BAB 6

946 Words
Sudah beberapa hari sejak kejadian malam terkutuk itu, Thania terlihat muram. Pikirannya masih terus memutar setiap adegan malam itu dengan jelas bagai sebuah film. Meskipun di hadapannya kini ada Sean yang tengah tersenyum manis dan tampak sangat memukau, pandangannya masih tertutup awan hitam. Ia tidak bisa berfokus kepada Sean. “Sayang, kau melamun terus? Apa kau sakit?” Pertanyaan Sean membuat Thania tersentak. “Tidak. Aku tidak apa-apa. I'm totally okay,” balas Thania tak mau membuat Sean khawatir. “Yakin kau tidak apa-apa? Kau pucat sekali.” “Iya, Sayang. Aku tidak apa-apa.” Thania terus meyakinkan Sean bahwa ia baik-baik saja. Namun, ia hampir tak sanggup menatap wajah tampan Sean. Thania merasa telah mengkhianatinya walaupun sebenarnya dia diperkosa pria berengsek itu. “Apa kau akan langsung bekerja setelah pulang? Aku akan mengantarmu.” Sean menggenggam tangan Thania. “Tidak. Hari ini aku libur,” jawab Thania pelan. Pandangannya menatap lurus ke depan, ke luar kaca jendela besar kantin kampus. Bayangan betapa menjijikkan dan kejinya perbuatan William berkecamuk di pikiran. Hatinya kembali tercabik-cabik. Tanpa disadarinya, butiran-butiran air bening menetes dari kedua sudut matanya. “Kau menangis?” tanya Sean hati-hati. “Thania, jika aku ada salah ….” “Kepalaku sakit, Sean,” potong Thania. “Thania, kita harus pergi ke dokter.” “Sean, aku hanya sakit kepala. Setelah minum aspirin, sakitnya pasti akan mereda.” Sean mengusap air mata Thania dengan jemarinya. Ia menatap hangat perempuannya, lalu mengecup punggung tangan Thania. “Baiklah. Aku akan mengantarmu pulang.” “Sean,” ucap Thania lirih. Maafkan aku. “Yes, honey?” Sean mengangkat alisnya, menunggu jawaban Thania. “Terima kasih.” Hati Thania meronta ketika kata itu terlontar. Ia ingin sekali menghambur ke pelukan Sean dan menceritakan kejadian malam terkutuk itu kepada Sean. Namun, sekali lagi logika menahannya. Rasa malu, cemas, dan frustrasi mengunci mulutnya. Ia tidak sanggup menjelaskan apa yang sudah menimpa Thania pada kekasihnya. Sean tersenyum hangat. “I love you.” Chevrolet Camaro biru Sean berhenti di depan rumah sederhana keluarga Thania. Tanpa menunggu, Thania segera turun dari mobil mewah itu dan langsung mengambil langkah seribu menuju pintu. Setelah berhasil membuka kunci, Thania berderap ke kamarnya. Ia membenamkan diri di ranjang. Luapan rasa perih yang mendera ia luapkan di atas bantalnya. Thania menangis tersedu-sedu. Belaian lembut dan hangat menyadarkan Thania  jika ada orang lain yang bersamanya. Ia mengangkat wajahnya, lalu mengubah posisi untuk melihat si pemilik belaian yang tengah duduk di tepi ranjang. “Sean.” “Maaf, aku masuk tanpa permisi. Aku hanya mengkhawatirkanmu,” ucap Sean dengan lembut dan menenangkan. Thania menyapu air matanya dengan punggung tangan. “Tidak apa-apa. Ibu dan Ayah masih di toko. Kak Alex masih di tempat kerjanya. Maaf, aku tadi meninggalkanmu.” Sean tersenyum manis.  “Kita ke dokter saja, ya.” “Aku tidak mau. Aku hanya ingin beristirahat, Sean.” Sean mengembuskan napas. Ia menatap Thania dalam-dalam. Dugaannya bahwa Thania tidak sedang baik-baik saja makin kuat. “Sini.” Sean menarik pelan lengan Thania hingga perempuan itu duduk, lalu merengkuh Thania ke pelukannya. “Aku mencintaimu, Thania. Aku tidak mau terjadi apa-apa padamu.” “Aku tahu, Sean.” Tapi, semuanya sudah terjadi. Sean mengecup puncak kepala Thania penuh kasih. Tangannya membelai mesra pipi Thania. Desiran aneh mulai menyelinap dan merayap ke seluruh tubuh Thania. Desiran yang membuat ia tergerak melupakan kejadian di malam terkutuk itu. Thania melepaskan diri dari pelukan Sean. Ia memandangi pria muda dalam balutan kemeja flanel biru itu selama beberapa detik, mencoba mencari celah agar gairah dan hasratnya menyeruak. Apakah aku bisa melupakan kejadian malam itu jika aku bercinta dengan Sean? Thania mendekatkan tubuhnya, lalu mencium Sean. Rasa bibir Sean yang seperti campuran es krim, kopi, dan hasrat memenuhi dirinya. Sensasi panas mulai mengalir ke tubuhnya. Sean mengikuti gerakan bibir Thania, melumat dan menjelajahi seluruh bagian bibir perempuan itu, memainkan lidahnya. Bibir dan lidah mereka saling mengulum dan menarik. Sean benar-benar pandai dalam hal ini, membius Thania dengan ciumannya. Ciuman manis dan hangat berubah menjadi makin liar. Tangan Sean yang cekatan sibuk membuka kancing kemeja dan melepaskannya dengan pelan dari bahu Thania. Selama beberapa detik, Sean memandangi wajah dan tubuh Thania sampai ia melepaskan bra Thania. Terdorong oleh kebutuhan, Sean beralih menciuman leher Thania dan terus bergerak turun ke bawah hingga di dua gunung kembar perempuan itu. Ia meremas pelan satu per satu dari kedua gunung kembar itu , membuat sang kekasih mendesah panjang. Semuanya terasa indah, nikmat, dan menggairahkan sampai lidah Sean membelai lembut dan memberi gigitan kecil di puncaknya.  Ya Tuhan, kenapa aku ini? Kenapa perasaanku begini?  Thania mendadak merasakan ketakutan yang teramat sangat. Pandangannya memudar dan seketika ia melihat sosok yang sedang mencumbunya adalah pria berengsek itu, William Anderson. “Lepaskan! Aku mohon, lepas! Sudah!” Thania histeris. Sean yang saat itu sedang asyik mencumbu puncak gunung kembar Thania langsung tersentak kaget. Ia sontak menghentikan permainannya kemudian membungkus tubuh Thania yang setengah telanjang dengan selimut. Pria itu memeluk perempuannya yang gemetar ketakutan erat-erat. “Maafkan aku, Love. Aku tidak akan melakukannya lagi. Aku janji.” Permohonan maaf yang tulus keluar dari mulut pria tampan itu Sebetulnya bukan kau, Sean, masalahnya tapi aku. Aku yang ingin melupakan kejadian itu, tapi tidak bisa. Sean duduk bersimpuh di hadapan Thania. Ia menangkup wajah cantik perempuan itu dan kedua ibu jarinya menghapus air mata yang mengalir deras di pipinya. Thania tidak mampu menghilangkan bayangan kejadian malam itu bagai hantu yang terus mengikutinya. Thania tak bisa membendung air matanya. Sementara, Sean tampak merasa sangat bersalah karena sudah mencumbuinya seperti itu. Alasannya bukan kau, Sean. Alasan aku menangis seperti ini adalah karena pria berengsek itu. Pria yang sudah memerkosaku, William Anderson. ===== Alice Gio
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD