“Lumayan untuk kue pastri dari seorang mantan atlet. Kau pernah bertemu Vincent?”
Nelson tiba-tiba menghentikan aktivitas mengunyahnya dan menatap Nicki dengan pandangan bingung. “Apa kau penasaran dengannya?”
“Well, tak seperti itu. Aku cuma mau tahu. Kalian berdua berteman.”
“Aku berharap nuranimu mengganggumu. Dan aku ingin itu akan menyakitkanmu.”
“Memang. Terkadang seperti itu.”
“Kami masih saling balas-membalas surat. Dia baik-baik saja, sekarang dia tinggal di Swansea. Dia telah menikah dan dikaruniai dua orang putri yang cantik-cantik. Sekali lagi, mengapa kau tanya soal dia?”
“Memang tak boleh tanya seorang teman kelas sendiri?”
“Hampir dua ratus orang yang ada di kelas kita. Pertanyaanku, mengapa Vincent yang pertama kali kau tanyakan?”
“Ya, maaf kalau begitu.”
“Tidak, tidak. Aku benar-benar mau tahu. Come on, Nick, mengapa kau tanya soal Vincent?”
Nicki sengaja berlama-lama menjawab dengan memasukkan beberapa potong kue pastri ke dalam mulutnya, dan mengunyahnya perlahan-lahan. Dia mengedikkan bahunya sambil tersenyum, “Ya, aku sedikit memikirkannya.” Entah kenapa bahasa tubuhnya menunjukkan bahwa dia malu mengakui itu.
“Kau memikirkan Jack?”
“Bagaimana aku bisa melupakannya?”
“Nick, kau telah berkencan dengan perempuan murahan, yang kau dapat hanyalah kepuasan dalam sekejapan mata, tapi itu juga berarti pilihan yang buruk untuk jangka panjang.”
“Waktu itu aku masih sangat muda dan bodoh, Nelson, aku mengakui itu. Tapi itu semua benar-benar menyenangkan.”
“Kau yang terhebat di Lambeth, Nick, kau mampu untuk memilih perempuan dari sekolah mana pun untuk kau jadikan sebagai kekasihmu. Kau membuang Vincent karena demi Jack yang kau anggap terlalu menarik. Aku sangat membencimu karena keputusan sembronomu itu.”
“Come on, Nelson.”
“Aku sangat tidak menyukai keberanianmu itu. Sebelum kau datang ke sini, Mary Vincent adalah teman dekatku semenjak taman kanak-kanak. Dan dia yang pertama kali menyadari bahwa aku berbeda, dan dia selalu melindungi diriku. Pun aku juga bersungguh-sungguh untuk melindunginya, namun kesalahan besar terjadi, dia jatuh cinta padamu. Jack Dawson memutuskan bahwak dia mengharapkan si jagoan Inggris, dia bilang, bukan hanya jagoan Lambeth lagi. Roknya menjadi semakin pendek, blusnya bertambah ketat, dan kemudian kau menjadi lebih tergila-gila. Mary-ku tersayang kau buang begitu saja.”
Keduanya sama-sama bergeming.
“Maaf kalau aku mengungkitnya di saat seperti ini,” kata Nicki dengan agak menyesal.
“It’s okay, kita bicarakan hal itu lain kali saja.”
Kembali ada jeda yang panjang, keduanya memilih mengendus sisa bau kopi dan memeriksa pintu depan seolah-olah memastikan ada yang menyelinap masuk ke dalam.
“Tunggu saja hingga kau bertemu dengannya,” kata Nelson.
“Makin cantik, hem?”
“Jack terlihat seperti perempuan panggilan kelas atas yang sudah menua, ya mungkin begitu, ya sekarang. Tapi Mary sungguh luar biasa sekarang.”
“Perkiraanmu, apakah dia akan datang ke sini?”
“Mungkin, iya. Miss Pratiwi yang mengajari dia bagaimana caranya bermain piano. Benar-benar elegan.”
Sebenarnya, Nicki sudah tak punya tujuan lain, tapi tetap saja kebiasaannya melihat arloji yang ada di tangannya. “Aku harus segera pergi, Nelson. Terima kasih untuk secangkir kopinya.”
“Aku juga. Terima kasih karena telah menyempatkan ke sini, Nick. Sungguh kedatangan yang luar biasa.”
Mereka berjalan meliuk-liuk di antara deretan rak menuju bagian depan toko. Nicki berhenti sejenak di ambang pintu. “Dengar, aku rasa beberapa dari kita nanti malam akan berkumpul di stadion untuk sebuah acara doa bersama,” katanya. “Akan ada bir dan banyak kisah perang. Kau mau datang?”
“Menarik. Tentu aku akan sangat senang,” balas Nelson. “Terima kasih telah memberitahuku.”
Nicki memegang kenop pintu dan membukanya perlahan, senyum ditinggalkan dan segera melangkah ke luar. Nelson dengan cepat menyambar pundaknya dan mengatakan, “Nicki, aku telah berbohong. Aku tak pernah tak menyukaimu.”
“Aku layak untuk tak kau sukai, Nelson.”
“Tak ada yang tak menyukaimu, Nicki. Kau andalan negeri ini.”
“Nelson, hari-hari itu telah berakhir, lama sekali.”
“Masih belum. Tidak berakhir sebelum Maggie meninggal.”
“Tolong kasih tahu Vincent jika kau bertemu dengannya. Aku mau bertemu dengannya, ada yang harus aku katakan.”
***
Sekretaris itu memamerkan gigi ratanya dan menyodorkan papan d**a ke seberang meja. Nicki mengukirkan nama, waktu, beserta tanggal, dan menyatakan kalau dia mengunjungi Hammon Staley, yang sudah cukup lama menjadi pelatih basket perempuan. Sekretaris itu secara formal memeriksa beberapa informasi yang sudah dituliskan Nicki dalam papan d**a itu, Sekretaris itu tak mengenali wajah maupun nama Nicki sama sekali, dan dia cuma mengatakan, “Sekarang dia mungkin ada di gymnasium.” Perempuan lain yang juga ada di sisi sebelahnya tampak tak mengenali Andrea Nicki.
Menurut Nicki, itu tak jadi masalah. Tapi dia sulit sebenarnya untuk menyembunyikan kekesalannya, dia merasa sedikit kesal jika dia harus melewati prosedur yang berbelit-belit.
Koridor SMU Lambeth sunyi senyap, pintu di setiap ruangan kelas tertutup rapat. Loker yang tampaknya dijaga rapi. Warna cat yang sama seperti dulu. Lantai yang mengilap karena bantuan lapisan wax yang sama. Disinfektan yang terendus baunya di sekitar kamar mandi. Jika dia memasuki salah satu kamar mandi itu, dia mungkin akan mendengar bunyi suara air menetes yang masih sama, mendapati deretan tempat yang digunakan membuang air kecil yang kotor, menemukan puntung rokok dan sisa-sisa kepulan asap yang tertinggal, bahkan mungkin saja melihat perkelahian antar siswa berandal. Dia bertahan di tengah koridor, dia melalui ruang kelas Miss Dilla yang terdengar seperti sedang mengajar Aljabar, dan mendekat ke jendela kecil di seberang pintu dan dia menemukan sekilas mantan gurunya. Lima belas tahun lebih tua daripada Nicki, dia tengah menyandarkan pinggulnya di meja yang letaknya di sudut yang sama. Rumus-rumus tampak sama yang dulu pernah dia ajarkan.
Sejenak dia tercenung dan tidak menyangka pada segala sesuatu yang telah dia lalui. Apakah benar sudah lima belas tahun berlalu? Dia merasakan kembali saat usianya genap delapan belas tahun, bahwa dia hanyalah seorang bocah yang membenci Aljabar dan Bahasa Inggris, bahkan sering kali mengutuk mereka yang menciptakan kurikulum pendidikan tersebut buatnya. Dia tidak peduli pada pelajaran apa pun yang disajikan oleh para gurunya di dalam kelas, dia sangat yakin bahwa dia bisa memperoleh pundi-pundi kekayaannya dari lapangan sepak bola. Gemuruh ruang kelas yang kini dia lihat sempat membuat kepalanya pusing karena mengingatkannya dengan keributan ruang kelas lima belas tahun lalu.
Melintas seorang pegawai kebersihan sambil membawa sapu, laki-laki tersebut sudah tua, yang sudah berada di sekolah ini sejak gedung ini pertama dibangun. Membutuhkan beberapa menit untuk laki-laki tersebut menyadari sosok Nicki. Kemudiand dia melengos begitu saja dan mengatakan pelan, “Pagi.”
Pintu masuk utama sekolah terbuka lebar. Pintu masuk itu dibangun di tahun kedua Nicki di sana. Dan pintu itu terhubung dengan kedua gedung yang lebih tua di mana itu merupakan SMU dan pintu masuk gimnasium. Dinding bangunan itu dilengkapi dengan pernak-pernik foto kelas para senior sejak tahun dua puluhan.
Basket termasuk olahraga terpopuler kedua di Lambeth. Mungkin karena popularitas olahraga sepak bola yang identik dengan kemenangan dan prestasi kejuaraan di kota hingga membuat harapan baru dari para penduduk kota untuk menggeneralisir setiap regu atau tim di semua cabang olahraga, termasuk basket untuk mempunyai rekam jejak yang sama.