"Ayah jatuh cinta, Bun. Ayah nggak bisa menahan perasaan ini, Ayah selalu inget gimana berjasanya Bunda buat Ayah, tapi bagaimana lagi, apa Bunda pengen Ayah terjerumus ke dalam dosa maksiat? Bukankah lebih Ayah menikahi Putri daripada berselingkuh?"
Ya begini nih orang kalau nggak waras, salah bukannya Intropeksi malah mencari pembenaran. Sungguh mendengar Ayahku, yang usianya bahkan sudah lebih dikepala 5 membicarakan soal cinta sangat menggelikan, membuat mual dan bergidik karena jijik.
Susah kalau ngomong lawannya orang b**o kayak Ayahku ini, entah kemana kepintarannya yang mengantarkannya ke posisi ini, mungkin semua kepintaran, wibawa, dan harga dirinya sudah lenyap digerogoti si pelakor.
"Nggak ada yang baik dalam hal ini yang kamu lakukan, Mas. Kamu berbohong, kamu mengkhianatiku, kamu bahkan menjanjikan akan menceraikanku karena alasan tua kepada selingkuhanmu. Katakan, jika aku yang berselingkuh, lantas selingkuhanku datang ke depan wajahmu apa kamu akan menerima alasanku yang jatuh cinta lagi lantas memakluminya."
Berhadapan dengan manusia seperti Ayah memang harus menggunakan jurus cermin, lemparkan balik saja apa yang dia katakan, maka dia akan kelimpungan sendiri. "Ya nggak gitu dong Bun konsepnya!" Protes Ayah tidak terima, dan tidak tahu diri.
"Lalu gimana konsepnya?" Tantang Bunda tidak sabar, "Konsepnya kamu bebas mau berbuat sesuka hati, menang sendiri gitu, Mas? Ya Allah, bahkan disaat sudah jelas-jelas kamu bersalah kamu masih mengelak mencari pembenaran? Astaga, setelah banyaknya yang aku korbankan untukmu, setelah semua kekuranganmu yang aku terima, aku masih diminta untuk memaklumi sikap maruqmu ini yang jatuh cinta dan menikah lagi? Aku harus paham dengan kebutuhanmu yang puber kedua ini? Masih bagus loh Mas selingkuhanmu ini nggak aku seret keluar!"
Aku kira Bunda tidak akan bisa marah, tapi Bunda kini mulai kehilangan kesabarannya. Tidak ada lagi senyuman keanggunan diwajah beliau, ketenangan yang beliau tampilkan kini membuat bulu kudukku meremang. Bunda yang marah adalah hal terakhir yang ingin aku tentu.
"Sekarang begini saja Mas Agung, karena aku merasa tidak ada gunanya lagi berbicara denganmu yang sudah tidak sejalan lagi, mumpung aku sudah tahu semua yang kamu sembunyikan, lebih baik katakan saja kapan kamu akan menggugat cerai biar aku bisa meminta pada Sumini untuk membereskan barang-barang dan pakaianmu." Ahahahaha, pengen ngakak rasanya melihat Ayah yang tidak bisa berkata-kata saking syoknya saat Bunda justru menantang Ayah untuk bercerai sekalian, rasa sakit karena hajaran Ayah beberapa saat lalu seolah terbayar, "Nah, silahkan gugat, Mas Agung. Penuhi janjimu pada Mbak Putri yang sudah memberikanmu anak laki-laki yang tidak bisa aku berikan ini untuk memberikannya status istri sah. Aku nggak apa-apa kok Mas kehilangan kamu, aku nggak rugi apapun, tidak ada gunanya untukku mempertahankan pria yang sudah tidak berguna untukku."
Bunda mengangkat bahunya dengan acuh, saat Bunda berdiri aku tahu disaat itu obrolan telah selesai, aku menatap ke arah Ayah yang tergugu tidak percaya sementara selingkuhan Ayah yang kebingungan melihat wajah Ayah yang ngeri sendiri. Bisa aku bayangkan bagaimana sombongnya Ayah saat merayu si s****l ini dan sekarang mati kutu karena ketahuan Ayah tidak memiliki apapun selain gajinya yang tidak seberapa.
"Letakkan kunci mobil, motor, juga STNK-nya sebelum pergi, itu milikku. Silahkan keluar dari rumahku selama proses perceraian yang akan kamu ajukan. Terserah kamu mau tinggal dimana."
"Bun..........." Tidak ada basa-basi apapun lagi, Bunda mengusir Ayah, menantang Ayah untuk menceraikannya seperti yang Ayah janjikan kepada selingkuhannya. Tapi Ayah masih berusaha untuk mengejar Bunda.
"Atau kamu mau aku yang menggugat, aku nggak keberatan loh Mas ngasih bukti pernikahan sirimu dengan Mbak Putri yang barusan di tunjukin, nggak cuma surat sama foto doang yang bisa memperkuat argumenku, anak laki-laki kalian yang sangat Mbak putri banggakan pasti juga akan mempermudah segala......."
"Aku tidak akan menceraikanmu, Har! Berhentilah membicarakan omong kosong itu!" Suara Ayah menggelegar diseluruh ruangan, sosoknya yang tinggi menghentikan Bunda yang hendak pergi, tentu saja mendengar apa yang dikatakan oleh Ayah membuat si Jalang dan anaknya tersebut ikut campur, tapi dengan cepat aku menghentikannya. Aku ingin Ayah dan Bunda menyelesaikan masalahnya.
"Kalau begitu putuskan hubunganmu dengan wanita itu. Pilih salah satu, jangan serakah!" Tegas Bunda tidak mau kalah.
"Aku juga tidak bisa melepaskan Putri, Har. Bagaimana dengan Dio, terserah kamu mau membenciku dan Putri, silahkan maki dia, tapi aku tidak bisa membiarkan putraku tumbuh tanpa seorang Ayah. Iya aku sadar aku ini nggak punya apa-apa tanpa kamu, tapi aku mohon, aku mohon untuk terakhir kalinya Harti, aku mohon kebesaran hatimu untuk putraku. Aku mohon, semua ini kesalahanku. Maafkan aku, maafkan sikap Putri yang tidak sopan mendatangimu, dia melakukannya karena dia kebingungan kontrakan yang aku sewakan untuknya habis masa sewa. Percaya padaku Har, Putri tidak sejahat itu "
Dititik ini sebagai seorang anak aku merasa luar biasa sedih, aku ingin marah, memaki mereka berdua yang tanpa segan menyakiti Bunda tapi Bunda menggeleng keras, melarangku untuk melakukan apapun.
Ingin rasanya aku meraung, bahkan membunuh Ayahku yang hingga akhir masih membela selingkuhannya, ingin rasanya aku berteriak kepada Ayah bagaimana s****l itu menghina Bunda, sungguh jika pun mungkin aku tidak akan menyesali hal itu tapi Bunda tidak akan pernah mengizinkanmu menjadi seorang pembunuh.
"Jadi, maksudmu aku harus menerima pernikahan sirimu, menerima wanita simpananmu juga di rumah ini demi belas kasihan terhadap anak laki-lakimu? Begitu maksudmu, Mas?"