya. Lima menit setelah perdebatan itu berakhir, rasa kantuk itu kembali menyerangnya. Nicki memutuskan kalau percakapan bisa membantu David untuk tetap terjaga. “Kau sendiri yang menangkap Jose?” Tampaknya Nicki mengawalinya dengan sangat baik, sebuah topik yang menarik. “Bukan aku. Personil lain yang menangkapnya.” David kembali meluruskan punggungnya dan meraih satu batang rokok. Kelihatannya, memancing dia untuk bisa bercerita memang sangat manjur. “Mereka mengusirnya dari regu, dari sekolah, dia sempat lolos, nyaris tanpa dipenjara, dan tidak lama setelah itu dia kembali ke sini. Bocah yang malang itu mengalami kecanduan yang luar biasa. Segala macam cara sudah pernah dilakukan; rehabilitasi, penasihat, bahkan dikurung. Mereka merasa hancur karena itu. Keluarganya dulu mempunyai tanah pertanian terbaik yang ada di sekitar sini, saat ini semua itu sudah lenyap. Ibunya yang malang, kini tinggal di sebuah rumah besar, meskipun begitu atap rumah itu mulai runtuh.” “Lalu?” tanya Denis, dari kursi belakang dia berusaha membantu. “Setelah itu dia mulai menjual obat bius. Tentu dia tidak hanya berhenti di situ. Dia masih memakai nama organisasi lain, tidak lama, dia membuat organisasi sendiri, sebuah bisnis yang bagus dengan ambisi yang sangat besar.” “Sepertinya ada yang terbunuh, kan?” tanya Denis. “Sebentar lagi akan aku ceritakan,” kata David sambil melirik ke kaca spion yang ada di tengah. “Sejak dulu aku sangat menginginkan ada sosok bankir yang nanti bisa duduk di kursi belakangku.” David kembali menggeser pinggulnya, memantapkan kembali posisinya yang mampu membuat kesadarannya lebih mantap. Dia kembali melemparkan tatapan tajam pada kaca spion. “Bagian narkotika secara perlahan mengambil alih pembicaran publik karena keberingasannya menangkap para pecandu. Mereka akan mengancam siapapun dengan hukuman penjara selama tiga puluh tahun dan sodomi. Dia sangat berani. Dan mungkin dia sudah memperhitungkan seluruh resiko ketika dia menyiapkan sejumlah transaksi di tempat para petugas narkotika yang saat itu sedang bersembunyi di sela-sela pepohonan. Namun ironisnya, transaksi itu kacau, pelatuk pistol dicabut, terjadi saling tembak. Salah satu petugas narkotika tewas, tertembak telinganya saat adu gencatan itu. Satu pecandu juga tertembak, namun dia berhasil selamat. Sementara, Jose tak ada di sana, hanya orang-orangnya yang maju. Setelah kejadian itu, dia lantas menjadi target primer dari para penegak hukum. Dan dalam kurun waktu satu tahun, dia sudah tunduk pada pengadilan. Dia menerima hukuman penjara selama dua puluh delapan tahun, tanpa jaminan pembebasan bersyarat.” “Dua puluh delapan tahun…” Nicki seolah terkejut dengan lama tuntutan yang didapatkan Jose itu. “Ya, aku sendiri turut datang dalam sidangnya. Dan bagaimana pun juga, aku merasa kasihan dengan si bodoh itu. Yang kumaksud di sini, dia punya kelengkapan sebagai pemain liga domestik. Postur, kecepatan, selain itu, dia juga sudah bersama Maggie sejak umur empat belas tahun. Sejak dulu Maggie kerap bilang kalau Jose masuk ke East Pike, dia tidak akan menjadi pecundang. Maggie pun saat itu juga hadir dalam sidangnya.” “Kira-kira sudah berapa lama dia di penjara?” tanya Nicki. “Mungkin sembilan atau sepuluh tahun. Aku tidak pernah menghitung-hitung soal itu. Kalian lapar?” “Hei, satu jam tadi kita baru saja makan.” “Kau tidak mungkin sudah disergap rasa lapar lagi, kan,” kata Denis. “Ya, tapi ada rekomendasi tempat di ujung sana, Miss Clarke membuat pai pecan yang sangat lezat, aku tidak ingin melewatkannya jika ada sedang ada di sini.” “Kita terus saja,” kata Nicki, berusaha menolak. “Ya, David. Kita terus saja,” kata Denis menambahi. *** PRG atau akronim dari Pusat Rehabilitasi Greenwich berdiri kokoh di tengah kesenyapan tanah pertanian, tanpa ada yang memanfaatkan lahan sekitarnya untuk mendomestikasi gandum atau pepohonan apa pun. Nicki sudah merasa risih bahkan sebelum melihat bangunan itu. Pembicaraan yang dilakukan oleh David melalui sambungan telepon sebelumnya mampu membuat mereka melaju mulus ke sana, melewati gerbang depan dan menyusur semakin dalam memasuki penjara. Begitu sampai, mereka mengganti mobil patrol itu dengan kereta golf yang setiap bangku-bangku sempitnya itu membuat Denis semakin merasa depresi. David duduk di depan, tepat di sebelah sopir yang juga menjadi seorang sipir di penjara itu. Nicki dan Denis duduk di belakang, mereka terpaksa menghadap ke belakang, sambil mengetahui bahwa mereka telah melalui begitu banyak pagar kawat. Keberadaan mereka langsung menjadi pusat perhatian saat mereka menyasar melalui Kamp A, sebuah bangunan panjang dari balok kayu yang dipenuhi oleh para narapidana. Di sisi lain, pertandingan basket sedang digelar antar penghuni Kamp. “Mereka terlihat baik-baik saja,” kata Nicki. “Ya, tidak seperti yang ada di film,” balas Denis. Obrolan keduanya tidak terdengar oleh mereka yang duduk di bangku depan. Jika David mendengarnya, mungkin saja dia akan langsung menceritakan sebuah tragedi yang panjang lebar seperti sebelumnya. Sampai di persimpangan, mereka berbelok menuju Kamp E, di mana para penghuni di sana tidak ikut dalam ajang pertandingan basket di kamp sebelah. Kemudian mereka mampir di Kamp F, yang bangunannya terkesan baru. Mereka berjalan seratus lima puluh kaki sejak mereka turun dari kereta golf. “Ikuti pagar itu, nanti kau akan menemukan tiang putih di ujung sana. Tidak lama, dia akan keluar,” kata Sipir itu. Dengan cepat, Nicki dan Denis menyusuri pagar. Sementara David dan Sipir itu masih bertahan di tempatnya, keduanya kehilangan gairah. Di balik gedung, dan pas di samping lapangan basket, ada sepetak beton yang bertebaran alat-alat angkat beban; barbel-barbel, dan lain-lain. Ada beberapa laki-laki di sana yang tengah bersimpuh keringat, terlihat mereka menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk membentuk tubuhnya. “Nah, itu Jose,” kata Denis. Tampak sosok laki-laki yang dimaksud Denis yang baru saja terbangun dari bangku angkat berat. “Ya, itu memang dia,” Nicki menimpali, dia sedikit tertegun, meskipun dia berusaha dengan keras menampik itu dari raut wajahnya. Seorang narapidana mendekat dan berbisik dengan Jose, dia menyentakkan handuk dan melihat ke arah pagar. Jose menjauh dari sana dan berjalan dengan lambat, langkahnya terlihat mantap, seperti khas anak-anak Red Circle, perlahan dia melintasi beton, menyusuri rerumputan yang mengeliling Kamp F sampai pagar. Dari jarak lima meter jauhnya, terlihat tubuhnya semakin besar, dan saat dia semakin dekat, besarnya d**a, leher, lengan, dan kakinya menjadi sangat mengagumkan. Nicki dan Denis sempat bermain bersamanya hingga satu musim, setelah itu Jose menjadi senior saat mereka ada di tahun kedua. Beberapa pengalaman menarik pernah dilihat Nicki dan Denis. Mereka sempat punya pengalaman melihat Jose telanjang di ruang ganti. Sempat melihatnya berlatih menggunakan angkat beban di ruang beban. Mereka juga menjadi saksi hidup saat Jose membuat rekor tertinggi dalam hal angkat beban di Red Circle. Kini, tubuhnya terlihat dua kali lebih besar dari yang terakhir mereka lihat. Leher dan bahunya sangat menggiurkan bagi seluruh atlet yang mungkin melihatnya. Bisep dan trisepnya pun tampak jauh lebih banyak ketimbang orang normal. Apalagi perutnya, seperti roti sobek, seperti jalan dari kumpulan batu-batu bulat. Potongan cepak membuat kepalanya yang persegi itu terlihat lebih simetris lagi. Dan ketika pijakannya berhenti, dia melemparkan senyum kepada Nicki dan Denis yang kebetulan sedang menunggu-nunggu sapaannya. “Hei,” sapanya, suaranya terdengar kacau karena kontraksi napasnya yang masih belum stabil akibat latihan beban yang habis dia lakukan. “Halo, Jose,” balas Denis. “Gimana kabarmu?” tanya Nicki. “Baik, aku tidak berkeluh soal apa pun. Senang bisa kembali melihat kalian. Aku jarang memiliki pengunjung.” Ada hening sejenak di sela-sela sapaan basa-basi mereka. “Kami ada kabar buruk…” “Sudah aku duga,” kata Jose. “Semalam, Maggie meninggal.” Deg! Jose langsung menunduk begitu kabar buruk itu diucapkan oleh Nicki. “Waktu itu, ibuku sempat mengirimkanku surat dan memberitahukan kalau dia sakit,” kata Jose, dia tak kuasa menahan dampak dari berita itu. “Sudah satu tahun silam, dia didiagnosis kanker. Namun ternyata, hal ini datang begitu cepat,” kata Denis. Jose mengangkat kepalanya dan mengambil napas panjang. “Aku kira dia akan hidup abadi.” “Ya, aku pikir di antara kita semua juga memperkirakan hal yang sama.” Salah satu hal positif yang terpancar dalam dirinya adalah perubahan emosionalnya yang berkembang menjadi jauh lebih baik. Mungkin karena mendekam sepuluh tahun di penjara, membuatnya mampu mengendalikan emosinya dengan baik. Dia bersusah payah menelan ludah dan membuka matanya yang tampak sayu. “Aku mengucapkan terima kasih pada kalian karena menyempatkan datang ke sini. Sebetulnya tidak perlu melakukan sampai seperti ini.” “Kami benar-benar mau bertemu denganmu. Sudah lama aku cuma merasa terpukul karena sebatas memikirkanmu,” kata Nicki. “Kau… Andrea Nicki, luar biasa,” kata Jose setengah tersedu. “Aku akan tetap di sini hingga delapan belas tahun lagi, waktu yang masih sangat lama. Aku ingin melalui masa itu dengan membaca surat darimu.” “Ya, sesekali aku akan menulis surat padamu.” Denis berdecak, berjalan mondar-mandir sambil menendangi rumput . “Upacara pemakamannya akan dilakukan besok di lapangan. Mungkin banyak anak asuh Maggie yang akan datang, bahkan sepertinya semua. Dan David akan mengusahakan izinmu agar kau bisa ikut ke sana.” “Itu sesuatu yang tidak mungkin.” “Ada banyak teman, Jose. Kau mempunyai mereka juga.” Jose terkekeh, dan dari ekspresinya itu terlihat kalau dia sedikit meremehkan ucapan Denis. “Bukan teman, tapi mantan teman. Mereka adalah orang-orang yang aku kecewakan. Dan di antara mereka semua jika bertemu denganku pasti menyeru ‘Kau lihat itu, Jose, dengan perjuangan dan potensinya dulu, dia bisa saja menjadi pemain yang hebat. Tapi karena kebodohannya sendiri, dia justru menjadi sampah dengan obat-obatan itu.’ Kau tidak perlu susah payah mengajakku, tidak, terima kasih. Aku tidak mau u*****n itu benar-benar mengganggu waktuku di penjara.” Jose kembali menunduk, kini matanya terpejam. “Aku menyayangi Maggie lebih dari siapa pun dalam hidupku. Wajahnya bahkan tersorot dalam persidangan saat para b*****h itu memvonisku. Aku telah gagal, aku sudah menghancurkan hidupku. Aku membuat luka pada hati orang tuaku, itu hal yang memalukan. Tapi entah kenapa, hal yang paling menyakitkan dari semua itu adalah aku sudah membuat diriku menjadi sampah di mata Maggie. Membayangkannya saja sudah sangat sakit. Kalian bisa pergi menguburkannya tanpa aku.” “Terserahmu,” kata Denis. Keheningan menyergap di sela-sela percakapan mereka bertiga. Dan pada akhirnya Denia yang buka suara, “Saat ini ibumu baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir, aku bertemu dengan dia satu minggu sekali.” “Terima kasih, dia juga ke sini sekali di setiap bulannya. Dia tahu kalau di sini sangat sepi. Aku harap kalian juga menyempatkan ke sini, untuk sekadar menyapaku. Janji?” “Janji, akan aku lakukan, Jose,” kata Denis. “Dan aku mau kalau kau memikirkan besok.” “Ya, aku sudah memikirkannya, dan aku akan berdoa untuknya. Kalian semua bisa menguburkannya.” “Imbas yang adil.” Jose menengok ke arah yang berlawanan. “Kau bersama David?” “Ya, kami ke sini dengannya.” “Tolong kasih tahu dia untuk bawakan aku makanan yang enak untuk aku bisa mengatasi kabar duka ini.” “Ya, aku akan memberitahunya,” kata Denis. *** Tiba jam empat sore di hari Kamis itu, kerumunan orang segera membubarkan diri di gerbang Maggie Field, dan mobil jenazah perlahan mundur ke posisinya. Pintu belakang mobil jenazah itu dibuka dan terdapat delapan orang pengangkat peti berjejer membentuk dua baris pendek dan mengeluarkan peti matinya. Di antara delapan orang pengangkat peti itu, tak satu pun dari mereka yang merupakan punggawa Red Circle. Sebelum kematiannya, James Maggie sudah banyak memikirkan perincian siapa yang akan mengangkat peti matinya, dan dia tidak memilih-milih satu pun anak asuhnya, dia hanya memilih dari para asistennya. Pengiringan peti mati itu berjalan lambat. Perlahan menyusur sepanjang jalur running track. Dan di antara kerumunan orang yang mengekor peti mati itu terdapat Sandra, ketiga putrinya dan suami mereka juga para cucu yang menggemaskan. Ada juga seorang pendeta. Kemudian ada korps drum yang memainkan lantunan lagu dengan lembut. Mereka perlahan menuju tribun. Di dekat barisan tribun paling bawah, didirikan sebuah tenda besar berwarna putih, tiang-tiangnya menancap ke dalam ember pasir yang sengaja dikonsep untuk melindungi rerumputan Maggie Field. Di perbatasan garis tepi lapangan dan running track—tempat dia biasa memberikan intruksi dengan begitu baik—mereka berhenti mengangkat peti matinya. Di situ terdapat meja yang digunakan untuk meletakkan peti mati yang dibuat dari Skotlandia itu—atas rekomendasi terbaik dari sahabat karib Sandra. Setelah peti mati itu diletakkan dan dikelilingi sejenak oleh keluarga mendiang—untuk pemanjatan doa—kemudian mereka membentuk barisan penerima tamu. Bagi ukuran pelatih sepak bola domestik, barisan itu sangat tidak wajar—memanjang sampai keluar gerbang. Dan dentingan mobil dari arah luar terus terdengar ketika menuju Maggie Field. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD