Dua belas hari setelah kematian Karen.
Stella berkali-kali mengembuskan napasnya dengan berat sejak bel istirahat berbunyi. Beberapa kali juga cewek berwajah bule itu memasang dan melepaskan headset pada telinganya seperti orang linglung. Dan sikap anehnya tersebut disadari oleh Samuel yang sedari tadi duduk di hadapannya.
Samuel mengajak Stella untuk pergi ke kantin begitu bel istirahat berbunyi dan Stella setuju untuk ikut. Namun yang membuatnya kesal sekarang adalah Samuel sudah selesai menghabiskan batagor pesanannya sementara Stella sama sekali tidak menyentuh es tehnya. Cewek itu berdalih sedang menjalani diet ketat untuk pertunjukkannya di pentas seni nanti, tapi melihat sikap anehnya, Samuel justru merasa Stella sedang ada masalah lain.
Samuel pun mendorong piring bekas batagornya yang sudah kosong menjauh. Mengambil es teh miliknya dan menyedotkan sampai habis setengah sebelum ia mengetuk meja hingga Stella menoleh kepadanya.
"Ya, kenapa, Sam?" tanya Stella tanpa dosa. Ia sepertinya tidak merasa bahwa gerak geriknya yang aneh telah mengusik Samuel. "Udah selesai makannya? Mau langsung balik ke kelas sekarang?"
Samuel menatap cewek yang menggerai rambutnya ke belakang itu penuh selidik. "Lo kenapa? Ada masalah?"
Stella langsung menggeleng. Namun tatapan tak puas yang tersirat dari mata Samuel membuat Stella harus berpikir keras setelahnya. Netra hitam milik Stella pun menyapu sekitar dan menyadari bahwa cewek itu sama sekali belum menyentuh minumannya. Stella berpikir Samuel mungkin sebal kepadanya karena Stella melakukan diet berlebihan sehingga cewek itu refleks terkikik geli, yang tanpa sadar justru membuat Samuel curiga dan merasa aneh kepadanya. "Gue lagi diet ketat, Samuel. I told you, right?"
Samuel melipat kedua tangannya di d**a dan mengerutkan dahinya dalam-dalam. "I think something's just happened with you." Membuat wajah Stella menegang seketika. Ia mengusap kedua telapak tangannya di bawah meja, pertanda sedang gugup. "Lo sebenarnya kemarin ngapain sih ke rumah Juna?"
Deg.
Samuel akhirnya menyebut nama Juna. Nama yang membuatnya mendadak panas dingin bahkan tanpa perlu melihat sosoknya langsung. Nama yang lebih menyeramkan daripada melihat penampakan atau wajah mantan. Nama yang membuat Stella...
"Stell?" Samuel menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Stella hingga cewek itu terkesiap dan tersadar dari lamunannya sendiri. "Kok malah bengong, sih?"
Stella tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Samuel jika dia tahu bahwa Juna baru saja mengungkapkan perasaannya kemarin. Jantung Stella terasa akan copot ketika sahabatnya yang dikenal berandalan itu menatapnya dengan dalam dan lembut lalu berbicara dengan jarak yang nyaris benar-benar sempit. Mereka hampir saja ...,
Stella tersenyum hambar dan menepis ingatannya tentang apa yang terjadi kemarin. "Nggak ngapa- ngapain," dalihnya. "Mau ke kelas sekarang?"
Cowok dengan rambut hitam kecokelatan yang sedikit berponi itu menatap intens ke arah Stella untuk beberapa saat sampai akhirnya Samuel mengangguk setuju. "Oke, deh."
Ketika Samuel dan Stella baru saja bangkit dari kursi mereka, tiba-tiba saja seseorang mendorong tubuh Clara hingga Clara yang sedang membawa sepiring nasi goreng menabrak Stella dari belakang dan membuat cewek itu jatuh ke lantai dengan nasi yang sudah berantakan dan pecahan piring di sisi mereka.
"Stella!" pekik Samuel kaget.
Stella berbalik dan menemukan Clara sedang berdiri di samping Ganisa. Dan seseorang yang mendorong Clara pastilah Ganisa, karena tidak ada tersangka lain yang lebih meyakinkan dibandingkan wanita berhati iblis itu sendiri. Stella melihat Clara dan sahabatnya itu tampak menunduk merasa bersalah, sementara Ganisa menyeringai penuh kemenangan karena berhasil membalas perlakuan Stella padanya kemarin.
