BAB 7

1508 Words
Aru masuk ke dalam mobil, lalu meninggalkan area sekolah melanjutkan perjalanannya. "Tau enggak, semenjak Rama masuk SMA  nakal nya mulai kelihatan. Dalam sebulan ini sudah tiga kali orang tua aku di panggil ke sekolah," "Serius !," "Serius, minggu pertama dipanggil karena ikut tawuran, minggu kedua berantem  dan terakhir ini ketahuan merokok di sekolah. Mama dan ayah di rumah udah angkat tangan lihat kelakukan Rama. Kedua orang tua aku sampai malu setiap minggu di panggil guru BK. Mulai hari ini bocah bandel itu mulai tinggal sama aku,," ucap Aru mulai bercerita tentang kenakalan Rama. Ajeng kembali tertawa ia melirik Aru, "Tapi walaupun gitu, adek kamu itu lucu. Pengen ketawa aja lihat tingkah dia. Nakalnya masih tahap wajar sih, enggak aneh-aneh. Masa remajanya kelihatan berwarna dan seru. Suatu saat dia bakalan kangen  masa-masa itu," ucap Ajeng, ia menyandarkan punggung di kursi. "Namanya juga remaja masa transisi, semua pengen di coba sama dia," ucap Aru lagi, ia melirik jam melingkar ditangannya menunjukkan pukul 07.00. "Kamu masuk karja jam berapa?" Tanya Aru. "Jam setengah sembilan," ucap Ajeng. "Masih terlalu awal ngantar kamu ke kantor, bagaimana kalau kita ngopi dulu," ucap Aru memberi saran, ia melirik Ajeng. "Iya deh,"  ucap Ajeng dan lalu tersenyum memandang wajah tampan Aru. Aru menghentikan mobil di salah satu cafe coffee. Ajeng mengikuti langkah Aru masuk ke dalam. Mereka memilih duduk di dekat estalase kaca. Aru mamandang wajah cantik Ajeng, yang tengah memperhatikannya. "Ini hari Rabu, sore nanti kamu nge-gym?" Tanya Aru, "Iya, seperti biasa pulang dari kantor aku langsung nge gym," ucap Ajeng, ia memandang waitress membawa pesanannya. Ajeng tidak lupa mengucapkan terima kasih. "Nanti aku tunggu, kita nge gym sama-sama," ucap Aru, mengedipkan mata ke arah Ajeng. Ajeng lalu tersenyum melihat Aru kini mulai menggodanya, lihatlah kedipan itu begitu tampan.  "Jadi bagaimana touring ke Semarang?" Ucap Ajeng. "Tentu saja sesuai kesepakatan, kita akan pergi sabtu pagi. Nangti ngumpulnya di bengkel Jo," Aru meraih cangkir disesapnya kopi itu secara perlahan dan meletakkanya kembali di meja. "Apa pacar kamu enggak marah, kamu membawa aku pergi jauh hingga ke Semarang?," "Ya walaupun aku tahu kita perginya tidak berdua. Tapi jika sudah seperti itu, naik motor berboncengan. Kontak fisik itu pasti terjadi, teman-teman kamu pasti mempunyai pandangan yang berbeda terhadap aku," ucap Ajeng, itu lah yang ada di pikirannya sejak semalam. "Terlebih kamu bukan laki-laki lajang, tidak seharusnya kamu seperti ini," Ajeng memandang iris mata tajam itu dengan berani. "Jagalah komitmen kamu, aku hanya tidak ingin jadi orang ke tiga dalam hubungan kamu. Seperti Daniar ataupun wanita lainnya," "Aku tahu, ujung-ujungnya akan mengarah ke sana," Aru membalas pandangan Ajeng, sepertinya pembahasan ini cukup serius. Wanita cantik itu meminta kejelasan, tentu saja ia tidak ingin mengakhirnya begitu saja. "Aku tahu maksud kamu," ucap Aru menggantungkan kalimatnya. Ia melipat tangannya di d**a, "Begini, aku mendekati kamu bukan langsung menjadi pacar. Terlebih kita baru mengenal," Ucapan Aru seolah menusuk ke dalam hatinya. Mungkin ia terlalu percaya diri berkata seperti itu. Sementara Aru memandangnya dengan pandangan berbeda. Ia menelan ludah mengusap tengkuknya yang tidak gatal. "Salahkah aku mengajak seorang wanita, yang memiliki kecintaan yang sama," "Kamu suka motor, nge gym dan kebebasan, sama seperti aku," "Saat ini kita hanya teman, tapi tidak menutup kemungkinan suatu saat rasa  akan berubah menjadi cinta. Kamu dan aku tidak bisa mengelak, karena itu urusan hati," "Lagian, hubungan aku dan dia  hanya pacaran. Aku bukan laki-laki beristri. Apa yang kamu takutkan?. Semua  bisa berubah sewaktu-waktu, toh pacaran bukan suatu hal yang sakral," "Aku punya pandangan tersendiri terhadap dia, setiap hari dia diatas udara dalam penerbangan dengan jarak jauh, melayani para milyader. Uang  tidak ada artinya lagi, godaan itu pasti ada. Logika saja seperti itu, aku tahu dia tidak sepolos itu," "Hotel berbintang, pesta, club, alkohol, dan uang," "Kamu bisa lihat sendiri waktunya lebih banyak di udara dari pada di darat," "Aku menyadari itu sejak lama, tapi aku membiarkan saja sampai di mana itu terjadi," "Lagi pula aku dan dia  jarang sekali bertemu, dua minggu sekali. Itu juga hanya beberapa jam saja," Aru menyunggingkan senyum, memandang Ajeng yang hanya diam, "Aku tidak mungkin menjalani hubungan dua orang sekaligus dalam waktu bersamaan," "Kecuali aku benar-benar sudah mengakhirinya," "Kekhawatiranmu, terlalu berlebihan," "Jangan berpikir terlalu jauh. Lebih baik kita mengenal satu sama lain terlebih dahulu," "Aku berkata seperti ini, bukan berarti aku tidak tertarik denganmu," ucap Aru tenang memandang Ajeng, yang tengah memandangnya. "Aku lebih menyukai wanita yang mengajakku berkembang, ruang gerak yang lebih, dan saling melengkapi satu sama lain," "Siapa tahu kamu tulang rusukku yang hilang," Kata-kata itu membuat jantungnya berdegup kencang terlebih tatapan tajam yang begitu menusuk ke hati.  Oh tidak, kenapa Aru bisa mengatakan itu kepadanya. Seketika suara ponsel berbunyi, Aru mengalihkan pandangannya ke arah tas milik Ajeng. Ponsel wanita itulah yang berbunyi. Ajeng bersyukur suara ponsel itu berbunyi. Karena dengan ponsel ini, jantungnya kembali normal. Ajeng merogoh ponsel di dalam tas. Ajeng menatap layar persegi, "Papi Calling," Ajeng melirik Aru, "Dari papi," ucap Ajeng, memperlihatkan layar persegi itu kepada Aru. "Aku angkat sebentar," Ajeng lalu menggeser tombol hijau pada layar. Aru mengangguk dan mempersilahkan, padahal ia ingin tahu tanggapan Ajeng atas ucapannya. Tapi si penelpon itulah yang mengganggunya. Ajeng meletakkan ponsel di telinga kiri, "Iya pi," ucap Ajeng. "Kamu ada di mana?" Tanya papi dari balik speaker. "Kenapa pi?" Tanya Ajeng. "Papi ada di Bandara, kamu bisa jemput papi sekarang?" "Di Bandara?" "Iya, soalnya ada teman papi sakit, Makanya papi langsung ke Jakarta mau jenguk," "Teman papi yang mana?" "Om Hery, kamu ingat kan, yang dulu sering ke rumah," "Owh om Hery," "Kamu jemput papi sekarang ya," "Iya pi, ini langsung ke sana," ucap Ajeng lalu mematikan sambungan telfonnya, meletakkan ponsel itu di dalam tas nya kembali. Ajeng memandang Aru, laki-laki itu pasti mendengar percakapannya, "Papiku datang, sekarang ada di Bandara," "Yaudah, kita langsung ke Bandara," ucap Aru lalu berdiri, sekali lagi meneguk coffe yang sisa setengah itu. Mereka kembali masuk ke dalam mobil, meninggakkan area cafe. Aru melanjutkan perjalanannya menuju bandara, "Bagaimana dengan kerjaan kamu?" Ucap Aru, "Masih sempatlah jemput papi dulu, kalau telat aku hubungi Titin," "Owh gitu," Aru kembali memfokuskan pandangannya lurus ke depan, sesekali melirik Ajeng. Wanita itu membalas tatapannya dan lalu tersenyum. Senyum itu begitu manis, lama-lama liatin Ajeng dirinya akan terkena diabetes. "Kenapa sih dari tadi suka banget liatin aku," ucap Ajeng menahan tawa, ah laki-laki itu membuatnya salah tingkah. "Emangnya enggak boleh?" "Ya jangan liat terus, nanti kamu nabrak loh," Aru lalu tertawa, kembali memandang lurus ke depan, "Tenang aja, aku selalu save drive, kecuali kamu nabrak aku dari belakang kemarin," "Ih apaan sih," ucap Ajeng. *********** Satu jam kemudian mereka telah tiba di Bandara International  Soekerno Hatta. Ajeng mencari keberadaan sang ayah,  beberapa menit kemudian ia mendapati apa yang ia cari. Memandang laki-laki separuh baya, yang duduk di salah satu kursi tunggu, menggunakan jaket bomber hitam. "Papi ...!" Ucap Ajeng mengeraskan suara, laki-laki separuh baya itu menyadari kehadirannya. Beliau tersenyum memandang wajah cantik Ajeng. Putrinya itu berlari mendekat, dua tidak sendiri, melainkan bersama seorang laki-laki bertubuh atletis. Ia tidak pernah bertemu dengan laki-laki itu sebelumnya. Ajeng lalu memeluk tubuh sang ayah, "Papi tumben bener enggak ngasi tahu Ajeng dulu kalau mau datang," Ajeng melepas pelukannya. "Namanya juga pergi mendadak, nanti sore papi juga udah pulang," ucap ayah Ajeng. "Kok cepat bener udah balik lagi, emang enggak kangen sama Ajeng," "Ya, seharusnya kamu yang jenguk papi, ke Bali. Udahlah jangan kerja lagi, buang buang waktu saja kamu di sini. Di Bali banyak kerjaan untuk kamu,"ucap papi merangkul putrinya. "Ih papi," sungut Ajeng, "Pacar kamu?" Tanya ayah Ajeng, sambil melirik Aru. "Bukan pi, cuma teman kok. Oiya, Aru ini papi aku," ucap Ajeng memperkenalkan Aru dan ayah. Aru tersenyum dan mengulurkan tangannya ke arah ayah Ajeng, "Saya Aru om," ucap Aru. "Senang berkenalan denganmu, anak muda," Ayah Ajeng membalas uluran tangan Aru. "Om Hery sakit apa pi?" "Katanya sih stroke ringan," ayah Ajeng melangkahkan kakinya menuju parkiran. "Owh gitu, jadi papi langsung ke rumah sakit?" "Iya langsung aja," "Emang papi enggak capek? Setidaknya istirahat dulu lah," ucap Ajeng. "Ya enggak lah, lagian di pesawat cuma duduk duduk aja," Aru membuka hendel pintu mobil untuk ayah Ajeng, beliau duduk di depan bersamanya, dan Ajeng di kursi tengah. Beberapa menit kemudian mobil meninggalkan area bandara. "Kamu enggak ke kantor?" Tanya ayah kepada Ajeng, memandang dari kaca dasbor. "Enggak pengen masuk kerja, kalau udah ada papi," ucap Ajeng sambil terkekeh. "Masuk aja dulu absen, minta ijin sama manager kamu. Nanti setelah dari rumah sakit kita jemput," ucap Aru memberi usul. "Iya sih," gumam Ajeng membenarkan, masalahnya kemarin ia sudah ijin telat sekarang lagi minta ijin. Tinggal tunggu di pecat aja nantinya. "Nanti biar aku aja yang nemani om ke rumah sakit," Ayah Ajeng memandang Aru dan lalu tersenyum simpul. Ia memperhatikan penampilan Aru. Laki-laki itu sama sekali bukan laki-laki pekerja kantoran seperti Tatang. "Kamu enggak kerja?" Tanya ayah Ajeng, mencoba menyelidiki. "Saya sih bebas om, enggak suka dengan kerjaan yang terikat seperti kantoran," "Dia yang punya tempat fitness pi, makanya keliatan pengangguran gitu," sahut Ajeng. Alis ayah Ajeng terangkat, ternyata laki-laki di sebelah ini sama seperti dirinya. "Yang bagus pemikiran kayak kamu ini. Walau sekecil apapun usaha kamu, tetap saja kamu pemiliknya. Jangan maulah diatur-atur orang, kalau bisa kita yang ngatur," "Betul banget om," "Cielah, nyinggung nih," sahut Ajeng. Ayah Ajeng lalu tertawa, "Om selalu suka dengan pemikiran anak muda seperti kamu ini," "Ah om bisa aja," "Kamu enggak sibuk hari ini?" "Enggak om," "Om pengen ngobrol-ngobrol sama kamu," "Iya om, om tenang aja. Mau ngobrol sampai malam aja saya temanin," "Kamu bisa aja," "Bisa main catur?" "Jangankan main catur, main gaplek  saya juga bisa om," Ajeng mendengar percakapan  Aru dan Ayah sepanjang perjalan menuju tempatnya bekerja. Ternyata Aru merupakan salah satu laki-laki yang sopan dan dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Terlihat jelas cara dia berbicara dan pembawaanya yang tenang. **********
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD