Lima Puluh Tujuh

1357 Words
Aku duduk dan bertelekan siku, ”Namaku Edward Cicero,” kataku. ”Dan kau Anne entah siapa.” "Anne Marlie, Senang bertemu denganmu.” "Senang bertemu denganmu.” Ia sudah cukup rnenyenangkan dilihat dari jarak enam meter, tapi sekarang, setelah aku bisa menatapnya tanpa malu malu dari jarak satu seperempat meter, mustahil untuk tidak ternganga. Matanya cokelat lembut dengan sorot nakal. Ia benar-benar cantik luar biasa. "Maaf kalau aku mengganggumu kemarin malam,” kataku, bersemangat untuk memicu percakapan. Banyak hal yang ingin aku ketahui. "Kau tidak menggangguku. Maaf kemarin aku begitu membuat malu.” ”Mengapa kau datang ke sini?” tanyaku, seolah olah ia orang asing, sedangkan aku memang berhak di sini. ”Aku ingin keluar dari kamar, Bagaimana denganmu?” "Aku belajar untuk menghadapi ujian pengacara, dan tempat ini tenang." ”Jadi, kau akan menjadi pengacara?” ”Ya. Aku menyelesaikan kuliah hukum beberapa minggu yang lalu, mendapat pekerjaan pada sebuah biro hukum. Begitu lulus ujian pengacara, aku siap bekerja." Ia minum dengan sedotan dan meringis sedikit ketika menggeser berat badan. "Cukup hebat patahnya, ya?" Aku bertanya sambil mengangguk ke arah kakinya. “Di pergelangan kaki. Mereka memasang pin pada sambungannya." ”Bagaimana kejadiannya?" Ini jelas merupakanakan pertanyaan berikutnya, dan kukira jawabannya sangat mudah baginya. Ternyata tidak. la bersangsi, matanya langsung basah. "Kecelakaan di rumah," katanya, seolah-olah ia sudah menyiapkan keterangan yang tidak jelas ini. Apa gerangan maksudnya? Kecelakaan di rumah? Apakah ia jatuh dari tangga? "Oh,"aku berkata, seolah-olah semuanya sangat jelas. Aku khawatir dengan pergelangan tangannya, sebab keduanya dibalut, bukan diplester. Pergelangan tangan itu kelihatannya tidak patah atau terkilir. Luka gores, mungkin. "Panjang ceritanya," ia bergumam di antara tegukan dan berpaling. "Sudah berapa lama kau di sini?" tanyaku. "Beberapa hari. Mereka sedang menunggu untuk melihat apakah pinnya lurus. Kalau tidak, mereka harus membetulkannya lagi." la berhenti dan memain-mainkan sedotan. "Apakah ini bukan tempat yang ganjil untuk belajar?" ia bertanya. "Tidak. Tempat ini tenang. Kopi banyak. Buka sepanjang malam. Kau pakai cincin kawin." Kenyataan inilah yang paling mengusikku daripada yang lainnya. la melihatnya, seolah-olah tidak yakin cincin tersebut masih ada di jarinya. "Yeah," ia berkata, kemudian menatap sedotan. Cincin itu polos, tanpa intan untuk menghiasinya. "Lalu di mana suamimu?" "Kau banyak bertanya.” "Aku pengacara, atau hampir jadi pengacara. Begitulah kami dilatih.” "Mengapa kau ingin tahu?" "Sebab rasanya aneh kau seorang diri di rumah sakit ini, jelas luka-luka, dan dia tak ada di sini.” "Dia sudah ke sini tadi." "Sekarang dia di rumah bersama anak anak?" "Kami tidak punya anak. Kau ?" "Tidak. Tidak punya istri, tidak punya anak." "Berapa umurmu?" "Kau banyak bertanya," kataku sambil tersenyum. Matanya berkilauan. "Dua puluh lima. Berapa umurmu?” la memikirkan pertanyaan ini sejenak. "Sembilan belas.” "Sungguh sangat muda untuk menikah. "Itu bukan pilihanku." "Oh, maaf." "Bukan salahmu. Aku hamil ketika baru berumur delapan belas tahun, menikah tak lama sesudahnya, keguguran seminggu kemudian, dan sejak itu kehidupan terus menggelinding turun. Nah, apakah itu memuaskan rasa ingin tahumu?" "Tidak. Ya. Maaf. Apa yang ingin kau bicarakan?" "College. Di mana kau kuliah?" "Kuliah hukum di Southaven State." "Aku dulu ingin masuk college, tapi tidak ber hasil. kau berasal dari Southaven?" "Aku lahir di sini, tapi besar di Gatlinburg. Bagaimana denganmu?" "Aku dari sebuah kota kecil, satu jam dari sini. Kami meninggalkannya ketika aku hamil. Keluargaku malu. Keluarganya b******k. Sudah saatnya pergi." Ada masalah keluarga yang serius berkeriapan di bawah permukaan, dan aku tak ingin ikut campur. Dua kali ia bicara tentang kehamilannya, dan dua kali pula hal itu seharusnya bisa dihindari. Namun ia kesepian dan ingin bicara. "Jadi, kalian pindah ke Southaven?" "Kami lari ke Southaven; dinikahkan hakim, sungguh upacara yang indah, lalu aku kehilangan bayiku.” "Apa pekerjaan suamimu?" "Sopir forklift. Banyak minum. Dia pecundang yang masih bermimpi main bisbol di liga utama." Aku tidak menanyakan semua ini. Aku kira si suami adalah jagoan atletik di sekolah menengah, dan ia adalah cheerleader paling cantik, pasangan sempurna, Mr. dan Miss Erling Dwayne, paling tampan, paling cantik, paling atletis, paling berpeluang untuk sukses, sampai suatu malam mereka terjebak tanpa k****m. Bencana melanda. Karena suatu alasan, mereka memutuskan untuk menghindari aborsi. Mungkin mereka menyelesaikan SMA, mungkin tidak. Merasa malu, mereka kabur dari Erling dan menuju kota besar agar tak dikenali. Sesudah keguguran, perasaan romantis lenyap dan mereka terbangun, menghadapi kenyataan bahwa kehidupan sesungguhnya sudah tiba. Sang suami masih bermimpi meraih ketenaran dan kejayaan di liga besar. Sang istri merindukan tahun demi tahun kebebasan yang baru saja lenyap, dan memimpikan college yang tidak akan pernah ia lihat. "Maaf," katanya. "Tak seharusnya aku mengatakan itu." "Kau masih cukup muda untuk masuk college," kataku. Ia terkekeh mendengar optimismeku, seolah-olah impian ini sudah lama terkubur. "Aku tidak menyelesaikan SMA." Tanggapan apa yang harus kuberikan pada hal ini? Pidato konyol untuk berdiri sendiri, meraih GED, ikut sekolah malam, kau bisa melakukannya kalau benar benar mau. "Apakah kau bekerja?" tanyaku sebagai gantinya. "Sekali-sekali. Ingin jadi pengacara macam apa kau nanti?" "Aku suka bekerja di pengadilan. Aku ingin menghabiskan karier di ruang sidang.” "Mewakili para penjahat?" "Mungkin. Mereka berhak mendapatkan keadilan, dan mereka punya hak untuk mendapatkan pernbelaan yang baik." "Para pembunuh?" "Yeah, tapi kebanyakan tidak mampu membayar pengacara swasta." "p*******a dan penganiaya anak-anak?" Aku berkernyit dan terdiam sejenak. "Tidak.” "Laki-laki yang memukuli istri mereka?" "Tidak, tidak akan pernah." Aku serius dengan ucapan ini, plus aku curiga dengan luka lukanya. la setuju dengan pilihanku terhadap klien. "Pembela kasus pidana adalah keahlian langka," aku menerangkan. "Mungkin aku akan lebih banyak menangani perkara perdata." "Gugatan perdata dan semacamnya?" "Yeah, begitulah. Gugatan nonkriminal." "Perceraian?" "Aku lebih suka menghindarinya. Itu benar-benar pekerjaan mengerikan." la berusaha keras mendorong percakapan ke pihakku, menyingkir dari masa lampau dan keadaannya sekarang. Ini tidak jadi masalah buatku. Air mata itu bisa muncul seketika, dan aku tak ingin merusak percakapan ini. Aku ingin percakapan ini terus berlangsung. la ingin tahu pengalamanku di college—kuliah, pesta, kehidupan di asrama, ujian, para profesor, perjalanan liburan. la banyak menonton film, dan punya angan-angan romantis tentang empat tahun yang sempurna di kampus tua dengan dedaunan berubah jadi kuning dan merah di musim gugur, tentang para mahasiswa ber-sweater berbondong-bondong menjadi suporter regu football, tentang persahabatan barti yang berlangsung seumur hidup. Bahasanya sempurna, kosakatanya lebih baik daripada kosakataku. Dengan enggan ia mengaku seharusnya bisa lulus sebagai nomor satu atau dua di kelasnya, andai saja tidak ada asmara remaja dengan Yarber, sang Mr. Marlie. Tanpa susah payah, aku menyanjung saat-saat indah studiku di college, menyisihkan banyak fakta penting seperti keharusan bekerja empat puluh jam seminggu mengantar piza, agar aku bisa tetap jadi mahasiswa. la ingin tahu tentang biro hukumku, dan aku pun tunggang-langgang menyusun kembali citra biro hukum Jones Craig dan kantor-kantornya ketika telepon berdering dua meja dari sana. Aku minta diri dengan mengatakan kantorku menelepon. Itu Henry, di Yugo's, sedang mabuk bersama Prince. Mereka senang aku sedang bercokol di tempat sekarang, sementara mereka minum-minum dan memasang taruhan pada pertandingan apa pun yang kebetulan disiarkan ESPN. Suara latar belakangnya terdengar seperti huru-hara. "Bagaimana hasilmu memancing?" Henry berteriak ke telepon. Aku tersenyum pada Anne yang tak disangsikan lagi terkesan oleh telepon ini, dan sepelan mungkin menerangkan bahwa saat ini aku sedang bicara dengan seorang prospek, Henry meledak tertawa, lalu mengangsurkan telepon kepada Prince yang lebih mabuk lagi. la menceritakan lelucon pengacara yang sama sekali tidak lucu, sesuatu tentang memburu uang dari korban kecelakaan. Kemudian ia beralih pada pidato "apa-aku-bilang", tentang Henry yang akan mengajariku lebih banyak tentang hukum daripada lima puluh profesor. Ini berlangsung beberapa waktu, dan tak lama kemudian sukarelawan Anne tiba untuk membawanya kembali ke kamar. Aku berjalan beberapa langkah menghampiri mejanya, menutupi telepon dengan tangan, dan berkata, "Senang bertemu denganmu.” la tersenyum dan berkata, "Terima kasih untuk minuman dan percakapan tadi." "Besok malam?" aku bertanya, dengan Prince berteriak-teriak di telinga. "Mungkin." la mengedipkan satu mata kepadaku; lututku jadi gemetar. Rupanya petugas pengantar dalam seragam merah jambu itu sudah cukup lama berada di tempat itu untuk mengenali seorang peng acara pemburu perkara. la mengernyit padaku dan membawa Anne pergi. la akan kembali. Aku menekan satu tombol pada telepon dan memotong Prince di tengah kalimat. Kalau mereka menelepon kembali, aku takkan menjawab. Kalau kelak mereka ingat, dan ini sangat kuragukan, aku akan menimpakan kesalahan pada Sean.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD