Bangun terlilit kabel earphone adalah salah satu hal wajib yang Faira dapati di pagi hari. Tidur sembari mendengarkan musik adalah salah satu pelariannya untuk menenangkan hati. Namun, bedanya sekarang adalah, Faira tidak bisa menghabiskan lebih dari tiga menit lagi waktunya untuk leha-leha. Sesuai janji yang ia buat pada Rizal semalam, Faira akan menemui ehhem ... calon mertua kayanya.
Gadis itu melompat dari tempat tidur, menuju kamar mandi. Membasuh wajah, dan mandi dengan waktu yang terbilang cukup lama kali ini. Memastikan setiap inci tubuhnya tidak ada daki yang tertinggal, demi mendapatkan kesan hebat dari calon mertuanya.
Lebih mantap lagi, kalau sekalian dapat hati calon suaminya.
Hanya membayangkan itu saja, Faira kegirangan. Pegangan gayung sebagai pengganti microphone menjadi penyemangat sendiri ketika Faira menyanyikan salah satu lagu KOTAK: Beraksi.
Usai mandi, gadis itu segera mengeringkan tubuh seraya memilah-milah pakaian. Uh, ini tidak ada yang cocok dengan tema hari ini: menemui calon keluarga kaya-raya. Semua pakaian Faira tampak biasa. Hal buruknya lagi, ia sama sekali tidak punya uang tambahan membeli pakaian baru selain pemberian jajan dari orangtuanya untuk kuliah.
Maka, gadis itu hanya bisa memilih blouse navy 30 ribuan yang ia beli di pasar hasil tawar-menawar sampai nyaris gelud dengan penjualnya. Lalu, bawahan—agar terkesan anggun, ia mengenakan rok pensil selutut dengan motif kembang yang warnanya senada dengan blouse.
Setelah mengenakan sedikit make up tipis agar terlihat cantik natural ala-ala begitu, Faira lalu kebingungan untuk urusan rambut. Lebih pas, jika dia membiarkan rambut hitam pekatnya terurai begitu saja. Namun, tidak ada jaminan, bahwa ia tidak akan berubah menjadi singa saat cuaca semakin panas. Mau mengikatnya, tetapi dirasa tidak cocok. Maka, Faira berdecak pelan sebelum memasukkan sebuah ikat rambut ke dalam tas selempang Dior—KW—mini warna hitam miliknya.
Rambut-rambutnya dikumpulkan di bahu sebelah kanan. Sementara sisi kepala bagian kiri, ia berikan tiga jepitan kecil warna hitam agar tampak rapi.
Selesai.
Sungguh, Faira sangat berdebar kali ini. Bagaimanapun, kesan pertama adalah hal utama. Ia tidak bisa mengabaikan satu detik saja pandangan pertama calon keluarganya, atau Faira akan kehilangan kesempatan jadi orang kaya mendadak.
Memang, si miskin atau si kaya boleh bermimpi setinggi luar angkasa. Namun, si miskin harus tertatih menaiki tiap tangga yang semakin lama, semakin berduri, dan menyakitkan. Sementara si kaya, semua duri dan tangga bisa dilindas habis dengan membeli roket agar bisa mencapai mimpinya dengan mudah.
Sulit, kan?
Maka, gadis itu berusaha mencoba peluang terbesarnya. Menjadi salah satu keluarga dari Pramono, yang kemungkinan akan kecipratan kaya dari perusahaan Monovers Group terkenal.
Setelah memastikan semua perlengkapan, dan barang sudah masuk ke dalam tas, Faira keluar dari kamarnya. Sarapan seadanya seorang diri, karena orang tuanya harus bersaing dengan matahari ketika berangkat bekerja.
Baru saja mengunci pintu, suara klakson dari rumah sebelah terdengar. Faira berlari-lari pelan untuk menjaga flat shoes-nya tetap bersih. Mengintip di balik pagar besi milik tetangga.
“Mau ke mana, Fai? Tumben rapi?” tanya Akmal, si dosen muda nan tampan, sebagai pembuka obrolan keduanya. “Nggak ke kampus? Sini, saya anter!”
“Nggak. Nanti aku ke kampusnya. Ada urusan bentar.” Faira melebarkan senyumnya yang memancing raut-raut kebingungan dari lawan bicara. Apalagi ketika sebuah kedipan mata kirinya Faira berikan, Akmal semakin penasaran. “Jemput keberuntungan!” lanjut Faira.
Gadis itu meninggalkan pagar, menuju pinggir jalan. Demi menjaga kesan pertama sebelum bertemu calon keluarga, Faira harus mengembuskan napasnya kasar karena akan mengeluarkan uang lebih banyak dari biasanya hanya untuk menyewa taksi. Padahal biasanya, ia akan sangat berhemat ke mana pun itu, walaupun harus merepotkan orang lain karena meminta tumpangan secara asal.
Penting, gratis!
*
Ketika menginjakkan kaki di restoran bintang lima—yang seandainya mengandalkan diri sendiri nyaris mustahil untuk mencapainya—semangat Faira kembali bertambah. Optimismenya untuk menjadi menantu Anton Pramono semakin melesat tinggi. Apalagi, ketika ia menanyakan keberadaan si orang kaya ke tiga di Indonesia itu, pelayan mengarahkannya dengan penuh penghormatan menuju ruangan VVIP.
Keberuntungan seumur hidup!
Bahkan, pelayan itu memberikan penghormatan setelah membuka pintu ruang VVIP tempat calon keluarganya berada.
Ketika pertama kali masuk, kecanggungan menyergap Faira sehingga kakinya terpaku di atas lantai dekat pintu. Dalam ruangan berukuran 6 meter persegi itu, hanya ada seorang pria berumur di salah satu sofa panjang, tengah menatap Faira tanpa kedipan. Gugup-gugup ketakutan menyebabkan gadis itu gemetar, dan secara asal melampiaskannya dengan menarik-narik ujung rok agar tidak terlalu mengekspos paha. Namun, sepertinya itu menjadi salah satu penyesalan Faira. Pasalnya, pandangan Anton malah beralih ke bagian bawah tubuhnya. Faira segera berhenti, dan berjalan gugup ke sofa yang berseberangan dengan calon mertua.
“Selamat pagi, O—Om. Saya ... Faira Sarry, anak Pak Rizal.” Meski gugup, Faira bersyukur bisa melakukan perkenalannya dengan baik.
Lawan bicara mengangguk sekali, lalu menjulurkan tangan sebagai isyarat mempersilakan duduk. Faira segera mematuhi.
“Halo, saya Anton Pramono.” Pria itu mengulurkan tangan, yang ragu dibalas oleh Faira.
Salim tidak, ya?
Pria ini seumuran dengan ayahnya, tetapi hanya ada gurat-gurat dewasa nan bijaksana di wajah seorang Anton Pramono. Tidak ada tanda-tanda penuaan berarti kecuali beberapa kerutan di bawah mata, dan sekitaran bibir. Helai-helai putih yang terselip di antara lebarnya rambut hitam nan rapi milik Anton, malah menambah kesan wibawa.
Faira jadi bimbang. Ia berniat membalas biasa jabatan tangan dari Anton, sebagai kesan berkelas. Namun, karena telapak tangannya malah tertahan di antara dekapan tangan Anton, Faira jadi berpikir, pria di depannya ini mungkin mengharapkan Faira mencium punggung tangannya. Maka, gadis itu menunduk dengan sebelah tangannya yang bebas menahan rambut dan bagian depan pakaian. Meletakkan penuh khidmat tangan calon mertuanya di kening selama beberapa detik, lalu kembali ke posisi semula.
Namun ... Anton belum juga melepaskan.
Faira meneguk ludahnya sekali. Menebak-nebak, ini termasuk isyarat apa dalam kamus orang kaya. Bukannya menemukan jawaban, gadis itu malah mendapati buntu. Ia dengan kikuk melemparkan senyuman.
“Salam kenal, Om Anton.”
Usai Faira mengatakan hal demikian, pria itu menggeleng pelan dengan refleks seakan terkejut. Jabatan tangan akhirnya terlepas, menyisakan keringat di masing-masing telapak tangan. Faira, karena risi, langsung meletakkan tangannya di atas paha untuk menghapus basah.
“Maaf, saya kurang fokus.” Pria itu menggaruk pelipisnya, tampak menyesal. “Saya tidak kaget kamu akan secantik ini. Pasti dari benih yang terbaik.”
“O—Om bisa aja.” Faira terkekeh garing. “Ayah saya memang yang terbaik.”
“Bukan ayah kamu. Pasti kesempurnaan kamu ini turun dari Ibu kamu, kan? Saya tahu, Rizal cari istri, selain karena cinta, juga ingin memperbaiki keturunan.”
Faira terkekeh lagi, dengan terpaksa. Hanya untuk menanggapi lelucon dari lawan bicara yang tidak berkesan apa pun padanya.
“Anak Om nggak dateng?” Saatnya kembali ke topik utama, agar Faira tidak mati karena topik garing sebelumnya. Faira perlu memastikan calon suaminya juga benih terbaik, agar menghasilkan keturunan tiga kekayaan, empat ketampanan, lima kesempurnaan.
“Bagaimana, ya, Faira? Tujuan utama saya mencari jodoh untuk anak saya sekarang, ya ... karena dia bandel. Tidak mau pulang ke rumah saya. Saya harapnya, dengan dia punya istri, dia akan mau kembali ke rumah, dan betah di rumah,” jawab Anton dengan nada lirih. Sesaat berikutnya, senyuman pria itu terbit. “Kamu mau bantu saya bawa kembali anak saya, Faira? Jika kamu berhasil, akan saya langsung nikahkan kalian berdua!”
Hm ... tawaran yang menarik. Faira juga penasaran dengan tingkat bandel dari calon suaminya ini.
Jadi, tentu saja ....
“Bisa, Pak!” Optimis pertama, urusan sanggup atau tidak, itu belakangan!
*