"Clara, kalau jalan itu hati – hati , dong," kata Ganisa berpura-pura baik. Ia lalu merangkul Clara dan menariknya mendekat. "Kasian kan cewek barbar ini jadi jatuh ke lantai. Eh, tapi kalau diliat-liat lagi, cewek barbar ini memang cocok sih duduk di sana. Mungkin ini semua terjadi karena karma buruknya sendiri. Iya, 'kan, La?"
Clara menggigit bibir bawahnya takut. Matanya memerah seolah air mata akan jatuh lagi dari matanya yang sudah sayu. Seolah ia belum tidur selama berhari-hari.
Samuel kemudian menghampiri Stella dan membantunya berdiri. Ia memegang kedua lengan Stella dan membiarkan cewek itu berpegangan dengannya. Cowok yang tubuhnya sedikit lebih tinggi dari Stella itu sadar bahwa lutut sahabatnya bergetar hebat karena terjatuh tadi, mungkin sedikit terkilir karena Stella jelas sedang menahan sakit.
"Lo ada masalah apasih sama Stella?" tanya Samuel begitu ia sampai di hadapan Ganisa. Kemudian wajahnya yang serius beralih pada Clara. "Dan lo, gue nggak ngerti apa alasan lo berteman sama musuh kalian dulu dan lo diam aja ngeliat Stella kaya gini. Kalau lo memang ada masalah sama Stella, harusnya lo bicara dan selesaikan masalah kalian berdua. Lari dari masalah cuma menunjukkan bahwa lo itu nggak dewasa, La. Gue kecewa sama lo."
Samuel menopang tubuh Stella hingga mereka berhasil meninggalkan kantin.
Namun dari kejauhan, Juna yang duduk sendirian di pojok kantin tampak menggertakan giginya dengan kesal dan ia mengepal kedua tangannya di atas meja sampai Ganisa dan Clara juga ikut meninggalkan kantin.
***
"Gimana rasanya?"
"Ya, sakit. Menurut lo gimana?"
Samuel membawa Stella ke ruang kesehatan agar cowok itu dapat membantu sahabatnya membersihkan beberapa pecahan beling kecil yang menancap pada lututnya dengan alkohol. Samuel mencabut dua pecahan beling kecil sementara Stella mengompreskan alkohol dan obat merah begitu Samuel selesai.
"Sori tadi nggak sempat nahan lo," kata Samuel menyesal. "Gue sempat liat Clara di belakang lo, tapi nggak liat Ganisa. Gue nggak tahu kalau Clara bakal di dorong sama Ganisa sampai kena ke lo. Sori banget."
Stella terkekeh geli. "Sejak kapan lo bisa minta maaf sama gue? Kayaknya udah tujuh purnama deh lo nggak pernah minta maaf sama gue."
Membuat Samuel mendesis kesal. Ia pun beranjak dari kasur yang diduduki oleh Stella dan menoyor kepala sahabatnya itu. "Sembarangan aja lo kalau ngomong. Gue ini gini-gini cowok yang baik dan bertanggung jawab," katanya penuh percaya diri. "Pokoknya kalau istilah gaulnya disebut dengan pacar-able."
"Haha geli gue dengarnya," balas Stella meremehkan. "Anyway, lo udah dapat kemajuan belum dari kasusnya Karen?"
Samuel memasukkan kedua tangannya ke dalam celana dan mengedikkan bahunya dengan cepat. Ia juga menggeleng pasrah ketika Stella menatapnya penasaran. "Gue udah coba telfon nomor Karen pakai beberapa nomor, tapi hasilnya nihil. Nomornya nggak aktif dan nggak bisa dihubungi," terangnya kecewa.
Cewek yang memiliki rambut sepanjang punggung itupun menyilang kedua tangannya di d**a dan menautkan kedua alisnya heran. "Aneh banget, ya. Tapi yang bikin gue benar-benar penasaran banget itu, alasan orang yang pakai ponsel Karen buat ngirim chat kaya gitu di grup. I mean, kenapa harus di grup? Kalau dia adalah orang yang tahu siapa pelaku pembunuhan Karen yang sebenarnya, bukannya dia bisa kirim terror ke orangnya langsung dan nggak bikin kita semua ketakutan, "kan?"
Samuel menggumam panjang sebelum akhirnya berceletuk. "Gimana kalau orang yang kirim pesan itu justru lagi cari pelaku yang sebenarnya."
"Maksud lo, pembunuhnya benar-benar salah satu di antara kita, Samuel?"