Di ujung utara, sebelah kiri papan skor, terdapat penghargaan bagi yang terhebat di antara pemain Red Circle. Tujuh angka telah dipensiunkan dan menjadi legenda. Nomor 8 milik Nicki adalah yang terakhir. Penghargaan itu dipajang bersama poster-poster dan tulisan-tulisan yang berisi kredo untuk Red Circle. Di area ruang ganti yang biasa dipergunakan oleh tim-tim yang sedang bertanding untuk ganti baju, briefing, dan lain-lain, di situ juga terdapat ruangan tertutup yang khusus dipakai oleh anggota tim Red Circle. Ruangan itu pasti menimbulkan iri hati tim perguruan tinggi mana pun. Bila ada tim dari perguruan tinggi lain bertandang ke Maggie Field, ruangan tersebut dikunci. Ruangan itu berisi ruang angkat berat, yang dilengkapi karpet dan pancuran. Ruangan itu dibangun tidak terlepas dari faktor desakan dan dukungan para pendukung fanatik Red Circle. Tidak ada uang yang perlu dihemat dalam tim, tidak untuk regu sepak bola Red Circle dari Lambeth. Pelatih Maggie menginginkan ada loker, ruang angkat berat, dan ruangan khusus pelatih serta official.
Sementara ada yang berbeda sekarang, sebelumnya tidak pernah dilihat oleh Nicki. Tepat di balik gerbang menuju ruangan itu, ada sebuah monumen dengan bahan baku bata dan sebuah patung tembaga di atasnya. Kemudian Nicki melangkah ke sana untuk melihat patung itu. Ternyata patung tersebut adalah patung Maggie. Maggie yang diperbesar dengan kerut-kerut di keningnya dan picingan khas di sekitar matanya, dan senyuman samar-samar. Dia menggunakan topi Red Circle kumal sesuai khasnya, topi itu digunakan selama beberapa musim olehnya. Ada kuningan yang bertulis James Maggie diikuti dengan usianya. Di bawahnya terdapat narasi pujian yang nyaris bisa dikutip oleh siapapun di jalanan Lambeth karena sudah hapal. Selama 34 tahun sebagai Pelatih Red Circle dengan perhitungan 420 kemenangan, 60 kekalahan, 15 gelar kompetisi antar negara bagian, dan 1964 hingga 1970 menghasilkan rentetan kemenangan yang berakhir pada angka 74.
Patung itu bagai altar pada Jumat malam. Sebelum para anggota Red Circle melintas ke lapangan, mereka terlebih dahulu membungkuk di depan patung.
Angin menderu ribut dan semakin banyak menggugurkan daun. Daun-daun itu menimpa dan berjatuhan di depan Nicki. Latihan telah usai, para pemain berselimut keringat dan segera menuju ruang ganti. Nicki tidak ingin terlihat anggota-anggota Red Circle itu. Dengan cepat dia menyusuri running track dan melewati gerbang. Dia mendaki empat baris tribun dan duduk seorang diri. Tempatnya jauh lebih tinggi di atas Maggie Field beserta pemandangan lembah di sebelah timurnya. Nampak dari sana menara-menara gereja yang menjulang beserta pepohonan dan kemerahan kota Lambeth di kejauhan, angin masih menderu. Dan di salah satu sisi gereja itu terdapat rumah berlantai dua yang bagus namun tidak nampak dari sisi tribun. Rumah dua lantai tersebut adalah milik James Maggie atas pemberian kota Lambeth pada hari ulang tahunnya yang kelima puluh. Serta di rumah tersebut juga, Miss Pratiwi dan tiga putrinya sekarang berkumpul, termasuk juga seluruh anggota keluarga Maggie yang masih hidup, dan mereka menunggu Pelatih menghembuskan napas terakhir. Tidak heran apabila di dalam rumah itu banyak sekali teman, dengan makanan yang selalu tersedia di baki.
Apakah terdapat mantan pemain sepak bola yang lain di rumah itu? Kurasa tidak, kata Nicki.
Mobil lain memasuki gerbang dan berhenti di samping mobil Nicki. Anggota Red Circle tersebut turun dan terlihat memakai setelan jas dan dasi yang rapi. Dia melangkah tenang dan menyusuri running track. Dia terlihat sengaja untuk tidak menyentuh rumput lapangan pertandingan. Dia mendapati Nicki dan mendaki empat baris tribun.
“Sejak kapan kau ada di sini?” tanyanya sesudah berjabat tangan.
“Belum terlalu lama,” jawab Nicki. “Apakah dia sudah mati?”
“Belum.”
Denis Lennon menyumbang enam puluh assist dari seratus empat puluh permainan. Dia adalah partner terhebat Andrea Nicki selama beberapa musim. Kalau kau tahu Xavi Hernandez dan Andres Iniesta di Barcelona atau Toni Kroos dan Luca Modric di Real Madrid, ya seperti itulah mereka. Duo midfielder yang punya sentuhan passing memanjakan. Penyerang mana pun kalau gelandang pendukungnya seperti mereka, dijamin penyerang itu tidak akan pernah absen dari papan top score. Keduanya merupakan teman dekat dan perlahan-lahan terpisah seiring berlalunya musim. Begitulah kalau dalam sepak bola. Entah karena faktor manajemen, tawaran, atau faktor internal berupa persaingan antar pemain. Tetapi keduanya masih menjaga komunikasi, paling tidak tiga atau empat kali dalam setahun. Kakek Lennon adalah seorang pendiri bank pertama di Lambeth. Jadi masa depan Lennon sangat terjamin. Baginya, persaingan dalam tim bukan menjadi persoalan. Lennon kemudian menikahi seorang gadis lokal dari keluarga yang sama-sama terkemukanya. Sementara Nicki menjadi pendamping pria, dan pernikahan itu sekaligus menjadi perjalanan terakhirnya kembali ke Lambeth.
“Apa kabar keluargamu?” tanya Nicki.
“”Baik. Julia hamil sekarang.”
“Yang benar saja. Lima atau enam?”
“Baru yang keempat,” katanya.
Nicki menggeleng. Tak habis pikir. Mereka duduk terpisah berjarak satu kursi. Keduanya menatap kejauhan, sepertinya ke titik yang sama. Mereka berdua mengobrol, tetapi terlihat seperti sibuk dengan pikiran masing-masing.
Terdengar sepintas kegaduhan dari arah ruang ganti.
“Bagaimana dengan regu ini sekarang?” tanya Nicki.
“Tidak terlalu buruk. Enam pertandingan, di antaranya empat kali menang, dan dua kali kalah. Pelatihnya seorang anak muda dari Bexley. Aku sedikit menyukainya. Tetapi dia masih kurang berbakat.”
“Bexley, katamu?”
“Ya. Tidak ada orang yang mau menerima pekerjaan itu sejauh radius seratus mil.”
Nicki memperhatikannya sedikit, “Kau gendut sekarang.”
“Aku sekarang menjadi seorang bankir. Meskipun begitu, aku masih bisa mengalahkanmu dalam berlari, Nick.” Intonasinya semakin lirik ketika mengucapkan kalimat terakhir. Dia menyesal mengatakan itu karena melihat lutut Nicki lebih besar daripada lututnya.
“Ya. Aku yakin kau bisa melakukannya,” jawabnya tenang. Dia tidak merasa diremehkan sama sekali.
Pandangan mereka berdua beralih pada mobil-mobil dan truk-truk yang melaju pergi.
“Kau pernah ke sini saat tempat ini kosong?” tanya Nicki lagi.
“Iya. Dulu sekali.”
“Dan kau berjalan memutari lapangan dan mengingat-ingat kembali rasanya kala itu?”
“Ya. Aku melakukannya. Hingga pada akhirnya aku menyerah. Kita semua mengalaminya.”
“Hari ini menjadi hari pertama kali aku ke sini sejak mereka memensiunkan nomorku.”
“Tapi kau belum menyerah. Kau masih hidup bersama goresan masa lalu. Kau masih bermimpi. Masih menjadi gelandang palih handal se-London.”
“Seandainya saja ak tidak pernah menonton sepak bola.”
“Kau tidak mempunyai pilihan di kota ini. Maggie yang pertama kali memaksa kita mengenakan seragam saat kelas enam. Seragam warna merah, tanpa kombinasi apapun, icon kota Lambeth. Kita bermain setiap selasa malam, dan selalu menarik lebih banyak penggemar daripada SMA yang lain. Kita kompak mempelajari gaya permainan yang sama seperti yang diharapkan Maggie. Kita sama-sama bermimpi untuk menjadi yang terbaik di Lambeth dan bisa bermain bersama lima belas ribu pendukung fanatik. Sementara di kelas sembilan, Maggie sendiri yang mengawasi latihan kita. Sampai-sampai kita hapal, kapan saatnya latihan fisik yang mengerikan darinya.”
“Saat-saat yang paling menegangkan dalam hidup kita saat itu,” tutur Nicki.