14. Semakin Dekat

1213 Words
Aria begitu terkejut hingga sedikit terjingkat. Ia baru saja keluar dari kamar mandi dan menemukan Arsa telah duduk di sofa beludru di dekat jendela. “Ka- kau sudah kembali?” ucap Aria dengan memegangi simpul handuknya. Saat ini ia hanya memakai handuk untuk menutupi tubuh telanjangnya karena baru selesai mandi. “Aku baru saja duduk. Kau mandi?” balas Arsa. Aria kian mengeratkan simpul handuk di dadanya. “Ba- bagaimana kau tahu?” “Mencium aroma segar sabun mandi.” Aria hanya diam dan sedikit bernafas lega. Meski Arsa membuktikan bahwa ia benar-benar buta, entah kenapa Aria selalu berpikir bagaimana jika pria itu bisa melihat. “Aku memakai sabun yang sama yang kau gunakan,” ucap Aria kemudian berjalan menuju walk in closet untuk memakai baju. “Kalau begitu, aku ganti baju dulu,” ucapnya kembali kemudian membuka pintu walk in closet di hadapan dan kembali menutupnya. Arsa hanya diam, tetap duduk tenang menunggu Aria kembali. Aria menatap banyaknya baju yang tergantung rapi di hadapan kemudian perhatiannya tertuju pada pakaian dalam yang juga tertata rapi. Ia mengambil sebuah bra berwarna merah berenda dan berpikir bagaimana bisa itu begitu pas dengan ukuran dadanya. Padahal, ia tak pernah memberitahu Arsa. Apa mungkin hanya kebetulan? Tak ingin terlalu memikirkannya, Aria segera memakai pakaiannya dan keluar walk in closet untuk menemui Arsa. “Aku sudah selesai,” ucap Aria seraya berjalan menghampiri Arsa yang tetap duduk diam. “Besok aku ingin mengajakmu ke suatu tempat,” ucap Arsa tiba-tiba. “Apa? Ke mana?” tanya Aria. Ia harap bukan ke tempat yang lagi-lagi akan membuatnya terkejut. “Kantor utama LG. Kau akan menjadi asistenku.” “A- apa? Asisten?” Arsa mengangguk. “Sudah kukatakan, kau akan menjadi mataku. Lakukan apa yang aku katakan dan perintahkan, beritahu aku apa yang kau lihat dan kau dengar.” Aria hanya diam. Lagi-lagi keputusan Arsa membuatnya terkejut. “Ta- tapi, aku tidak punya kemampuan atau pengalaman di bidang itu. Aku hanya kuliah akuntansi dan aku–” Aria tak melanjutkan ucapan. Ia baru tersadar selama ini telah bolos kuliah sejak terusir dari rumah. Ia tak bisa mengatakan tidak pada perintah Arsa yang beberapa hari ini selalu memiliki acara, tak bisa mengatakan pada Arsa ia harus masuk kuliah. Keadaan bahkan membuatnya berpikir tak melanjutkan kuliahnya yang hanya tinggal sebentar lagi. “Jangan membuatku mengulangi ucapanku. Apa aku harus mengatakannya sekali lagi?” ucap Arsa dengan baritonnya yang terdengar dingin. Aria tertunduk dengan bibir bergetar. “Ma- maaf,” ucapnya dengan suara pelan. “Kau masih bisa melanjutkan kuliahmu. Tapi, tidak sekarang.” Seketika Aria mengangkat kepala menatap Arsa. Ia tak mengira Arsa tahu perihal kuliahnya. Padahal, ia sama sekali tak pernah membicarakannya pada Arsa. “Aku sudah menyuruh Robi mengajukanmu cuti kuliah.” Aria hanya diam. Bukan ia marah karena Arsa bertindak tanpa memberitahunya, meminta persetujuannya, hanya saja …. Namun, senyum kecut terukir tipis di bibir Aria saat ia menyadari sesuatu. Sudah pasti Arsa mengetahui semua tentang dirinya dari anak buahnya. Tuan muda seperti Arsa selalu punya tangan kanan yang dapat diandalkan. Aria kembali tenggelam dalam pikiran. Ia berpikir alasan Arsa mengajukannya cuti mungkin agar ia bisa selalu menemani Arsa, menjadi mata keduanya. Tapi, sama artinya Arsa memberinya akses di perusahaannya. Kenapa Arsa tidak khawatir ia akan melakukan kesalahan? Tak khawatir jika dirinya dapat mengkhianati Arsa? “Boleh aku bertanya?” tanya Aria dan dijawab anggukan dari Arsa. “Apa aku terlalu percaya diri jika berpikir kau terlalu mempercayaiku? Kenapa kau tidak khawatir jika aku membuat kesalahan dan mengkhianatimu? Menjadikan aku asistenmu, sama saja memberiku kebebasan dan informasi semuanya mengenai perusahaanmu. Bagaimana jika aku berkhianat padamu?” Arsa terdiam sejenak kemudian menjawab, “Karena kau bodoh.” Jleb! Ulu hati Aria seperti dicubit karenanya, ucapan Arsa membuatnya tersenyum masam. “Aku sudah memberimu kesempatan menghabiskan uangku tapi kau begitu bodoh hanya membeli barang yang sangat murah. Kau bisa membodohiku dan mengambil berapa banyak uang yang kau inginkan tapi kau bodoh tidak memanfaatkannya. Apakah aku harus mengatakan letak kebodohanmu yang lainnya?” Sudut bibir Aria terangkat. Ucapan Arsa begitu sarkas tapi justru seperti sebuah pujian. “Jika itu kebodohanku, aku bersyukur,” ucap Aria dengan mengusap setitik air mata di ujung mata. Arsa hanya diam kemudian tangannya terangkat dan memberi isyarat agar Aria mendekat. Dengan ragu Aria menurut, berjalan menghampiri Arsa dan berdiri di hadapannya. Ia menyelipkan anak rambut ke belakang telinga kemudian berlutut saat tangan Arsa terangkat seperti mencari sesuatu. Dengan berani meski degup jantungnya seperti lari maraton, diraihnya tangan Arsa dan meletakkannya di pipi. Ia berpikir Arsa ingin meraih wajahnya, karena jika Arsa hanya ingin meraih tangannya, tentu tangannya terulur ke depan, bukan ke atas. “Wajahmu hangat.” Tentu saja hangat, wajah Aria bahkan memerah sempurna. Tuk! Mata Aria melebar sepenuhnya menatap Arsa dari jarak begitu dekat. Ia bahkan bisa merasakan deru nafas Arsa yang hangat. Tiba-tiba saja Arsa menunduk membuat jidatnya dan jidat Aria bertemu. Kini posisi keduanya saling beradu tatap. Namun, tentu saja Arsa tak dapat melihat bagaimana wajah Aria sekarang. Aria terpaku pada netra onyx Arsa. Mau dilihat dari segi manapun, dari jauh bahkan dari begitu dekat seperti sekarang ini, Arsa tetap saja tampan. Ketampanannya begitu memikat seakan memaksa siapapun terpaku. “Apa yang kau pikirkan?” “Kau … sangat tampan.” Mata Aria kembali melebar sepenuhnya. Ia yang seolah terhipnotis tanpa sadar mengutarakan apa yang ada dalam hatinya. Ini kedua kalinya ia memuji betapa tampannya Arsa dengan tidak sengaja. Sudut bibir Arsa terangkat menciptakan senyuman tipis dan Aria dapat melihatnya dengan jelas. Jantung Aria pun kian berdebar tak karuan seakan rasanya ingin meledak. Arsa mengambil jarak, menarik diri ke belakang kembali duduk tegak. “Tapi aku buta,” ucapnya sebagai respon pujian Aria. Aria terdiam tak bergeming dari posisinya kemudian mengalihkan pandangan. Apakah jahat jika ia bersyukur karenanya? Karena ia berpikir, jika Arsa tidak buta, ia akan jadi rebutan para wanita. Jika Arsa tidak buta, apakah Arsa mau dengannya? Dibanding wanita-wanita di sekeliling Arsa yang dari kalangan berada, ia tidak ada apa-apanya. “Aku lapar,” ucap Arsa tiba-tiba yang entah memang benar lapar atau sengaja mengakhiri pembicaraan. Keesokan harinya, Aria bangun di waktu yang masih pagi. Semalaman ia hampir tak bisa tidur memikirkan hari ini, memikirkan ia akan menjadi asisten Arsa di kantornya. Ia tidak tahu apakah hanya untuk sementara atau untuk waktu yang lama. Arsa membuka mata dan hal pertama yang ia lakukan adalah, meraba tempat tidur di sampingnya. Ia selalu membayangkan Aria pergi saat ia terbangun dari tidurnya. Arsa pun mulai panik saat tak mendapati tubuh Aria di sampingnya. Ia segera bangun menegakkan punggungnya dan kembali meraba tempat tidur mencari keberadaan Aria. “Kau sudah bangun?” Arsa segera menoleh ke sumber suara. Kepanikan yang sebelumnya terpancar, perlahan memudar. “Ada apa? Apa kau membutuhkan sesuatu? Aku baru saja selesai mandi,” ucap Aria seraya berjalan ke arah ranjang menghampiri suaminya itu. Ia belum memakai baju, tapi melihat Arsa tampak panik, ia memilih menghampiri Arsa lebih dulu. “Jam berapa sekarang?” Bukannya menjawab pertanyaan Aria, Arsa justru bertanya. Biasanya ia terbangun lebih dulu dan saat mendapati Aria masih di sampingnya, ia pura-pura tidur sampai Aria bangun. Aria melirik jam dinding. “Hampir setengah enam,” jawabnya. Arsa hanya diam kemudian menurunkan kedua kakinya menggantung di tepi ranjang. ”Aku menginginkan sesuatu.” “A- apa itu?” “Tubuhmu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD