“Aaakh!” Marisa berteriak setelah membanting tas selempangnya ke sofa. Sontak apa yang dilakukannya itu mengundang tanya ayahnya yang duduk santai menikmati kopi hitam pahitnya.
“Sayang, ada apa?” Hengki menatap putri semata wayangnya penuh tanya. Tak biasanya putrinya pulang dalam keadaan marah.
“Aria, Yah! Aria! Entah bagaimana dia dan suami butanya itu bisa memiliki banyak uang!” ujar Marisa dengan emosi masih menggebu-gebu. Ia masih tak habis pikir bagaimana bisa Aria belanja dengan uang sebanyak itu bahkan menggunakan black card yang ia sendiri saja tidak memilikinya.
Dahi Hengki berkerut tajam. “Apa? Apa maksudmu?”
“Aria, Yah. Dia baru saja belanja di mal dan menghabiskan puluhan juta hanya untuk membeli baju. Apa Ayah pikir ini masuk akal?” Marisa menjatuhkan bokongnya ke sofa dengan kasar. Tangannya memijit kepala menahan pening hanya karena memikirkan Aria.
Hengki tampak tak percaya. Apa yang putrinya sampaikan adalah sesuatu yang mustahil.
”Kau yakin itu Aria? Bagaimana bisa dia melakukan itu? Lagipula, suaminya juga tidak punya apa-apa. Kau dengar sendiri apa yang pengacara itu katakan, bukan?” ujar Hengki. Ia tak akan percaya sebelum melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Aria memiliki banyak uang.
Marisa meraih tasnya, mengambil ponsel dari dalamnya dan menunjukkan foto yang Shita kirimkan.
“Lihat, dia Aria, benar-benar Aria!” kata Marisa seraya menunjukkan layar ponselnya.
Hengki mengambil ponsel dari tangan Marisa untuk melihatnya lebih jelas dan benar saja, foto itu adalah Aria.
“Shita melihatnya dan mengirimkan fotonya padaku jadi aku ke sana untuk memastikan. Aku kehilangan jejaknya tapi bertanya pada penjaga toko tempat Shita bertemu Aria. Dan Ayah tahu apa yang penjaga toko itu katakan? Dia bilang wanita itu yang tak lain adalah Aria, bersama suami butanya membeli satu set pakaian formal seharga delapan puluh juta. Mereka juga membayarnya menggunakan black card. Coba Ayah jelaskan, bagaimana mungkin ini bisa terjadi?” papar Marisa di mana wajah tampak begitu frustasi.
Hengki terus menatap layar ponsel Marisa dan tampak berpikir.
“Coba hubungi pengacara itu dan tanyakan apa yang sebenarnya tidak kita ketahui,” ujar Hengki. Ia merasa ada yang tidak beres. Bukan dengan Aria, ia yakin Aria tak mungkin menyembunyikan sesuatu di belakangnya. Kemungkinan besar adalah, Arsa, suami buta Aria.
Di lain sisi, Arsa dan Aria telah kembali ke rumah beberapa waktu yang lalu. Saat ini keduanya tengah berada di kamar di mana Arsa tengah mencoba pakaiannya dibantu Aria.
Aria tak bisa berhenti kagum melihat penampilan Arsa sekarang. Jika saja Arsa tidak buta, pastilah banyak wanita akan menggodanya, tergila-gila padanya. Arsa adalah sosok sempurna yang diinginkan kaum hawa. Arsa memiliki tubuh tinggi tegap, tidak terlalu kurus tapi juga tidak gemuk. Tidak ada timbunan lemak di perut. Arsa juga memiliki wajah yang rupawan yang membuat Aria berdebar setiap kali menatapnya. Arsa sudah seperti CEO tampan dalam drama atau dalam n****+ yang sering ia baca dan bayangkan.
“Bagaimana?”
Aria tersentak mendengar suara padat Arsa.
“A- i- ini … bagus sekali. Kau … sangat sempurna memakainya,” ujar Aria dengan wajah merona karena malu sudah memuji seorang pria padahal pria itu sendiri adalah suaminya.
“Coba gaunmu,” perintah Arsa.
Aria terkejut. Jikapun ia mencobanya, Arsa tentu tak akan bisa melihatnya, bukan? Namun, pada akhirnya ia hanya bisa menurut.
“Ka- kalau begitu, aku akan ke kamar mandi untuk memakainya,” kata Aria kemudian mengambil gaunnya dan menuju kamar mandi. Meski Arsa tak bisa melihat, ia tak ingin berganti baju di hadapan suaminya itu.
Tak lama kemudian, Aria kembali dengan gaun yang telah melekat sempurna di tubuhnya. Gaun itu sangat pas di tubuh Aria, berwarna senada dengan jas yang Arsa kenakan.
“A- aku, sudah selesai,” ucap Aria dengan sedikit canggung. Ini kali pertama ia memakai gaun seindah itu, gaun berbahan kain sutra yang halus dengan model neck v. Meski tampak sederhana tapi terlihat begitu anggun.
“Kemari.”
Dengan sedikit ragu Aria berjalan menghampiri suaminya, berdiri di hadapan Arsa di mana ia sesekali membuang muka. Ia tampak malu-malu seakan lupa Arsa tak bisa melihat penampilannya sekarang.
Arsa mengulurkan tangannya ke depan, menyentuh lengan Aria kemudian merambat ke atas pada perpotongan lehernya. Dirabanya gaun Aria membayangkan seperti apa modelnya hanya dengan merabanya.
Wajah Aria kian memerah saat Arsa menjelajahi setiap jengkal gaunnya. Meski begitu ia tak menolak karena berpikir Arsa hanya ingin mengetahui model gaun yang dipakainya walau sebenarnya ia sedikit risih.
“Sangat pas di tubuhmu,” ucap Arsa.
Aria tersipu. Meski ucapan Arsa bukan pujian, ia merasa senang bisa memilih gaun yang tepat.
“Tapi kau terlalu kurus.”
Aria terkejut, apa yang Arsa katakan seperti ia telah diterbangkan ke awan kemudian dihempaskan ke tanah. Namun, ia tidak kecewa.
“Besok malam ikut aku dan pakai ini,” ucap Arsa kembali.
“A- apa? Kau benar-benar mengajakku?” tanya Arisa memastikan.
“Kau keberatan?”
“Ti- tidak. Ba- baiklah. Hanya saja, aku takut aku akan membuatmu malu. Aku tidak pernah pergi ke acara semacam itu,” ujar Aria mengungkapkan apa yang menjadi kerisauannya.
“Lalu bagaimana denganku? Dengan keadaanku sekarang, aku sama sekali tidak ada artinya di mata orang-orang,” potong Arsa.
Aria hanya diam. Dalam hati ia berpikir, meski Arsa buta tapi ia punya kuasa. Pastilah orang-orang akan tetap segan terhadapnya meski entah itu hanya sandiwara.
“Aku ingin mandi.”
Ucapan Arsa yang tiba-tiba membuat Aria terhenyak, wajahnya pun menjadi semerah kepiting rebus sekarang. Memandikan Arsa adalah rutinitasnya pagi dan sore sekarang.
***
“Jangan bohong!” teriak Marisa tak terima dengan jawaban pria di hadapannya. Pria itu merupakan mantan pengacara Arsa waktu itu.
“Aku tidak bohong, untuk apa aku bohong?” ucap pria itu. “Yang kutahu dia memang tinggal sendiri di rumah kecil. Cicilan mobil yang digunakannya bekerja juga belum lunas. Dia juga sudah menjual benda apapun yang bisa dijual,” imbuhnya.
“Lalu kenapa dia bisa punya black card?!” sergah Marisa masih tak menerima penjelasan yang pria itu berikan.
“Mana kutahu? Siapa tahu dia dapat warisan mendadak. Atau bisa saja dia mencuri. Sudah-sudah, jangan menggangguku, aku punya urusan lain.”
Pengacara itu bergegas pergi meninggalkan Marisa seperti sengaja terburu-buru. Saat hendak keluar rumah, tiba-tiba saja Marisa datang dan mencercanya dengan tuduhan serta berbagai pertanyaan.
“Hei! Tunggu dulu! Beraninya kau mengabaikan aku?!” cegah Marisa tapi percuma, pria itu segera tancap gas setelah memasuki mobilnya.
“Agh!” Marisa berteriak dengan menghentakkan satu kaki keras ke tanah. Ia benar-benar marah tak sabar ingin tahu kebenaran mengenai Arsa. Ia yakin ada sesuatu yang pria itu sembunyikan.
Tiba-tiba ponsel Marisa berdering. Merogoh ponselnya di dalam tas, dilihatnya siapa yang menelepon. Dan melihat nomor siapa yang tertera pada layar, seringainya terukir lebar.
“Hm, dia menghubungi di waktu yang tepat.”