Empat Puluh Dua

2091 Words
DALIH yang aku gunakan untuk tidak mengikuti upacara wisuda adalah bahwa aku harus menghadiri wawancara pada beberapa biro hukum. Wawancara yang menjanjikan, aku meyakinkan Bolie, tapi ia tahu bagaimana sebenarnya. Bolie tahu selama ini aku cuma mengetuk pintu kantor-kantor dan menaburkan resume ke seluruh penjuru kota. Cuma Bolie yang peduli aku memakai topi dan toga serta ambil bagian dalam upacara itu. la kecewa mengetahui bahwa aku tidak akan hadir. Ibuku dan Curtis sedang berkemah di suatu tempat di Maine, menyaksikan dedaunan berubah jadi hijau. Aku bicara dengannya sekitar sebulan yang lalu, dan ia tidak tahu kapan aku akan lulus dari sekolah hukum. Aku mendengar kalau upacara itu cukup membosankan, banyak pidato bertele-tele dari hakim-hakim tua yang mengimbau para wisudawan untuk mencintai hukum, memperlakukannya sebagai profesi terhormat, menghormatinya bagaikan istri yang pencemburu, membangun kembali citra yang sudah begitu ternoda oleh pendahulu kami. Ad nauseum. Aku lebih suka duduk-duduk di Yugo’s, menyaksikan Prince bertaruh pacuan kambing. Bolie akan hadir bersama keluarganya. Emily anak-anak. Orangtuanya, orangtua Emily, kakek-nenek, bibi-paman, sepupu. Klan Harold akan jadi telompok hebat. Akan ada banyak air mata dan foto. Ia adalah orang pertama dalam keluarga yang menyelesaikan college, dan fakta bahwa ia berhasil lulus sekolah hukum menimbulkan kebanggaan tak terkira. Aku merasa tergoda untuk bersembunyi di antara penonton, sehingga aku bisa melihat orangtuanya ketika ia menerima ijazah. Aku mungkin akan menangis bersama mereka. Aku tidak tahu apakah keluarga Anya Joy Moretz akan hadir dalam pesta itu, tapi aku tak mau ambil risiko. Aku tidak tahan membayangkan akan melihatnya tersenyum di depan kamera bersama pacarnya, Tom Evans, yang memeluknya. la akan memakai jubah longgar, sehingga mustahil untuk tahu, apakah ia benar hamil atau tidak. Tapi aku pasti tetap menatap. Mencoba sekuat tenaga, sebab tak mungkin bagiku untuk bisa mengalihkan pandang dari perutnya. Yang paling baik bagiku adalah dengan tidak menghadiri wisuda. Dua hari yang lalu, Altha Abigail mengungkapkan bahwa setiap lulusan lainnya sudah mendapatkan pekerjaan. Banyak yang menerima kurang daripada yang mereka inginkan. Sedikitnya lima belas orang turun ke jalan untuk buka usaha sendiri, membuka kantor kecil dan mengumumkan bahwa mereka siap menangani perkara. Mereka meminjam uang dari orangtua dan paman, menyewa ruangan sempit dengan mebel murahan. la punya angka statistik. la tahu ke mana setiap orang pergi. Tak mungkin aku duduk di sana dengan topi dan toga hitam bersama 120 teman kuliahku, semuanya tahu bahwa aku, Edward Cicero, adalah satu-satunya pecundang yang tersisa tanpa pekerjaan di kelas itu. Lebih baik aku pakai jubah merah jambu dengan topi neon. Aku mengambil ijazahku kemarin. Upacara wisuda itu mulai pada pukul dua siang, dan tepat pada jam itu aku memasuki kantor penasihat hukum Jonathan Stone. Ini akan jadi pertunjukan ulangan, yang pertama bagiku. Aku sudah ke sini sebulan yang lalu, dengan lemas menyerahkan resume kepada resepsionis. Kunjungan kali ini lain. Sekarang aku punya rencana. Aku sudah melakukan sedikit riset tentang biro hukum Stone, begitulah tempat itu biasanya dikenal. Karena Mr. Stone tidak percaya untuk berbagi kekayaan, ia adalah partner tunggal di situ. la punya dua belas pengacara yang bekerja untuknya, tujuh orang dikenal sebagai trial associate, dan lima lainnya adalah associate muda, menangani segala macam pekerjaan. Tujuh trial associate itu adalah advokat pengadilan yang terampil. Masing-masing punya seorang sekretaris, seorang paralegal, dan si paralegal bahkan punya satu sekretaris. Ini dikenal sebagai trial unit. Setiap trial unit bekerja secara otonom, lepas dari yang lain, dengan Jonathan Stone sekali sekali ikut memberikan masukan. la menerima kasus kasus yang ia inginkan, biasanya kasus-kasus dengan potensi besar untuk menghasilkan vonis besar. La suka menggugat ahli obstetri dalam perkara kesalahan penanganan bayi, dan akhir-akhir ini mendapatkan banyak uang dalam litigasi asbes. Setiap trial associate menangani sendiri stafnya, bisa mempekerjakan dan memecat, juga bertanggung jawab untuk mendapatkan kasus-kasus baru. Aku dengar kalau hampir delapan puluh persen bisnis biro hukum ini adalah pindahan dari pengacara-pengacara lain, pengacara picisan dan real estate yang kadang-kadang terantuk pada klien korban kecelakaan. Pendapatan seorang trial associate ditentukan oleh bes berapa faktor, termasuk berapa banyak bisnis baru yang ia dapatkan. Robin Gibson adalah bintang muda yang sedang menanjak dalam biro hukum ini, trial associate yang baru saja diangkat dan berhasil menuntut seorang dokter di Mississippi sebanyak dua juta dolar Natal lalu. la berumur 34 tahun, cerai, hidup di kantor, studi ilmu hukum di Southaven Law School. Aku sudah mendapatkan informasi tentang dirinya. la juga memasang iklan mencari seorang paralegal. Aku melihatnya di Berita Harian. Kalau aku tak bisa mulai sebagai pengacara, apa salahnya jadi para legal? Itu akan jadi kisah hebat kelak, sesudah aku sukses dan punya biro hukum besar sendiri; Edward muda tak bisa mendapatkan pekerjaan, jadi ia mulai bekerja di dalam ruang surat di kantor Jonathan Stone. Sekarang lihatlah dia. Aku janji bertemu dengan Gibson. pukul dua. Sang resepsionis menyambutku dengan heran, tapi akhirnya membiarkanku. Aku sangsi ia mengenaliku dari kunjungan pertamaku. Sudah seribu orang datang dan pergi sejak saat itu. Aku bersembunyi di balik majalah di sebuah sofa kulit, mengagumi karpet Persia dan lantai dari kayu keras serta balok tiga puluh sentimeter di atasnya. Kantor-kantor ini terletak di sebuah gudang tua dekat distrik medis Southaven. Menurut laporan, Jonathan Stone menghabiskan tiga juta dolar untuk merenovasi dan mendekorasi monumen ini untuk diri sendiri. Aku sudah pernah melihatnya terpampang pada dua majalah yang berlainan. Sesudah beberapa menit, aku diantar seorang sekretaris melewati labirin serambi dan jalan menuju sebuah kantor di lantai atas. Di bawahnya ada perpustakaan terbuka tanpa dinding atau pembatas, hanya berderet-deret buku. Seorang mahasiswa duduk di depan meja panjang dengan buku-buku risalah bertumpukan di sekitarnya, tenggelam dalam banjir teori vang bertentangan, Kantor Gibson berbentuk memanjang dan sempit, dengan dinding-dinding bata dan lantai berkeriat keriut. Ruangan itu dihiasi barang-barang antik dan aksesoris. Kami berjabatan tangan dan mengambil tempat duduk masing-masing. Ia bertubuh ramping dan fit. Aku ingat pernah melihat di majalah, foto ruang olahraga yang dibangun Mr. Stone untuk biro hukumnya. Di sana juga ada sauna dan ruang mandi uap. Gibson sedang sibuk, tak diragukan ia harus rapat menyusun strategi dengan trial unitnya, bersiap menghadapi kasus besar. Teleponnya ditempatkan sedemikian rupa, sehingga aku bisa melihat lampu-lampunya berkedip-kedip ramai. Tangannya tenang, tapi ia tak tahan juga untuk tidak melihat jam tangan. "Ceritakan tentang kasusmu," katanya sesudah beberapa saat basa-basi. "Sesuatu tentang penolakan klaim asuransi.” Ia sudah curiga, sebab aku memakai jas dan dasi, tidak seperti penampilan klien kebanyakan. "Ah, saya sebenarnya ke sini untuk mencari pekerjaan," kataku lancang. Paling-paling ia memintaku pergi. Toh apa ruginya? Ia meringis dan memungut secarik kertas. Sekretaris k*****t itu merusak acara lagi. "Saya melihat iklan Anda di Berita Harian, mencari seorang paralegal." "Jadi, kau paralegal?" tukasnya. "Bisa saja." "Apa maksudnya?" "Saya sudah mengenyam tiga tahun di sekolah hukum." la mengamatiku sekitar lima detik, kemudian menggelengkan kepala sambil melirik jam tangan, "Aku benar-benar sibuk. Sekretarisku akan menerima lamaranmu. " Aku tiba-tiba melompat berdiri dan membungkuk ke depan di atas meja kerjanya. "Dengar, ini tawarannya," kataku dramatis ketika ia mengangkat muka dengan terperanjat. Kemudian aku menggelar pidato baku tentang betapa cemerlang dan tinggi motivasiku, dan aku satu di antara sepertiga teratas dalam kelasku, dan bagaimana aku dulu punya pekerjaan di Wills and Trust. Aku memberondong dengan semua amunisi. Skadden, kebencianku pada biro hukum besar. Tenagaku murah. Berapa saja untuk bertahan hidup. Benar-benar butuh pekerjaan, Mister. Aku mengoceh tanpa disela selama satu-dua menit, lalu kembali ke tempat duduk. la berpikir sejenak sambil menggigit-gigit kuku. Aku tak bisa menebak apakah ia marah atau terkesan. "Kau tahu apa yang membuatku gusar?" Akhirnya ia berkata, jelas bukan terkesan. "Ya, orang-orang seperti saya berbohong kepada orang-orang di depannya, sehingga bisa kembali ke sini dan mendapatkan pekerjaan. Itulah yang membuat Anda gusar. Saya tidak menyalahkan Anda. Saya pun akan marah, tapi akhirnya akan bersabar. Saya akan mengatakan, ‘Lihat, orang ini akan jadi pengacara, dan aku bisa menggunakan tenaganya. Bukan dengan bayaran 40.000 dolar, tapi hanya... katakan saja, 24.000 dolar.” "Dua puluh satu.” "Saya terima," kataku. "Saya akan mulai besok dengan 21. Dan saya akan bekerja sepanjang tahun dengan 21.000. Saya janji saya tidak akan keluar selama dua belas bulan ini, tak peduli saya lulus ujian pengacara atau tidak. Akan saya curahkan enam puluh, tujuh puluh jam seminggu selama dua belas bulan. Tanpa liburan. Anda boleh pegang kata-kata saya. Saya akan menandatangani kontrak. "Kami mensyaratkan pengalaman lima tahun sebelum mempertimbangkan seorang paralegal. Ini biro hukum besar.” "Saya akan belajar dengan cepat. Musim panas lalu saya magang di sebuah biro hukum di pusat kota, tidak mengerjakan hal lain kecuali perkara gugatan." Ada sesuatu yang tidak adil di sini, dan ia merasakannya. Aku melangkah masuk dengan senapan terisi penuh, dan ia disergap tiba-tiba. Kelihatan jelas bahwa aku sudah beberapa kali melakukan hal ini, sebab aku menjawab begitu cepat pada apa pun yang ia katakan. Aku sama sekali tidak merasa kasihan padanya. Ia bisa memerintahkanku keluar setiap saat. "Aku akan merundingkannya dengan Mr. Stone," katanya, mengalah sedikit. "Dia punya peraturan ketat mengenai pegawai. Aku tak punya wewenang untuk mempekerjakan paralegal yang tidak sesuai dengan spesifikasi kami." "Tentu," kataku sedih. Sekali lagi ditendang pada wajah. Itu hal yang biasa. Aku sudah belajar bahwa pengacara, tak peduli bagaimana sibuknya mereka, punya perasaan simpati bawaan kepada lulusan baru yang tak bisa mendapatkan pekerjaan. Simpati terbatas. "Mungkin dia akan bilang ya, dan kalau ya, pekerjaan itu milikmu," la mengucapkan ini untuk sedikit menghiburku. "Masih ada satu hal lain," kataku menanggapi. "Saya punya sebuah kasus. Kasus yang sangat bagus.” Ini membuatnya curiga luar biasa. "Kasus macam apa?" ia bertanya. "Ingkar p********n klaim oleh perusahaan asuransi.” "Kau kliennya?" "Bukan. Saya pengacaranya. Kurang-lebih saya secara kebetulan terantuk pada kasus ini.” "Berapa nilainya?" Kuangsurkan padanya ringkasan kasus Jack sepanjang dua halaman, sudah dimodifikasi besar-besaran dan dibuat sensasional. Sudah beberapa lama aku menggarap sinopsis ini sekarang, mengatur-aturnya lagi setiap kali ada pengacara yang membacanya dan menolakku. Gibson. membacanya dengan cermat, dengan konsentrasi lebih daripada yang pernah aku saksikan pada orang lain selama ini. la membaca untuk kedua kalinya sementara aku mengagumi dinding bata yang kuno dan memimpikan kantor seperti ini. "Lumayan," katanya ketika selesai. Ada binar dalam matanya, dan aku rasa kalau ia lebih tertarik daripada yang ia ungkapkan. “Coba aku terka. Kau ingin pekerjaan, dan sedikit dari kasus ini.” "Tidak, cuma pekerjaan. Kasus ini milik Anda. Saya mau menggarapnya, dan saya harus menangani kliennya. Tapi uang jasanya untuk Anda." "Sebagian. Mr. Stone mendapatkan bagian terbesar," katanya sambil menyeringai. Apa saja. Terus terang, aku tak peduli bagaimana mereka membagi uang itu. Aku hanya ingin pekerjaan. Angan-angan untuk bekerja bagi Jonathan Stone dalam kantor mewah ini membuatku pening berkunang-kunang. Aku sudah memutuskan untuk menyimpan urusan Miss Streep bagi diri sendiri. Sebagai klien, ia tidak begitu menarik, sebab ia tidak membelanjakan berapa pun untuk pengacara. la mungkin akan hidup sampai umur 120, sehingga tak ada keuntungan apa pun untuk memakainya sebagai kartu truf. Aku yakin banyak pengacara canggih yang bisa menunjukkan kepadanya segala macam cara untuk membayar mereka, tapi ini tidak akan menarik biro hukum Stone. Orang-orang di sini mengurus perkara di pengadilan. Mereka tidak tertarik menyusun surat wasiat dan mengurus pengesahan warisan oleh hakim. Aku kembali berdiri. Sudah cukup aku mengambil waktu Robin. "Dengar," kataku setulus mungkin. "Saya tahu Anda sibuk. Saya sepenuhnya sah. Anda boleh memeriksanya di kampus. Teleponlah Altha Abigail kalau mau." "Abigail Gila. Dia masih di sana?" "Ya, dan saat ini dia sahabat terbaik saya. Dia akan menjamin saya.” "Baiklah. Aku akan menghubungimu secepat mungkin.” Jelas kau akan menghubungiku. Dua kali aku tersesat dalam usaha menemukan pintu depan. Tak seorang pun mengawasiku, jadi aku tidak terburu-buru, mengagumi kantor-kantor besar yang bertebaran di gedung itu. Pada suatu titik, aku berhenti di tepi perpustakaan dan menengadah ke atas, melihat jalan-jalan sempit tiga tingkat di sana. Tak ada dua kantor pun yang mirip. Ruang-ruang rapat tertempel di sana-sini. Para sekretaris, kerani, dan pesuruh hilir-mudik tenang di lantai kayu itu. Aku mau bekerja di sini dengan gaji kurang dari 21.000 dolar sekalipun. *** Aku parkir diam-diam di belakang Cadillac panjang itu, dan tanpa suara menyelinap keluar dari mobil. Aku tak berselera menanam krisan dalam pot. Aku melangkah ringan mengitari rumah dan disambut oleh setumpuk tinggi karung plastik putih berukuran besar. Puluhan jumlahnya. Pupuk kulit kayu pinus, berton-ton banyaknya. Setiap karung bobotnya setengah kuintal. Sekarang aku teringat sesuatu yang dikatakan Miss Streep beberapa hari lalu, tentang memupuk kembali semua rumpun bunga, tapi aku tidak tahu apa-apa. Aku melangkah ke anak tangga menuju apartemenku, dan ketika hampir sampai di atas, aku mendengar ia memanggil, "Edward. Edward sayang, mari minum kopi." la berdiri di samping monumen kulit kayu pintu tersebut, tersenyum lebar padaku dengan giginya yang kuning dan kelabu. la sungguh gembira mengetahui aku pulang. Hari sudah hampir gelap dan ia suka menghirup kopi di teras ketika matahari menghilang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD