Omega

1061 Words
Igo berlari kencang menyusuri lorong-lorong gelap, perkampungan padat penduduk di Surabaya Utara. Peluh membasahi tubuh dan seragamnya. Sesekali dia menengok ke belakang. Ada tiga orang berbadan gempal mengejarnya dengan penuh semangat. "Berhenti, Igo! Jangan harap kamu bisa kabur!" teriak salah seorang dari mereka. Igo mendesis. Ah, s**l! Kenapa dia harus bertemu orang-orang ini? Semua ini gara-gara ayahnya! Pria itu tiba-tiba menghilang sejak umurnya lima tahun l dengan meninggalkan setumpuk hutang pada rentenir. Igo tak mengerti mengapa dia yang harus dikejar-kejar seperti ini. Mengapa orang-orang selalu mengidentikkan dirinya dengan ayahnya yang b******k itu. Igo tak pernah tahu bahwa ayahnya berhutang. Dia juga tak ikut menikmati uang tersebut. Lalu kenapa dirinya harus dirinya menanggung semua ini? Seandainya hubungan antara ayah dan anak bisa diputuskan, pasti Igo sudah memutuskannya dari dulu. Igo mengerahkan seluruh tenaga untuk mempercepat langkahnya. Hanya tinggal beberapa meter lagi dia akan sampai di tempat tinggalnya. Sebuah rumah susun milik Kombespol Adam, salah satu pejabat polisi yang disegani. Rusun itu adalah tempat teraman baginya, para depkolektor tak akan berani mengejarnya sampai ke sana. Kombespol Adam adalah pria yang baik meskipun kadang mengesalkan. Dia membiarkan Igo tinggal di Rusun itu tanpa uang sewa, memberikan Igo makanan bahkan pekerjaan. Sudah lama Igo tahu bahwa pria itu diam-diam menyukai ibunya. Lalu kenapa ibunya tak menikah saja dengan Kombespol Adam? Kenapa harus dengan ayahnya yang b******n itu? Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan tersebut, ibunya telah meninggal tiga tahun yang lalu. Igo terus berlari kencang, saat berbelok dia tak sengaja bertabrakan dengan seorang pemuda. Pemuda itu jatuh hingga badannya terjembab, headset yang dipakainya lepas dan MP3nya terjatuh ke kubangan lumpur sisa hujan. "Ups, sorry," kata Igo hampir tanpa rasa bersalah. Dia lalu mencari tempat persembunyian yang terdekat yaitu dalam tong sampah. Cowok yang ditabrak Igo bangkit dengan kesakitan. Tangan kanannya berdarah karena terkena pecahan beling di tempat dia terjatuh tadi. Dia berdecak kesal sembari membersihkan baju merek mahalnya yang jadi kotor. Dia melirik MP3-nya yang sudah jatuh ke kubangan, dia tidak berminat dengan benda itu lagi. Tiga pria berbadan gempal yang mengejar Igo muncul. Mereka bertanya pada pemuda yang baru saja ditabrak oleh Igo itu. "Hei, Dik, kamu lihat anak seumuran kamu yang rambutnya warna merah lewat sini, nggak?" tanya salah satu pria berbadan gempal itu. Cowok itu tersenyum. "Itu dia, sembunyi di sana." Cowok itu menunjuk dengan tempat persembunyian Igo. Igo terkesiap, dia mau keluar dari tong sampah tapi tidak berhasil. Tong terguling. Tiga cowok berbadan gempal itu menghampirinya sembari menyeringai dan meremas-remas otot tangan mereka hingga mengeluarkan bunyi-bunyi mengerikan. "Ups, sorry," kata cowok itu sambil tersenyum licik, dia kemudian pergi meninggalkan Igo bersama tiga rentenir yang sudah bersiap menghabisinya. *** Mobil patroli berhenti di depan sebuah g**g. Seorang polisi berusia kurang lebih seperempat abad keluar dari mobil itu. Dia mengenakan seragam polisi dengan pangkat balok emas satu di pundaknya. Inspektur polisi dua atau yang biasa disingkat Ipda. Namanya Ipda Yudha. Dia masih muda dan tampan, tubuhnya tinggi tegap dan juga atletis. Kulitnya agak coklat karena sering terbakar sinar matahari kota Surabaya yang begitu terik. Yudha menguap lebar sembari merenggangan otot tubuhnya. Pekerjaannya sebagai abdi negara memaksanya bangun di pagi buta begini. Salah seorang anak buahnya baru saja menelepon bahwa telah ditemukan mayat seorang gadis di dekat TPS. Yudha mengeluarkan sebungkus rokok dari saku, mengambil sebatang, menyulut dan menghirupnya. Pikirannya menjadi lebih tenang setelah memperoleh asupan nikotin. Sembari mengepulkan asap, Yudha menghampiri sebuah daerah yang sudah dibatasi dengan police line. Beberapa polisi dengan pangkat yang lebih rendah darinya segera memberi hormat padanya. "Lapor, Dan, pukul dua lebih empat puluh lima pagi tadi telah ditemukan seorang gads yang dalam keadaan tewas di sini." Salah seorang polisi berpangkat Briptu melapor pada Yudha. Yudha menganggu sembari menjentikkan asap rokonya. "Bagaimana kondisinya?" tanya Yudha. "Korban adalah siswi SMA F dengan ciri khas memakai pita warna merah muda dirambutnya. Terdapat luka tusukan pada benda tajam pada perutnya. Dia ditemukan dalam posisi duduk dan disamping korban ditemukan tanda aneh," jelas anak buah Yudha. Yudha termenung sejenak. "Tanda aneh?" tanya Yudha. Yudha menghampiri TKP dan melihat korban, yaitu seorang gadis remaja dengan seragam SMA F. Yudha mengenali baju putih dan rok kotak-kotak warna coklat yang biasa dikenakan oleh putri Kombespol Adam yang juga bersekolah di tempat yang sama. Baju itu dikenakan dalam kondisi terbalik, jahitannya ada di bagian luar. Darah m*****i kemeja putih pada bagian perut gadis itu. Mata gadis itu masih terbuka dan memancarkan ketakutan sekalipun tubuhnya sudah tidak bernyawa. Yudha mengenakan sarung tangan lateks lalu menutup kedua mata gadis itu sembari memanjatkan doa, agar arwah gadis itu tenang di alam sana. Yudha memandangi tanda itu dengan saksama. Dia lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya dan melihat file foto TKP yang berbeda dua hari lalu. Lambang yang sama ditemukan pada TKP tersebut, gaya penulisannya pun hampir mirip. Yudha menghela napas. "Nggak salah lagi, ini pembunuhan berantai," desah Yudha. Sebuah mobil ambulans berhenti di TKP. Turunlah beberapa anggota tim laboratorium kriminal. Dari kerumunan orang itu, Yudha melihat seorang wanita berambut pendek dan memakai jas warna putih. Dia adalah Dokter Forensik Sasa Ayuwandira dari laboratorium kriminal Polda Jatim yang terkenal nyentrik. Usianya masih awal tiga puluhan dan cukup cantik, entah mengapa dia masih single meskipun banyak pria mendekatinya. "Dunia ini benar-benar sudah rusak, setiap hari ada orang meninggal nggak wajar, lalu kapan aku punya waktu istirahat kalau begini," keluh Sasa kesal. Yudha tersenyum mendengar ucapan Dokter Sasa, dia lalu berjalan menghampiri wanita itu. "Dokter, bagaimana hasil autopsi jenazah Paramitha apa sudah selesai?" tanya Yudha. "Sudah, makanya aku mencarimu karena mau memberimu ini, tapi ternyata kamu ada di sini dan sudah memberiku pekerjaan baru," dengus Sasa. Wanita itu mengeluarkan sebuah map dari dalam tas punggungnya lalu memberikannya kepada Yudha. Dia meninggalkan Yudha yang tengah membaca hasil autopsinya dan menghampiri jenazah gadis SMA yang ada didepannya. Sasa mengeluarkan peralatannya dan mulai melakukan inspeksi. Yudha membolak-balik isi map. "Penyebabnya tewas karena kehilangan darah." Sasa mengangguk tanpa mengalihkan perhatian dari mayat di hadapannya. "Gadis ini, penampilannya mirip dengan korban dari kasusnya minggu lalu itu, bandana pink, baju seragam yang terbalik dan lambang omega ini. Jangan-jangan pelakunya orang yang sama. "Ya, aku juga berpikir begitu," aku Yudha. Dokter polisi itu mengamati tangan mayat di hadapannya. Tangan mayat itu tampak menggenggam sesuatu. Sasa membuka genggaman tangannya, sebuah pin berbentuk bintang dengan tulisan SMA F ada dalam genggaman tangan mayat tersebut. "Yudha, lihat ini." Sasa menunjukan pin itu pada Yudha. Yudha tertegun, dia menerima pin dan mengamatinya dengan seksama. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD