Aria kembali ke kamar setelah menyelesaikan tugasnya memasak dan membawa dua piring makanan untuknya dan juga Arsa.
“Aku membawakanmu makan malam,” ucap Aria setelah meletakan sepiring makanan untuknya dan membawa satu piring di tangan untuk Arsa. Ia duduk di samping Arsa yang duduk di tepi ranjang dan berniat menyuapinya.
“Maaf, tolong buka mulutmu,” titah Aria.
“Katakan padaku apa hubunganmu yang sebenarnya dengan kakakmu,” ucap Arsa.
Aria terdiam sejenak kemudian bertanya, “Apa kakak telah melakukan sesuatu padamu?”
“Jawab pertanyaanku,” ucap Arsa tegas tanpa menjawab pertanyaan Aria.
Aria terdiam cukup lama sampai akhirnya ia membuka suara berpikir mungkin tak apa jika membuka rahasianya pada Arsa. Ia pun menjelaskan bahwa Hengki adalah ayah tirinya. Pria itu merupakan seorang duda beranak 1 yakni Marisa. Dan saat Hengki dan ibunya menikah, mereka tinggal di rumahnya.
“Di awal pernikahan ayah Hengki dan ibu, aku merasa sangat bahagia. Ayah Hengki sangat baik, begitu juga kak Marisa. Dia selalu mengajakku bermain, menjagaku seperti seorang kakak kandung dan membuatku merasakan kebahagiaan keluarga utuh yang tak pernah kurasakan karena ayah kandungku meninggal saat aku masih dalam kandungan. Tapi, semua berubah saat ibu meninggal. Perhatian yang ayah Hengki berikan seketika menghilang, kak Marisa juga tak lagi sama,” Aria tersenyum kecut teringat masa-masa itu. Masa-masa yang begitu berat yang dijalaninya tepat setelah ibunya meninggal. Bukan perhatian dan rangkulan yang ia dapat di saat ia sangat membutuhkannya, tapi siksaan lahir batin yang membuatnya menjadi pribadi yang berubah. Dulu dirinya adalah anak periang, tapi kepribadiannya berubah setelah ibunya meninggal dan mendapat jahat dari ayah dan kakak tirinya.
Arsa hanya diam mendengarkan. Mendengar suara Aria yang bergetar membuatnya yakin Aria tidak berbohong. Ia pun seakan bisa membayangkan penderitaan apa yang Aria dapat setelah itu mengingat perlakuan seperti apa yang ia dapat dari Marisa beberapa waktu yang lalu.
Kamar Aria begitu hening saat dirinya memilih tak lagi membuka apa yang terjadi, membuka perlakuan seperti apa yang didapatnya sejak ia kecil hingga saat ini.
“Kurasa … hanya itu yang bisa aku katakan padamu,” pungkas Aria.
Arsa tetap diam seakan mengerti bahwa Aria tak ingin lagi membuka kehidupannya. Setelahnya ia hanya mengikuti titah Aria saat hendak menyuapinya.
Tak lama kemudian, Arsa telah menghabiskan makanannya. Aria dengan telaten dan sabar menyuapinya.
“Kenapa kau mau membantuku?” tanya Arsa tiba-tiba setelah ia menghabiskan segelas air setelah menghabiskan makanannya.
Aria yang hendak meletakkan gelas bekas minum Arsa ke meja, menghentikan sejenak gerak tubuhnya dan menatap Arsa dalam diam.
Aria tersenyum simpul dan menjawab, “Kuharap kau tidak marah jika aku menjawab karena aku kasihan padamu. Aku hanya berpikir, bagaimana jika aku berada di posisimu. Kupikir aku orang paling tidak beruntung, paling tersiksa karena perlakuan kak Marisa, tapi … kau lebih tidak beruntung dariku. Kau bahkan harus kehilangan penglihatanmu karena dirinya.”
Arsa lagi-lagi hanya bisa diam. Keberuntungannya bisa menikah dengan Aria. Tapi, menikah dengannya adalah kesialan bagi Aria. Andai saja Aria menikah dengan lelaki yang tepat, mungkin lelaki itu bisa membebaskan Aria dari penderitaan.
***
Waktu hampir larut tapi tak membuat Aria segera memejamkan mata. Ia tidak bisa tidur. Ia merasa gusar karena seorang pria tidur satu ranjang dengannya dan pria itu adalah suaminya. Ia seakan masih tak percaya bahwa sekarang ia telah menikah.
Aria berusaha memejamkan mata tapi kembali terbuka. Bayangan apa yang terjadi hari ini seakan memenuhi kepala.
Sementara itu, sama halnya dengan Aria, Arsa juga masih terjaga meski ia memejamkan mata. Rasanya tetap sama, meski matanya terbuka pun, hanya kegelapan yang ia rasa.
Arsa membuka mata saat merasakan ranjang sedikit bergerak. Aria mengubah posisi berbaringnya membuat deritan kecil terdengar.
Aria menatap langit kamarnya kemudian menoleh menatap punggung Arsa. Ia kemudian kembali menatap langit kamarnya tanpa bisa berhenti memikirkan semuanya. Aria memejamkan matanya berharap saat ia bangun ia tak lagi menemukan Arsa, berharap semua yang dialaminya hanya mimpi semata. Hingga tak lama kemudian, dirinya benar-benar terlelap saat waktu menunjukkan hampir tengah malam.
Arsa masih tetap terjaga sampai ia mendengar suara dengkuran halus. Ia pun berpikir mungkin Aria sudah tidur. Memberanikan diri, ia mengubah posisi menjadi berbaring miring menghadap Aria. Dalam hati ia berpikir, seperti apa wajah Aria? Apakah Aria memiliki wajah secantik hatinya? Mereka mungkin baru sehari saling mengenal, dikenalkan oleh pernikahan terpaksa. Akan tetapi, Arsa sudah bisa menilai wanita seperti apa Aria. Tak butuh waktu lama menobatkan wanita itu sebagai wanita langka yang harus dijaga.
Tiba-tiba muncul keinginan di hati Arsa. Perlahan tangannya pun terulur di mana dengan sengaja ia menyeret tubuhnya mendekat ke arah Aria hingga tanpa sengaja tangannya menyentuh pipi Aria yang hangat.
Arsa terkejut hingga dengan cepat menarik tangannya. Ia khawatir jika Aria merasakan sentuhan tangannya dan membangunkannya. Namun, keinginan dalam hatinya mendorongnya untuk kembali menyentuh Aria. Tangannya pun kembali terulur dan kembali menyentuh pipi Aria yang halus.
Getaran aneh muncul dalam d**a Arsa merasakan halusnya pipi istrinya. Bukannya merasa puas dan menarik tangannya, ia justru menjelajahi wajah istrinya itu dengan tangannya, meraba dahinya, alisnya, kelopak matanya, hidungnya dan berakhir di bibir.
Getaran di d**a Arsa semakin menjadi membayangkan seperti apa wajah istrinya. Dahinya sedikit lebar, alisnya cukup tebal membuatnya yakin Aria tak pernah mencukur alisnya, bulu matanya cukup panjang, hidungnya mancung dan bibir kecilnya terasa kenyal.
“Ngh ….” Lenguhan samar Aria membuat Arsa menarik tangannya. Namun, saat dengkuran halus kembali terdengar, Arsa kembali mengulurkan tangan meraba seperti apa rambut Aria. Rambut Aria terasa sedikit kasar dan sepertinya memiliki potongan rambut pendek.
Arsa menarik tangannya saat merasa sudah cukup baginya mengenali sosok istrinya meski ia tak dapat melihatnya. Ia pun menarik tubuhnya mengambil jarak dari Aria dan berbaring menghadap langit-langit kamar.
Tak lama kemudian Arsa memejamkan mata dan membawa bayangan sosok istrinya sebagai pengantar tidurnya.
Keesokan harinya, Aria bangun seperti biasa. Dan seperti biasa pula ia mengerjakan pekerjaan rumah sebelum pergi kuliah. Memasak sarapan, menyapu, mengepel, mencuci, semua ia lakukan dan semua itu sudah menjadi rutinitasnya sejak ibunya tiada.
“Aria.”
Aria menoleh mendengar suara padat ayah tirinya saat dirinya tengah membersihkan meja ruang tengah. Ia pun melihat ayahnya itu berjalan ke arahnya dengan membawa sesuatu di tangan.
“Hari ini kau harus pergi dari rumah ini.”
Deg!
Aria melebarkan mata begitu terkejut dengan ucapan ayah tirinya
“A- apa maksud ayah?” tanyanya terbata. Rumah ini adalah rumahnya, rumah peninggalan ibunya, bagaimana bisa Hengki mengusirnya?
Hengki melempar ringan kertas yang ia bawa. Dengan tangan gemetar, Aria mengambil kertas itu dan melihat apa isi yang tertera. Dan seketika ia dibuat terkejut saat membaca kata demi kata yang menjadi serangkaian kalimat bahwa ia telah menyerahkan rumah beserta seluruh isi juga harta peninggalan ibunya pada Hengki dan Marisa.
Tangan Aira gemetar dan semakin gemetar hebat saat melihat tanda tangannya tertera. Seketika ia pun ingat saat Hengki menyuruhnya menandatangani kertas kosong kemarin.
Hengki merampas kembali kertas itu dan mengatakan, “Jadi tunggu apa lagi, kemasi barangmu sekarang dan bawa suami Butaku yang tak berguna.”
“Hahahaha … hahaha ….”
Aria menoleh kaku ke arah sumber kelakar tawa yang berasal dari Marisa. Marisa tertawa lebar, tertawa puas seakan berhasil meraih kemenangan.
“Hahaha, Aria … Aria … kau benar-benar bodoh. Kau kira aku menyuruhmu menikah untuk apa? Semata agar lepas dari beban? Tidak, Sayang, tidak. Tentu saja agar kami punya alasan mengusirmu dari rumah ini,” ungkap Marisa. Ia kemudian membacakan isi dari surat yang telah berisi tanda tangan Aria.
“Dengan ini aku, Aria Hanum, menyerahkan kuasa sepenuhnya pada ayah tiriku, Hengki Rusdiana dan kakak tiriku Marisa Nancy atas rumah beserta semua properti dan seluruh harta peninggalan ibuku. Keputusan ini kubuat dengan sadar tanpa ada paksaan dari pihak manapun karena ingin sepenuhnya mengabdi pada suamiku dan ….”
Telinga Aria seakan tuli tak sanggup lagi mendengar Marisa membacakan isi surat itu hingga selesai. Ia tak mengira semua ini akan terjadi.
“Hah ….” Marisa menghela nafas setelah selesai membacakan isi surat tersebut. Seringainya pun merekah begitu juga dengan seringai ayahnya. “Jadi, apa yang kau tunggu, Adikku? Segera kemasi barangmu dan jangan lupa, bawa juga suami butamu. Jangan lupa keputusanmu kalau kau ingin bersama suamimu ke manapun dan menyerahkan rumah ini pada kami.”
Aria tak bisa berhenti menatap dua orang yang telah begitu jahat padanya. Air matanya pun jatuh tanpa ada suara tangis yang terdengar. Rasa sesak di dadanya begitu nyata hingga membuatnya tak sanggup menggerakkan tubuhnya.
***
Brugh!
Arsa jatuh saat Marisa mendorongnya melewati gerbang rumah. Wanita itu benar-benar tak punya hati, mengusir Aria dan Arsa meski Aria memohon dan mengiba.
“Jangan pernah kembali ke rumah ini!” teriak Marisa dan segera menutup pintu gerbang.
“Kak! Kakak! Kumohon, Kak! Kumohon biarkan kami tetap tinggal!” teriak Aria hingga suaranya serak. Namun, Marisa tak peduli, ia bahkan segera masuk ke dalam rumah mengabaikan tangisan pilu Aria.
Aria memukul gerbang, berusaha membuka pagar besi itu untuk kembali masuk ke rumahnya. Namun, semakin keras ia berusaha dan memukul, semakin membuat tangan dan hatinya terluka.
“Kenapa … kenapa kalian melakukan ini padaku? Ini rumahku, semua yang ibu tinggalkan adalah milikku, kenapa kalian begitu jahat? Kenapa … kenapa ….”
Arsa hanya diam mendengar tangisan dan suara Aria yang begitu lirih. Andai saja kondisinya tidak seperti ini mungkin ia bisa melakukan sesuatu. Mungkin menghabisi dua iblis itu tanpa ampun.
Tak lama Arsa mendengar suara Aria kian lirih hingga perlahan tak lagi terdengar. Ia pun merasakan sesuatu menimpa kakinya dan itu adalah tubuh Aria. Aria jatuh pingsan.
Beberapa waktu setelahnya, Aria berusaha membuka matanya yang terasa berat. Dan saat matanya terbuka sempurna, hal pertama yang dilihatnya adalah langit ruangan yang asing baginya.
Aria berusaha meraih kesadaran dan seketika teringat semuanya. Ia segera bangun menegakkan punggungnya dan terkejut saat mendapati Arsa duduk di sampingnya, di tepi ranjang tempatnya sekarang.
“Di mana kita sekarang?” tanya Aria. Ia yakin itu bukan kamarnya, ruangan itu begitu luas.
“Rumahku,” jawab Arsa.