BAB 7

1124 Words
Sejak malam itu, William tak bisa berhenti memikirkan Thania. Ia memikirkan perbuatannya pada perempuan itu. Wajah polos Thania terus menari-nari di pelupuk matanya. Meski bibir ranum merah mudanya tak mengembangkan senyuman malam itu, tetapi tak bisa membuatnya berhenti untuk mencicipinya. Tubuh indah, kulit lembut, bahkan erangannya membuat William kehilangan logika dalam sekejap. Ia tahu pertemuan pertama dengan Thania menyisakan tangis untuk perempuan itu dan penyesalan mendalam untuknya. William tidak pernah menduga bisa melakukan hal gila pada perempuan itu. Ia bisa mendapatkan perempuan mana pun tanpa harus memaksa, tapi malam itu ia tidak bisa mengendalikan diri. Wajah cantik dan tubuh Thania terlalu menggoda, membuat ia tak pernah puas menikmatinya. Ini pertama kalinya dalam hidup William, ia memaksa seorang perempuan untuk tidur dengannya. Siang hari di musim kemarau ini benar-benar panas. Hawa dingin yang keluar dari Air Conditioner di ruangan itu tak sanggup mendinginkan hati William yang terus bergejolak. Ia masih merasa panas oleh gairah yang mengungkungnya sejak malam itu, bersama Thania. Perempuan itu sungguh menyiksanya dan tidak membiarkan William melupakannya barang sedetik pun. William merasa seperti seorang kriminal jika mengingat kejadian malam itu. Ya, ia memang kriminal! Ia berengsek! Tanpa berpikir panjang ia melakukan kebodohan yang berakibat sangat fatal. Sebenarnya, ia tahu Thania bukan perempuan seperti yang ia bayangkan. Ia hanya ingin memberinya sedikit peringatan agar menjauhi kekasih Bella. Bodohnya, William terjerat pesona perempuan tak berkelas itu dan akhirnya merenggut keperawanannya dengan paksa. Hanya saja, kenapa William tak bisa berhenti memikirkan Thania Adipraja? Kalau begini terus ia bisa gila. Ia tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya. Sudah beberapa hari ini William mengabaikan pekerjaannya, mengabaikan pertemuan-pertemuannya dengan para klien, dan bahkan ia mengabaikan dirinya sendiri. Yang ada di pikirannya hanya Thania Adipraja. “Hei!” Teriakan itu membuyarkan lamunan William. Ia mengembuskan napas panjang kemudian menyugar rambut pirangnya. “Hei, Bell. Mau apa kau ke sini?” “Kau melamun? Apa yang kaupikirkan, kakakku tersayang?” “Aku memikirkan dia, si perempuan tak berkelas, Thania Adipraja.” “Apa yang Kakak pikirkan sampai seserius itu? Dia perempuan yang tidak patut untuk dipikirkan. Tidak penting.” Bella mengangkat sebelah alisnya, lalu menarik kursi di depan meja kerja William.  ”Iya. Kau benar. Dia memang tidak penting.” Kalimat itu terpaksa terlontar dari mulut William “Apa yang sudah Kakak lakukan agar dia menjauh dari Sean?” selidik Bella sambil memutar ke kanan dan ke kiri kursi yang didudukinya. “Ini.” William memberikan amplop cokelat kepada Bella. “Apa ini, Kak?” Bella terheran-heran melihat amplop tersebut. “Buka saja, ada foto-foto dan SSD di dalamnya.” Bella membuka amplop cokelat tersebut dan menarik beberapa helai foto dari dalamnya. Ia menaikkan alisnya, lalu tersenyum puas. “Kau memang kakak terbaikku.” Bella tersenyum lebar. Perempuan cantik itu bangkit, berjalan melintasi meja kemudian mengecup pipi William. “Aku sangat menyayangi Kakak.” Apa pun akan William lakukan untuk kebahagiaan adiknya. Bella adalah saudara satu-satunya yang ia miliki dan ia tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Bella. Terlepas dari semua itu, William ingin menunjukkan pada dunia bahwa ada keluarga yang menyayangi dan membutuhkannya. Adik yang selalu membuatnya merasa berharga dan tidak akan pernah membuangnya seperti yang dilakukan ibu kandungnya.  ○○○ Siang itu, Thania baru saja menapakkan kakinya di halaman kampus bersama Diana ketika Sean menghampiri mereka dengan wajah menegang dan mata berapi-api. Raut wajah Sean yang selalu tampak tampan menghilang begitu saja. Tatapan birunya menggelap, memendam amarah yang mengungkung jiwanya. “Thania, aku mau bicara denganmu. Ikut aku!” Sean menarik tangan Thania kasar. Thania hampir saja terjatuh karena hilang keseimbangan. Belum sempat ia bertanya mengenai perubahan sikap Sean, pria itu menyeretnya menjauh. Diana hanya menatap heran dan memperhatikan punggung kedua sahabatnya sampai tak terlihat. “Sean, ada apa?” tanya Thania cemas. Sean tak memedulikan pertanyaan Thania. Ia terus menarik lengan Thania dengan kasar ke pelataran parkir. Diiringi emosi yang meledak-ledak, Sean mendorong tubuh Thania hingga membentur pintu mobilnya. “Aduh! Sean, kau kenapa, sih?” “Masuk!” bentak Sean. Seketika saraf-saraf Thania menegang dan jantungnya berdebar kencang. Sean tampak sangat marah kepadanya. Thania tak punya pilihan lain selain masuk ke mobil kekasihnya. Thania menunggu dengan waswas di dalam mobil. Sean berjalan melintasi bagian depan mobilnya, lalu duduk di balik kemudi. Kilat amarah masih terpancar dari iris birunya. Ia mengambil sebuah amplop cokelat besar dari laci dasbor dan melemparkan isinya ke pangkuan Thania. Detak jantungnya meningkat dan memompa aliran darah maksimal ke kepala hingga wajahnya terlihat memerah. Ia berbicara dengan rahang mengetat, “Katakan kalau bukan kau yang ada dalam foto-foto itu!” Thania mengerutkan dahi. Dengan gugup, Thania membuka amplop besar itu. Cemas dan waswas menyelimuti jiwanya. Ia menarik lembaran-lembaran foto itu. Thania terperangah. Tubuhnya seperti disengat aliran listrik ribuan volt begitu melihat foto-foto m***m dirinya dengan William. Ia menekan dadanya dan saat itu pula tubuhnya mendadak merasa lemas. Foto-foto itu berisi adegan panas dirinya dengan William yang sedang bercinta. Sial! Thania terlihat seperti gadis-perempuan William yang sedang menikmati cumbuan pria itu. Thania yakin betul pada malam itu yang ia rasakan hanya duka lara.  Tak seperti yang terlihat dalam foto-foto itu. Ditiduri paksa oleh William adalah sebuah kutukan. “Sean,” kata Thania lirih. “Katakan bukan kau!” sergah Sean. Thania meremas ujung kertas foto. Mulutnya seolah terkunci, tak mampu menjawab pertanyaan Sean. Matanya mulai terasa panas dan air bening menggenang di pelupuk matanya. Setelah hening beberapa saat, Thania berkata dengan terbata, “Sean, a … aku ….” “Kenapa, Thania?” potong Sean. “Kenapa kaulakukan ini padaku? jawab!” Air mata akhirnya mengalir ke pipi Thania. Bom waktu itu sudah meledak dan menghancurkan hatinya. Tidak akan pernah ada lagi cerita indah antara ia dan Sean. “Ini tak seperti dugaanmu, Sean.” Suara Thania bergetar. “Aku bisa menjelaskannya.” “Kenapa harus dengannya? Apa karena uang? Aku bisa memberimu semua yang kauinginkan,” ujar Sean parau menahan laju emosinya yang memuncak. “Sean, please!” Thania meraih tangan Sean yang sontak ditepis kekasihnya. “Keluar,” ucap Sean pelan tapi tegas.  “Aku mencintaimu, Sean. Sangat.” Thania tersekat. Aliran oksigen ke paru-parunya seakan terhenti oleh derasnya air mata yang membasahi pipi. Napasnya terasa berat dan sesak. Keputusasaan mencengkeram jiwanya dan menariknya ke lubang ketidakberdayaan. “Get out of my car! Hubungan kita berakhir. Cepat keluar!” teriak Sean dengan pandangan lurus ke depan dari balik kemudinya. Thania tersentak. Tubuhnya gemetar diguncang kekecewaan dan amarah Sean. Otaknya memerintah untuk berkata sejujurnya kepada Sean tentang peristiwa malam itu. Namun, mulutnya telanjur terkunci oleh rasa frustrasi. Thania bergegas keluar dari mobil Sean. Tak memedulikan banyak mata memandangnya. Ia berlari menuju halte. Yang ada di benaknya hanya rasa sakit dan orang yang patut disalahkan dari semua kejadian yang menimpanya akibat ulah kejam pria berengsek itu, William. ===== Alice Gio
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD