"Mi ... Mia! Mia ... Mia!" teriakan dengan suara cempreng menggelegar di telinga gadis yang dipanggil dengan sebutan Mia. Tak hanya sampai di situ. Pukulan di bahu Mia, dirasa sangat panas membuatnya hampir terjungkal ke depan. Beruntung saat ini Mia sedang tidak berada di dekat air panas yang setia menemani kesehariannya. Menjadi seorang pemilik sekaligus pelayan sebuah warung kopi membuat Mia sangat bersahabat dengan yang namanya air mendidih, gula dan kopi. Tungku api yang tak pernah padam selalu siap membuat air meletup-letup di dalam sebuah panci besar. Ya, menyeduh kopi hitam tak akan kerasa nikmat jika tidak di siram dengan air yang mendidih dari atas kompor. Sensasi yang diciptakan ketika kopi bubuk bertemu dengan air yang mengepulkan asap panas, mampu menguarkan sebuah aroma khas dari kopi yang akan tercium ke mana-mana. Pun demikian orang yang mencium aromanya seolah terhipnotis dan ingin mencicipi bagaimana rasanya. Sebagaimana kopi racikan Mia yang menjadikan warungnya viral di seluruh jagad maya.
"Kowe ki nyapo mesti lek ngageti aku (Kamu ini kenapa selalu saja membuatku kaget)," cerca Mia yang tidak terima akan perilaku sahabatnya. Ya, pelaku kekerasan dalam persahabatan itu adalah Sutini.
Napas Tini kentara terlihat sedang ngos-ngosan seolah habis lari maraton sepuluh kilometer per jam.
Karena tak ada sahutan yang terlontar dari mulut Tini, Mia berdecak kesal. Sahabatnya itu masih berusaha mengatur napas agar dapat berbicara lantang dan jelas. Tak sabar, Mia kembali mencerca Tini. "Kowe ki lo kenek opo? Koyok mari maraton ae. Ngos-ngosan. (Kamu itu ada apa? Seperti habis lari marathon saja. Ngos-ngosan begitu.)"
"Ya, Tuhan! Mi. Nang ngarep enek wong londo guanteng tenan. Opo yo wong londo kae kesasar mlebu nang warung kopine awak dewe. (Ya, Tuhan! Mi. Di depan ada orang Bule sangat tampan. Apa iya orang Bule itu kesasar masuk ke dalam warung kopi milik kita.)" Akhirnya Tini pun sanggup berkata. Dengan mimik muka yang tak dapat diprediksi ekspresinya.
"Wong londo piye to? Lek omong mbok sing jelas. Ojo ngalor ngidul marai mumet ndasku. (Orang Bule bagaimana? Kalau bicara yang jelas. Jangan ke sana ke mari membuatku pusing kepala.)"
"We ki nek tak omongi kok ra percoyo. Kae lo nang ngarep enek wong londo. Ditanggap karo bocah-bocah. Podo sok sok-an gawe boso Inggris kabeh. Padahal ra enek sing nggenah. Bahasane ra iso di artekne. (Kamu itu kalau tak kasih tahu tidak mau percaya. Itu di depan ada orang Bule. Sedang berbicara dengan orang-orang. Semua sok-sok an bicara dengan Bahasa Inggris. Padahal tidak ada yang benar. Tidak bisa diartikan apa yang mereka ucapkan.)"
Mia masih diam berusaha mencerna apa yang Tini sampaikan. Pasalnya, ia sedikit berpikir dan menebak. Apakah Mas Bule ganteng yang kemarin datang lagi. Terang saja Tini tidak tahu karena saat Mas Bule kemarin datang, Tini sedang ijin tidak bisa menjaga warung. Dan sekarang gadis di hadapannya ini sangat antusias sampai menarik-narik lengannya.
"Nyapo to Tin kowe ki nggereti tanganku (Ada sih Tin kamu menarik tanganku)," protes Mia yang tak ayal mengikuti langkah Tini menuju depan warungnya.
"Ayo tak duduhi wong londone. Ganteng banget. Ya, Tuhan! Mi. Aku sek iki nyawang wong ganteng tenan. (Ayo aku tunjukkan orang bulenya. Tampan sekali. Ya, Tuhan! Mi. Aku baru sekali ini melihat orang yang benar-benar tampan)," cerocos Tini tanpa henti. Ia sangat antusias sekali.
Mia tak ada pilihan lain. Ia meninggalkan aktifitasnya yang sedang menghitung stock rokok yang baru saja datang. Di warung kopi milik Mia selain menyediakan aneka jenis minuman juga aneka merk rokok. Biasanya sebagai teman minum kopi maka para pengunjung warung kopi akan menyesap rokok sebagai pemanis mulut. Ah, entahlah itu hanya kebiasaan para lelaki yang katanya susah jauh dari yang namanya rokok. Padahal jika mereka paham bahaya dari sebatang rokok pastilah mereka akan ketakutan. Mia sendiri juga tak mau berperan banyak dalam hal ini. Sebagai seorang penjual dia hanya menyediakan apa yang mereka minta. Tak ikut andil akan konsekuensi yang nantinya mereka terima. Seperti bahaya bagi kesehatan terutama jantung dan paru paru. Salahkan saja kenapa masih banyak sekali berdiri yang namanya pabrik rokok. Jika mereka semua peduli akan kesehatan masyarakat tentunya pemerintah tak akan memberikan izin usaha pabrik yang memproduksi rokok. Pun demikian nikotin yang juga dijual bebas di Indonesia. Sangat mudah untuk mendapatkannya.
Mia terpaksa mengerem laju langkahnya ketika ekor matanya benar-benar mendapati lelaki bule yang kini sedang celingak-celinguk duduk di salah satu bangku yang juga diduduki beberapa orang pengunjung warung kopi. Bahkan Bule aneh itu nampak nyaman-nyaman saja berteman dengan asap rokok yang mengepul dari beberapa mulut para pengunjung warung yang hari ini tak seberapa ramai. Biasanya warung akan tampak ramai dan padat sekali saat malam menjelang. Sampai Mia sangat kewalahan melayani para pengunjung warung kopinya.
"Ya, Tuhan! Mi. Gede banget wong londo kae, ganteng pisan. Astaga! Ngimpi opo aku mambengi iso kepetuk wong londo sing biasa tak delok nang yutub kae. (Ya, Tuhan! Mi. Besar sekali orang Bule itu, juga tampan sekali. Astaga! Mimpi apa aku semalam sampai isa bertemu dengan Bule yang sering aku lihat di channel yutub)."
"Kok pikir kae artis yutub idolamu opo? (Kamu pikir dia artis yutub idolamu apa?)" Mia bertanya karena ekspresi Tini sangat di luar dari batas kewajaran.
"Yo uduk, Mi. Tapi kan model podo. Kebak ulune, kulit putih, berewokan terus otote kae podo metu kabeh menggoda iman. (Ya bukan, Mi. Tapi tampilanya mirip. Berbulu lebat, kulit putih, berjambang juga ototnya yang sangat kekar.)" Mata Tini mengerjab-ngerjab membayangkan lelaki bule yang sering ia tonton di salah satu channel yutub kesukaannya.
"Kon iku pikiran mesti lek butek. Isine mek wong ganteng tok. (Kamu itu pikiran mesti kotor. Isinya hanya lelaki tampan saja.)" Mia mentoyor kepala Tini membuat Tini mengusap kepalanya karena tidak suka.
"Kowe ki, Mi. Lek mesti tuman. Ndasku mesti kok tutuki. Tapi loh beneran ganteng londone. Kowe ojo ngapusi lek kowe sampe omong wong londo kae elek. (Kamu itu, Mi. Selalu saja begitu. Kepalaku kamu getok. Tapi, ya, bule itu memang tampan. Kamu jangan berbohong dan berani mengatakan jika Bule itu jelek.)"
"Mosok aku ngomong Bule elek. Ora to. Tapi, yo, Tin. Standar ketampanan lelaki itu antara aku karo kowe wes bedo. Nek aku lebih seneng cowok eksotis sing kulite kecoklatan. Kekar dengan otot menyembul keluar. Kinclong akan keringat yang membasahi kulit tubuhnya. (Iyakah aku mengatakan Bule jelek. Tidak ya. Tapi kan, Tin. Standard ketampanan seorang pria itu antara aku dan kamu sudah berbeda. Jika aku lebih menyukai pria yang eksotis dengan warna kulit kecoklatan. Kekar dengan otot-otot yang menyembul keluar. Dengan buliran keringat yang membasahi kulit tubuhnya.)"
"Koyok Ade Rai to? (Seperti Ade Rai, ya?)" celetuk Tini tiba-tiba.
"Sembarangan!" Mia membulatkan matanya. Kenapa harus Ade Rai yang ada dalam bayangan Tini. Apa lelaki kekar hanya Ade Rai? Perasaan, Zul Arifin lebih cocok dengan kriteria yang Mia sebutkan tadi. Kembali lagi, aktor semacam Zul Arifin pasti banyak yang tidak tahu karena dia bukan aktor Indonesia. Melainkan aktor dari negeri Jiran Malaysia.
Kini giliran Tini yang mentoyor kepala Mia." Lakyo podo ae. Kowe ki yo mesti lek utekmu rusuh to. Membayangkan sing ora ora. (Nah, kan sama saja. Kamu ini ya selalu pikiran kotor. Membayangkan yang bukan-bukan)."
Kedua gadis itu diam karena kini pandangan mata James tepat terarah pada keduanya. Saling sikut-sikutan terjadi diantara Mia dan Tini.
"Wong londone nyawang awak dewe, Mi. Ya, Tuhan! ganteng. (Orang bulenya melihat kita, Mi. Ya, Tuhan! Tampan)."
Mia menelan saliva susah payah. Tatatapan tajam mata James tepat mengarah padanya. Ditambah Tini yang terus saja mengoceh tak ada hentinya. Membuat kepala Mia pusing seketika.
"Mi ... Mia ... Mas londone rene. (Mi... Mia... Mas bulenya ke sini)."
Mia tak bisa berkutik dan tak mungkin lari ke mana-mana. Ia harus menghadapi Mas Bule yang tidak Mia tahu untuk apa lagi datang menemuinya.
"Hai!" James menyapa begitu ia tepat berdiri di hadapan Mia.
Tini sudah membuka mata, dengan mulut terbuka dan kepala mendongak. Tinggi James di luar dari ukuran rakyat Indonesia biasanya. Membuat Tini kesusahan hanya untuk menatap ketampanan yang James miliki. Ditambah aroma parfum yang James pakai, menguar menggelitik indera penciuman Sutini juga Mia tentunya.
"Wangi pisan oey, (Harum sekali)," Tini bergumam tanpa tahu malu. Sampai Mia harus mencubit pinggang Tini agar sahabatnya ini bisa menjaga image di hadapan lelaki.
Namun, Tini tetaplah Tini yang masih saja terpesona akan pengalaman pertama dapat berhadapan langsung dengan orang yang memiliki darah campuran. Orang Jawa mengatakan dengan sebutan londo yang dalam bahasa Indonesia-nya adalah orang Bule. Bule asli bukan bulepotan. Orang keturunan yang mengalir darah luar negeri.
"Kowe ki ojo jiwiti aku, Mi. Loro tenan iki. (Kamu itu jangan mencubitku, Mi. Sakit ini)."
"Makane jogo sikap. Ojo ngisin-ngisini. (Jaga sikap. Jangan malu-maluin)," omel Mia yang hanya ditanggapi Tini dengan cengiran.
Sementara James masih memperhatikan kedua gadis di hadapannya yang sibuk adu mulut. Membuatnya hanya menggelengkan kepala dengan tingkah keduanya. Tentu saja telinga James masih bisa mendengar apa yang mereka berdua perdebatkan. Hanya saja karena keduanya menggunakan bahasa jawa langsung saja membuat James tidak suka. Apakah orang kampung seperti mereka tidak bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Agar dia pun mengerti apa yang mereka bahas dan bicarakan. Tidak membuat James penasaran dengan apa yang sedang mereka perdebatkan. Harusnya jika datang ke tempat ini ia membawa serta Mami Isma agar mereka berdua ada tandingannya dalam hal berbahasa Jawa.