Tidak mau mendengar kata-kata para temannya, Sean justru menghabiskan malam di club dengan mabuk berat. Mungkin, setelah ini di antara mereka akan ada yang disusahkan.
"Batu!" cemooh Maxime.
"Aku pesan tiga botol lagi, perutku masih kenyang. Ayo cepat ... aku sedang merindukan kekasihku. Dia seperti dog!" Terdengar racauan melantur Sean memesan minuman, padahal ia sudah habis beberapa botol. Juan pun menahan pelayan yang ingin menghantar pesanan, pasalnya pria itu sudah benar-benar mabuk.
Ya, Sean mabuk setengah sadar seperti itu di temani oleh Cleo karena sedari tadi mereka berdua asik dengan dunia gilanya.
"Biar aku yang membawa Cleo!" ucap Juan.
"Baiklah, Sean denganku. Sungguh aku sebenarnya sangat malas, apalagi kalau yang membuka pintunya itu paman Nathan. Aku takut pulang tidak membawa nyawa!" sahut Jordy.
"Haha, dulu waktu aku mengajak main Sean, aku pernah ditodong pistol. Alhasil aku pulang tanpa menggunakan alas kaki." Maxime tertawa mengingat pengalamannya, maka dari itu ia trauma untuk mengunjungi kediaman Wilson.
Akhirnya satu persatu mereka bubar. Di antara mereka yang paling mabuk tidak dibiarkan membawa mobil sendiri, demi keselamatan.
Hingga kini Jordy tiba di depan gerbang. Sean yang masih setengah sadar menolak dihantar sampai depan rumah. Sebab, ia mampu berjalan walaupun pandangannya terus berbayang.
"Kau yakin?"
"Mau melihat Nathan membawakanmu pisau?" seloroh Sean menautkan alisnya. Pria berambut merah itu pun terkekeh mendengar Sean menyebutkan orang tuanya dengan nama.
"Baiklah ...."
"Thank!" Sean menutup pintu mobil dengan kasar, setelah ia keluar.
Penjaga di gerbang siap siaga memapahnya sampai masuk ke dalam. Nasib baik, tidak ada Nathan di saat kenakalannya itu sebab di jam sekarang mereka sibuk dengan mimpinya masing-masing.
"Huh, pusing!"
Sudah sampai di kamar. Ia membuang dasinya begitu saja, membuka kancing satu persatu dengan tidak sabar, tiba-tiba di balik lampu remang-remang matanya menangkap sesosok manusia yang amat menggoda.
"Briana?"
Sean mengedip-ngedipkan matanya kuat, mengedarkan pandangannya agar terlihat jelas sosok yang sedang ia lihat di atas sofa lebar sana. "Ah bukan, dia si gadis buta!"
Sean tetap menghampiri, menatap tubuh isterinya penuh kabut hasrat. Seketika panas di badannya menjalar. Hara yang merasakan kehadiran seseorang, tiba-tiba terbangun. Memiliki feeling yang kuat sampai kedatangan suaminya begitu terasa.
"Kak Sean ...." Suara lembutnya pasti akan menjadi asupan bagi Sean nanti. Namun, yang dirasakan pria itu saat ini adalah terbakarnya gairah, sampai terbesit untuk melakukan hal yang selalu ia sangkal untuk dilakukan.
"Sial, kenapa rasanya ingin sekali, tapi aku masih mencintai Briana," batin Sean, masih membayangi jika istrinya itu sang kekasih yang ia cintai.
"Kakak sudah pulang?" Tiba-tiba Hara merasakan sesuatu berat menindihnya. Tangannya seperti sedang terbang, tubuhnya merejang, sementara bibirnya kelu karena tertempel benda kenyal seseorang.
"Kak, lepas!"
"Ikuti saja!" Sean terlihat sayu, matanya mengantuk, tetapi birahinya sedang keluar, ia sangat membutuhkan penyaluran. "Jangan pernah menolak karena itu hakku!"
"Kak, bukankah pernikahan ini atas dasar keterpaksaan? Tolong jangan buat sesuatu yang akan Kak Sean sesali nanti!"
Sean menulikan telinga, persetan dengan gairah ia tidak perduli dengan Hara yang meronta. Pria itu sibuk melucuti pakaiannya sendiri, dan merombak baju yang dikenakan oleh Hara juga.
Malam ini Sean menjadi pendengar setia saat pertama kali Hara bersuara lantang menahan rasa sakit yang ia ciptakan. Suara-suara gentar yang membakar kegiatan, merasakan momen pertama dengan kesan istimewa. Namun, sayang, kenikmatan itu hanya dirasakan olehnya, tidak dengan Hara yang tengah mengkhawatirkan dampak setelahnya, sampai hal itu menjadi trauma.
***
Sampai di keesokan hari.
"Jam segini, mereka belum juga bangun?"
"Biarin Pa, pengantin baru ...." balas Metha yang saat itu sedang menyuapi makan cucunya.
"Mereka bukan pengantin normal seperti yang lain. Seharusnya mama paham!"
Percayalah Metha hanya menyelamatkan sang anak dari kecurigaan suaminya karena rasa kecintaan dia terhadap putranya itu. Namun, tak bisa ia pungkiri juga jika sesuatu yang sudah-sudah, terjadi kembali, sementara dirinya tahu bagaimana Sean.
"Surti ...."
Surti seakan paham, dia membalas ucapan majikannya, "Saya sudah menengok ke kamar, tapi pintu masih terkunci, Nyonya."
Sementara di kamar saat ini.
Sean baru saja mengucek matanya, ia baru tersadar jika semalaman tadi tertidur di sofa, setelah saat dirasa tubuhnya terasa sakit. Sedangkan, wanita berselimut yang tengah meringkuk di sampingnya terlihat melamun.
"Apa yang aku lakukan semalam?"
Masih setengah sadar, hingga ia dikejutkan dengan kondisi badan. Seketika Sean memijat pangkal hidung. Memories ingatannya semalam pun seakan flashback di pagi ini.
Sean melihat istrinya sedang ketakutan, tampak kedua bawah matanya menghitam. Apakah dia bergadang semalaman tadi? Sebab ulahnya lagi? Alhasil, Sean lebih memilih beranjak dari tempat, tanpa mau menyadari kesalahannya. Ya, semua sikap pria itu tercipta karena tidak ada rasa cinta di hatinya yang membuat acuh.
Sementara, saat itu Hara ingin bergerak. Namun, sekujur tubuhnya lemas, rasa sakit semalam masih membekas, untuk sekedar bangkit saja ia tak henti meringis. Ingin meminta tolong, tetapi kepada siapa? Ia sendiri sadar jika suaminya sudah beranjak pergi, hanya saja ia pura-pura tidak tahu tadi. Lagi pula meminta bantuan kepada suaminya adalah hal yang mustahil.
"Masih sakit? Biar kubantu!"
Ternyata salah, praduganya tidak benar. Kini dirinya merasa ada tangan seseorang yang sedang membantunya untuk bangkit dari sofa. Hara merasakan jika itu adalah tangan kekar milik suaminya. Sean pun terlihat baru saja menyelesaikan kegiatan membersihkan badannya.
"Gak perlu!" Tentu ditolak karena bagi Hara, dirinya seperti itu sebab ulahnya. "Kak Sean kasar!"
Bermodalkan tongkat, Hara melangkah menuju kamar mandi. Sean pun kesal, bantuannya ditolak mentah-mentah, tetapi sesaat kemudian ia menyadari sesuatu. "Apa aku terlalu kasar semalam?" gumamnya.
***
Saat Sean sedang menjemput kakaknya yang akan landing. Ya, dia adalah ibu dari Mola, gadis kecil yang sangat menyukai sosok Hara. Metha menyempatkan menengok sang menantu karena tadi pagi ia tidak ikut sarapan bersama.
"Hara, kamu baik-baik saja Sayang ...?" Metha menghampiri menantunya, ia melihat Hara tengah berjalan kesusahan.
"Mama, ada apa?"
"Gak Sayang, mama cuma khawatir. Kamu gak ikut sarapan tadi."
Hara tersenyum, lalu ia dituntun untuk duduk bersama. "Aku sedikit gak enak badan."
Metha meraba-raba sekujur tubuh Hara, banyak sekali tanda-tanda kebiruan di leher dan dadanya, tampak seperti memar kemerahan. Tidak bisa ia pungkiri rasa anehnya terhadap sang anak yang mampu berbuat selayaknya suami istri yang saling mencintai, sementara semua orang tahu jika Sean tidak bisa menerima pernikahannya. "Anak mama kasar ya?"
Raut wajah Hara berubah, tidak secerah tadi, pandangannya tetap lurus. Merasa tidak bisa menjawab, akhirnya Metha memeluknya.
"Kamu bisa berbohong dengan orang tuamu, atau suamiku sekalipun. Tapi, jangan samakan dengan aku. Karena, aku tahu bagaimana karakter putraku. Ayo katakan Sayang, apa saja yang Sean lakukan selain mengikatmu dan kekasarannya tadi malam?"
"Semua itu ada alasannya, Mama!"