Tidak ingin ada hal buruk terjadi pada Bunda. Aku mengunci kamarnya dari luar, Bunda terlalu bijaksana untuk dua orang sialan yang aku tebak kini ada di kamar tamu. Mengusap wajahku yang terasa sakit, aku berganti menelepon sepupuku anak dari Om Hardi yang untungnya juga berkuliah di Solo sini, aku menghubunginya, tidak peduli dia ngang-ngong karena masih ngantuk, aku membentaknya dengan keras agar segera datang ke rumah.
Usai memastikan jika Wisnu, sepupuku mengerti apa yang aku katakan, aku mengecek ponselku, untunglah keparnoan Bunda membuat beliau memutuskan untuk memasang semua CCTV diseluruh penjuru rumah kecuali dua kamar utama, dan yah kamar tamu juga ada CCTV meski akan dimatikan jika ada tamu, tapi sekarang kamera itu berfungsi dan saat aku membukanya benar saja sesuai dugaanku, aku menemukan Ayahku bersama dengan selingkuhannya.
Mereka berpelukan, tampak Ayah mengusap punggung s****l itu berulangkali sementara anak laki-laki yang dibanggakan si s****l berulangkali diletakkan diatas kasur. Rasanya sangat menyesakkan, tapi aku memilih untuk menguatkan diriku sendiri.
Please, kuat Riri. Ada Bunda yang butuh kamu. Hati beliau terlalu terhormat untuk berhadapan dengan manusia tidak tahu diri seperti mereka. Ayahku dan selingkuhannya terlalu sibuk untuk berupaya tinggal disini sampai mereka lupa untuk menyimpan kembali surat keterangan nikah siri dan juga foto dokumentasi mereka.
Aku sangat yakin mereka akan berlama-lama dikamar, dan aku menggunakannya untuk mengambil semua barang yang berserakan di meja tamu, aku menyimpannya ditempat yang tidak akan pernah ditemukan Ayah. Akan aku pastikan semua hal yang mereka gunakan untuk menyakiti Bunda hari ini akan berbalik mencabik-cabik Ayah hingga hancur.
Menghela nafas panjang, aku menyiapkan diriku sendiri untuk menghadapi Ayahku, wajahku sakit, badanku remuk karena hajaran Ayah, dan kini aku harus menghadapi mereka lagi. Tidak apa jika Ayah nanti menghajarmu, Ri. CCTV rumah ini akan menjadi bukti bagaimana Ayahmu berubah menjadi binatang buas karena selingkuhannya.
Tanpa basa-basi aku mendorong kamar tamu hingga terbuka, dan disana mengabaikan Ayah yang terkejut usai entah melakukan apa, aku tidak tahu dan tidak mau tahu karena itu hanya akan membuatku mual, tapi sungguh memikirkan hal tidak senonoh yang dilakukan Ayah dirumah Bunda dimana Bunda sekarang hancur karena ulahnya benar-benar menyakitkan.
Ada ya orang setidak tahu diri itu. Tanpa memedulikan, aku merangsek masuk ke kedalam kamar tamu ini. Enak saja si s****l ini mau tinggal di rumah Ibuku, ditempat tamu yang nyaman. Ingat, dia bukan tamu, dia adalah penjahat.
"Apa-apaan kamu ini, Ri! Nggak sopan kamu."
Aku mendengar Ayah berteriak, teriakan beliau sangat keras bahkan sampai membuat anak laki-lakinya menangis keras, aku menyukai anak-anak tapi anak si s****l adalah pengecualian. Persetan aku dikatakan jahat, tapi aku sama sekali tidak peduli.
"Udah dibilang, orang nggak tahu diri dilarang ngomongin soal sopan santun." Jawabku dengan acuh, mengabaikan dua penjahat itu mataku menatap berkeliling ke ruangan ini, keduanya tampak kebingungan atas apa yang aku lakukan dan saat pandanganku sudah menemukan tujuannya, aku langsung bergerak cepat untuk meraih koper dan juga diaper bag besar yang ada di depan lemari. Tanpa basa-basi lagi, aku langsung bergerak untuk meraihnya dan menggeretnya keluar, tentu saja dua orang sinting itu terkejut dengan apa yang aku lakukan, mungkin mereka pikir aku akan menghajar mereka, tapi nyatanya aku sudah enggan berurusan dengan mereka lagi.
"Ri, mau dibawa kemana koper Tante Putri......"
Ciiiih, Tante Ayah bilang. Najis. Ayah mungkin lari mengejarku, tapi aku jauh lebih cepat dari beliau, kekuatan orang tersakiti, aku merasa memiliki lebih banyak kekuatan, tanpa peduli dengan Ayah aku menggeret dan membawa semua barang-barang s****l dan anaknya keluar rumah, di rumah aku pun sudah berkompromi dengan Mbak Sumini untuk mengunci kamar tamu, ruang kerja Ayah pokoknya semua ruangan dan menyembunyikannya, tidak akan aku izinkan s****l Ayah hidup nyaman di rumah Bunda. Tidak lupa juga aku berpesan kepada Mbak Sumini untuk masuk ke kamar utama bersembunyi bersama Bunda.
"Riri, berhenti sebelum Ayah marah, Ri."
Seperti orang t***l kedua orang tersebut mengejarku yang membawa koper si s****l itu, tentu saja tetangga melihat kebodohan tingkah mereka, tapi aku tidak sempat untuk memikirkan semua hal itu, aku terus berlari sampai akhirnya saat aku sampai disaluran irigasi tidak jauh dari rumah aku memutuskan untuk berhenti. Nafasku terengah-engah namun tidak seburuk dua orang sinting yang ada di hadapanku. Mereka bahkan nyaris muntah saat akhirnya berhenti, tangis bayi yang ada di gendongan si s****l itu memekakkan telinga, dan itu menambah kebencianku pada mereka.
"Durhaka kamu, Ri!" Saat Ayahku menemukan nafasnya kembali, dia mengutukku, tapi aku tidak percaya Tuhan akan mendengarkan kutukan seorang pendosa sepertinya.
"Durhaka worth it kalau buat lawan orangtua nggak tahu diri macam dirimu, Yah."
Ayah menggeram, mungkin dia akan memukulku kembali jika saja dia tidak ingat kami tengah berada ditempat umum.
"Kembalikan barang-barang Tante Putri, Ri. Disitu ada perlengkapan Dio." Ayah mencoba merendahkan suaranya, dia tahu aku sama keras kepalanya seperti beliau, dan kini dia berusaha membujukku, tapi siapa peduli?
"Mau?" tantangku sambil mendorong koper itu ke hadapan mereka, tapi saat Ayah bergerak ke arahku, aku langsung menendang koper dan diaper bag itu ke saluran irigasi. "Ambil sendiri." Semuanya terjadi begitu cepat, tapi seperti sebuah slow motion aku melihat Ayah merangsek tidak percaya dengan kegilaanku dan si s****l itu memekik histeris.
"Riri........"
Hahaha, rasanya puas sekali aku melihat mereka berdua kelimpungan, kembali aku mendapati Ayah hendak menghajarku, tapi aku sudah mengantisipasinya. Nomor Danyon tempat Ayah berdinas tertera di layar, satu keuntungan aku menyimpan nomor beliau yang tidak lain adalah Om dari teman Coass-ku.
"Berani Ayah nyentuh aku atau Bunda lagi, Riri akan laporin Ayah ke Danyon Hilman. Awas saja!"