Di dalam mobil.
"Mama," panggil Zeno setelah ibu dan anak itu menaiki gocar.
"Hm? Kenapa sayang?"
"Pedopil itu apa?"
Ups! Ita lupa menyaring kata-katanya. Di usia Zeno dan Zera yang menginjak 3 tahun adalah masa keingintahuan anak sedang pesat-pesatnya.
"Itu--" Sibuk mencari jawaban Zeno justru tersenyum lalu menggapai pipi Ita.
"Nanti kalau Zeno udah gede pasti tau kan Ma?"
Senyum Ita mengembang. Sebenarnya dari mana Zeno belajar sikap dewasa seperti ini? Berbeda dengan Zera yang aktif. Pembawaan Zeno tenang dan dia pandai memahami situasi.
"Nggak perlu nunggu besar sayang. Zeno boleh tau sekarang juga kok."
Ita menghadap Zeno. Hendak menjelaskan. Zeno pun ikut menengadah sebab tinggi mereka yang terpaut jauh.
"Dengar...." Ita sengaja menyilangkan kedua jari telunjuknya sebagai isyarat dilarang atau hal buruk yang tidak boleh dilakukan.
"p*****l itu perbuatan buruk yang tidak boleh dimasukan ke kantung Doraemon." Ita sengaja mengambil istilah kantung Doraemon sebagai istilah yang boleh dan tidak boleh dipelajari.
Zeno masih terlihat bingung. Sesekali matanya melihat ke atas. Tanda kalau ia belum paham.
"Jadi gini, kalau misal Zeno sama Zera main ke taman komplek. Terus ada Om-om tidak dikenal yang mendekati dan memegang Zera di sini...." Ita menunjuk d**a, paha dan b****g.
"Pada saat itu, Zeno harus membawa Zera pergi, Ya? Karena Zera sedang berhadapan dengan Pedofil."
"Papa suka gendong Zela Ma. Cium pipi sama puk-puk p****t. Papa pedopil juga ya Ma?"
Terdengar kekehan dari depan. Sang supir ternyata menyimak sejak tadi.
"Aduh Mbak anaknya lucu banget," komentarnya.
"Hehe, Maaf ganggu ya Pak?"
"Nggak Mbak. Saya justru terhibur. Dilanjutkan aja Mbak. Jaman sekarang memang kudu hati-hati Mbak."
"Iya Pak. Makasih ya."
Ita kembali ke Zeno. Untung saja Zera tidur. Kalau tidak, mungkin pertanyaannya semakin panjang. Karena Zera tipe anak yang daya ingin tahunya tinggi.
"Papa bukan p*****l sayang. Karena Papa sayang kalian. Tidak mungkin Papa akan mencelakai kalian. Berbeda kalau orang tidak dikenal."
"Jadi besok kalau waktu main ada orang yang dekati Zera dan melakukan tiga sentuhan yang Mama tunjuk tadi. Zeno harus menarik Zera pergi ya?" Zeno mengangguk semangat. "Bukan hanya Zera. Tapi, berlaku juga untuk Zeno. Paham ya?"
"Humm... paham," sahut Zeno semangat. Gigi kelinci depannya sampai eksis. Lambat waktu Zeno ikut terlelap bersama Zera di pangkuan Ita.
Sesampainya di depan gerbang. Zera terbangun. Wajah khas bangun tidur membuat anak dengan poni Dora itu terlihat cantik alami. Ita yang melihat anak perempuannya mengucek-ngucek mata seketika menghentikan.
"Nanti cuci muka ya sayang."
Zera turun dari gendongan Ita, ia segera berlari ke dalam halaman rumah mereka. Begitupun Zeno, setelah melihat Zera aktif berlari ia ikut mengekor.
"Apa aku sewa baby sitter aja kali ya buat ngawasin mereka? Umur 4 tahun memang lagi aktif-aktifnya," gumam Ita sembari memegangi pundaknya.
"ARGH!!"
Suara jeritan itu sontak membuat Ita berlari kalang kabut menyusul dua anaknya. Panik melanda ketika melihat Zera dan Zeno tersungkur di paving dan sebuah mobil terlihat berhenti tepat di hadapan mereka.
Ita spontan memeluk kedua anaknya lalu mengecek satu persatu bagian tubuh mereka. Suara pintu mobil menarik fokus Ita untuk melihat.
"Aduh, makanya jangan lari-lari. Kamu gimana sih jaga anak?! Untung tante langsung ngerem, kalau nggak gimana nasib kedua anak mu itu, hah?!"
"Ma-maaf Tante."
"Tck, ajarin yang bener dong!"
"Iya Tante."
"Kamu dari mana aja?" tanya singut wanita paruh baya tampak modis. Tidak sebanding dengan usianya.
"Dari cafe anak Tante. Si kembar dari kemarin pingin ke sana."
"Oh. Jangan suka kelayapan nggak jelas ya. Kamu udah nikah. Sebisa mungkin harus selalu di rumah. Kasian tuh ponakan Tante. Kerja sampai malam buat biayain hidup kamu."
"Iya Tante," jawab Ita datar. Padahal yang bicara tidak mencerminkan perkataannya.
Sambil menenangkan Zera dan Zeno yang menangis. Ita mengawasi kepergian mobil itu. Tatapan tajam tak pernah luput dari pengawasan. Satu dari sekian orang yang membuat rumah tangganya hancur. Sampai mati pun Ita tidak akan memaafkan mereka.
Seorang ART berlari histeris ketika melihat majikannya tersungkur. Ia membantu Ita berdiri. Lalu menggendong Zera yang masih menangis.
"Mbak nggak apa-apa?" tanya Bu Ina. ART kediaman rumah utama.
"Iya Bu, aku nggak apa-apa," jawab Ita sembari membersihkan debu menempel di celana. "Oh iya, tante ada perlu apa kesini?"
"Tadi katanya mau nyari Mbak Ita tapi malah satu persatu temannya pada datang. Ini saya lagi beresin rumah soalnya kacau banget Mbak. Kayaknya mereka ngadain pesta dadakan gitu," jelas Ina.
Di rumah ini Ita adalah nyonya yang sebenarnya. Tapi tidak pernah dianggap nyonya mengingat satu makhluk berstatus keluarga yang seenaknya menggunakan rumah sebagai tempat berkumpul teman-teman sosialitanya.
Speak up? Memang siapa yang akan membela Ita? Bahkan suami sendiri pun lebih memilih keluarga dibanding istrinya.
Keadaan yang sungguh miris yang bahkan tidak sanggup Ita ubah. Satu-satunya cara hanya mengulang waktu. Hah! Itu hanya bisa terjadi di dunia fantasi.
"Memang nggak izin Mbaknya dulu?" tanya Ina. Membuyarkan lamunan Ita.
"Nggak Bi. Mungkin dia izin sama ponakannya langsung," jawab Ita.
Dari kejadian tadi untunglah tidak ada luka membekas di tubuh Zera dan Zeno. Ita bisa bernafas lega.
Jam menunjukan pukul sepuluh malam. Ita mengunjungi kamar si kembar berniat meyakinkan sekali lagi bahwa tidak ada luka berkat kejadian tadi siang.
Setelah memastikan Zera dan Zeno tidur Ita bebas melakukan apapun. Mengingat komentar Tina tadi siang. Ita jadi tergiur menyentuh skincare lagi setelah sekian lama vakum.
Krim malam diambil dari meja rias. Ita melihat pantulan dirinya dikaca. Mata panda, bibir kering dan kulit kusam. Tampilannya seakan memperlihatkan betapa ia kurang dalam merawat diri. Percayalah! Ingin sekali Ita pergi perawatan. Namun, keadaan yang menolak.
Ia pun tersenyum masam. "Ternyata bener ya aku kelihatan dekil banget. Apa karena itu dia-" senyumnya menghilang digantikan tatapan layu.
Ia mengakhiri pergulatan pikiran yang tidak berguna lalu memutuskan untuk tidur. Berharap dengan itu pikiran negatif bisa teralihkan sementara.
Namun, Alih-alih mendapat ketenangan justru ia melihat sosok yang selama lima tahun ini mengikis mentalnya, dia Saraga Hilar. Suaminya.
"Ada apa?" Sahut Ita to the point. Kehadiran yang cukup jarang mengingat kamar mereka yang terpisah.
"Tadi anak-anak jatuh dihalaman?"
"Iya," jawab Ita datar. Ia ingin cepat rebahan. Mengurus anak benar-benar menguras semua energinya.
"Kok bisa?"
"Wajar kan kalau anak-anak jatuh?! Kenapa harus ditanyakan lagi sih?"
"Tck! Bukan itu... apa benar anak-anak hampir ketabrak mobil Tante?" selidik Raga.
"Ya memang! Terus kenapa? Kamu mau nyalahin aku karena nggak becus jaga anak?"
"Seenggaknya bilang yang jelas! Aku juga Ayahnya-"
"Terus kenapa kalau kamu Ayahnya? Nyatanya cuma di kertas aja kan? Apa kamu pernah benar-benar jadi Ayah sejak meraka lahir?!" tandas Ita tajam.
Raga mengerutkan kening. Menyorot tajam pada manik Ita.
"Nggak terima?!" sulut Ita menantang. Entahlah, ia benar-benar lelah dengan keadaan yang memaksanya untuk terus menerima tanpa boleh menolak.