Musim baru, ditemukan kesebelasan baru, dan nuansa baru menyambut pertandingan baru.
Agak sulit untuk membuat diri sendiri merasa begitu yakin bahwa kini James Maggie sudah dipaksa turun tahta dan hanya bisa terduduk di tempat yang hampir sama dengan tempat Nicki saat ini, dan ironisnya lagi, Maggie cuma bisa mengawasi pertandingan dari kejauhan sampai dia memerlukan alat bantu berupa radio untuk tahu apa yang sedang terjadi. Apakah di saat itu juga dia bersorak meriah bagi Red Circle? Atau bahkan kemungkinan sebaliknya, dia mengharapkan Red Circle kalah di setiap pertandingan agar mereka semua memahami bahwa kekalahan itu adalah manifestasi karma dari pemecatan Maggie? Maggie sendiri mempunyai sifat luar biasa kejam yang dapat dia simpan kemarahan itu sampai bertahun-tahun lamanya.
Nicki tak pernah mengalami satu kekalahan pun di sini. Bersama tim di tahun pertamanya tak terkalahkan, dan jelas saja itu yang diharapkan di Lambeth. Pada hari Kamis malam, para siswa baru yang bertanding, dan pertandingan itu menggiring lebih banyak jumlah penonton daripada tim lama. Dua pertandingan berakhir kalah yang dia alami di saat berstatus sebagai pemain baru adalah final negara bagian, dan kedua di kampus Golden Spurs. Timnya di kelas delapan bermain imbang dengan Abertay, saat itu pertandingan dimainkan di kandang sendiri, pun itu dianggap pertandingan yang paling dekat dengan kekalahan yang pernah dialami Nicki saat bermain di Lambeth.
Hasil seri dari pertandingan itu membuat Maggie tersulut sehingga terpaksa mengeluarkan nasihat-nasihat kasar mengenai arti logo di d**a jersey para pemainnya pada saat di ruang ganti. Setelah meneror sekumpulan anak umur tiga belas tahun, dia mengganti pelatih mereka.
Refleksi kenangan itu tak henti-hentinya terlintas ke dalam benak Nicki, sedang dia masih terpaku memantau lapangan latihan. Karena enggan terpicu kenangan-kenangan liar itu lagi, dia pun memutuskan untuk pergi.
***
Orang yang mengantar keranjang yang berisi buah-buahan berjalan susah payah menuju rumah Maggie dan dia mendengar bisik-bisik yang berlangsung di dalam sana, dan tak lama berselang seisi kota mengetahui isi desas-desus di dalam rumah itu bahwa Pelatih sudah melayang-layang begitu jauh sampai tak akan pernah kembali.
Ketika senja menyapu langit penjuru kota, gosip yang beredar semakin luas hingga mencapai bangku-bangku stadion, di mana sekelompok kecil manusia-manusia tangkas telah berkumpul dari berbagai tim yang berbeda, beberapa berasal dari generasi berbeda, mereka semua punya satu visi yang sama: menunggu. Beberapa ada yang memilih merenung sendirian, tenggelam dalam refleksi kenangan personal akan keterlibatan Maggie dalam hidup mereka yang penuh kemegahan pada beberapa tahun silam.
Denis Lennon kembali dengan membawa kotak pizza besar yang dikirim Julia untuk para bocah di sana, Denis mengenakan celana jins tipis dan kaus. Sementara ada Leo Silva yang turut datang dengan membawa kotak pendingin yang berisi beberapa botol bir. Jodan Sancho tak tampak batang hidungnya, tapi itu mengherankan. Si kembar Chris, Rafael, dan Fabio yang berasal dari luar kota mendengar gosip kembalinya Nicki. Lima belas tahun silam mereka adalah libero yang handal, yang masing-masing mampu menghadang pergerakan Nicki selama satu babak. Di babak kedua, pertahan mereka biasanya keropos. Sejak saat itu mereka mengingat nama Nicki.
Ketika cuaca sudah semakin gelap, mereka tetap menunggu dengan berharap-harap cemas. Diego berjalan ke arah papan angka dan menyalakan lampu di tiang timur laut. Meski dalam kondisi tengah sekarat, setidaknya Maggie masih hidup. Bayang-bayang panjang terukir sepanjang rerumputan Maggie Field, dan para mantan pemain itu menunggu. Tempat tiba-tiba semakin sunyi, para pemain beberapa ada yang sudah pergi. Tawa sesekali terdengar dari salah satu kelompok. Sebagian besar memilih bercakap-cakap dengan suara pelan. Maggie sedang tak sadarkan diri untuk saat ini, dia seperti sedang mendekati ajalnya.
Nelson Gallagher akhirnya juga tercium baunya. Dia membawa sekotak besar yang misterius.
“Kau membawa sekotak narkotika, Nel?” tanya Leo yang tampak paling excited di antara mereka.
“Tidak. Ini semua isinya rokok.”
Leo juga lah yang pertama kali bergerak cepat menyulut rokok Brasil itu. Kemudian Nelson juga turut menyulut, lalu Denis, dan akhirnya Nicki juga menyambut. Si kembar Chris tak minum maupun merokok.
“Kalian semua pasti tidak percaya dengan apa yang sudah aku temukan barusan?” Nelson mencoba memancing.
“Pacar?” balas Leo.
“Sobek saja mulutmu, Leo.” Kemudian Nelson membuka kotak besarnya dan mengeluarkan tape player berukuran besar, tepatnya sebuah boombox.
“Penemuan yang luar biasa, musik jazz cocok untuk saat ini.” Leo nyaris merebut barang itu.
Nelson mengangkat sebuah kaset berwarna hitam dan mengatakan, “Di dalamnya ada suara Brian Moore yang sedang menyiarkan pertandingan kejuaraan tahun 1987.”
“Mustahil,” timpal Denis.
“Terserah kau, Denis. Sudah aku dengarkan semalaman, pertama kalinya setelah bertahun-tahun.”
“Aku belum pernah mendengarkannya,” jawab Denis.
“Aku tak pernah mengira bahwa mereka merekam pertandingan,” kata Leo, kini ungkapannya lebih serius.
“Banyak hal yang kau tidak tahu,” kata Nelson. Kemudian dia memasukkan kembali kaset hitam itu ke tempatnya dan mencoba mengoperasikan mesin itu melalui beberapa tombol. “Jika kalian tak keberatan, menurutku alangkah baiknya kita lewati saja babak pertama pertandingan.”
Bahkan Nicki pun menahan tawa dari tadi. Dia beberapa kali secara susah payah membantu daerah pertahanan. Hal yang jarang sekali dia lakukan kecuali situasi tim benar-benar mendesak. Red Circle tertinggal 3-0 dari sebuah tim yang sangat berbakat dari Canterbury Christ.
Rekaman berhasil disetel dan suara Brian Moore yang serak itu mampu memecah keheningan di sekeliling bangku-bangku tribun.
Brian Moore masih di setia menemani anda pada istirahat babak pertama, di kampus Golden Spurs, dalam sebuah ajang pertandingan yang sangat sengit dan legit, di mana antara kedua tim memegang predikat tak terkalahkan. Tapi sekarang tak begitu, Canterbury Christ memimpin saat ini, dengan sebuah jarak skor yang besar. Aku sudah menemani seluruh siaran laga yang dimainkan Red Circle dari Lambeth hampir selama dua puluh tahun terakhir ini, dan aku tak ingat bahkan mungkin tak pernah tahu tim ini pernah tertinggal dengan skor yang sejauh ini di babak pertama.
“Di mana Brian saat ini?” Nicki membuka pertanyaan.
“Terakhir aku mendengar dia mengundurkan diri bersamaan pemecatan Maggie,” kata Denis.
Nelson memperbesar volume boombox itu, dan suara Brian Moore terdengar lebih keras lagi. Suara itu secara fungsional terasa sebagai magnet bagi seluruh pemain dan tim lainnya. Robert Frank dan dua rekan setimnya angkatan 1992 ikut mendekat. Peter Crouch si pengacara dan Santiago Munez si dokter mata sudah kembali menggunakan setelan lari mereka, bersama dengan empat orang lainnya dari era Major League. Sekitar satu lusin orang juga turut mendekat.
Kedua tim kembali memasuki lapangan, dan kita akan berhenti sebentar untuk menampilkan pesan dari sponsor.
“Langsung saja,” kata Nelson sambil mempercepat rekaman itu.
“Ya, bagus,” sahut Denis.
“Kau sungguh yang terbaik,” kata Leo.
Sebentar aku melihat di bench Lambeth, di sana aku tidak menemukan James Maggie, pelatih mereka… Mustahil, tak ada satu pun pelatih Lambeth yang berdiri di sana. Kick Off babak kedua akan segera dimulai, tapi tak satu pun pelatih mereka yang ada di sana. Mustahil, ini benar-benar aneh.
“Di mana para pelatihnya?” tanya seseorang.
Leo hanya mengedikkan bahunya, tanda enggan menjawab—sebab dirinya sendiri pun tak tahu jawabannya. Dan pertanyaan tersebut juga lah yang merupakan pertanyaan besar yang ada di kepala para pemain yang diajukan sejak lima belas tahun silam dan belum pernah terpecahkan hingga saat ini di Lambeth. Tentu jelas para pelatih saat itu memboikot babak kedua, tapi mengapa?