12

1000 Words
Mama Tian langsung duduk di sofa menatap kami berdua membuatku menarik Tian duduk depan sang mama. Mereka berdua saling diam dan saling menatap seakan berbicara dari tatapan mata, selanjutnya tatapan sang mama ke arahku sekali lagi dengan tatapan menilai diriku. Tian hanya bisa diam di sebelahku membuat aku salah tingkah dengan tatapan sang mama yang menilai diriku, Tian menggenggam tanganku seolah memberi kekuatan. Aku sebenarnya tidak takut dengan tatapan mamanya hanya merasa tidak nyaman karena kami bertemu di saat aku tanpa menggunakan busana dan hampir saja aku memberikan pada Tian, mungkin karena Tuhan tidak menghendaki ini semua. Kesialan apa yang aku alami hari ini barusan bertemu jalang yang memuaskan Tian dan saat ini berhadapan dengan mamanya ditambah pengakuan Tian yang mengatakan bahwa aku sedang hamil. Aku yakin mama Tian pasti menilai diriku negatif dan tidak cocok dengan putranya ini, tapi apa peduliku dengan pandangan mamanya Tian bukankah aku hanya bermain-main saja, tapi aku juga menginginkan Tian lantas aku tidak jauh berbeda dengan jalang yang baru saja pergi. "Kamu masih kuliah?" aku mengangguk langsung “masih muda kamu manfaatin memang gak ada yang lain?” mama Tian menatap Tian tajam "sudah berapa lama hubungan kalian?" "2 bulan, ma" jawab Tian langsung dan langsung mendapatkan tatapan tajam dari mamanya dan tentu saja aku, tapi tidak berlangsung lama karena mama menatapku. "Ya 2 bulan tan eh ma" jawabku membenarkan perkataan Tian dengan susah payah. "Kamu sudah gak ada jalang lain sampai anak kuliahan dipakai juga?" menatap Tian sambil menggelengkan kepala "orang tua kamu sudah tau?" tatapannya mengarah kepadaku lembut membuat aku semakin merasa tidak enak. Aku menggelengkan kepala "baru tahu ini" sambil menunduk dan mengucapkan maaf dalam hati karena berbohong semoga papa tidak marah dengan perbuatanku ini. “Tari anaknya Wijaya pengusaha itu” jelas Tian “jadi mama jangan berpikir dia jalang karena Tari ibu dari anak-anakku” "Baiklah sekarang ikut kita ke rumah sakit" ucapan sang mama sambil berdiri “mama gak peduli kamu anak siapa, mama hanya peduli dan malu bahwa anak mama telah merusak kamu” "Ma" panggil Tian dan sang mama menatap Tian dengan tanda tanya "buat apa ke rumah sakit? lagian gimana mama bisa gak peduli dengan nama besar ayahnya jelas aku tidak berani melakukan hal melebihi batas" "Memastikan perkataanmu benar atau tidak" jawab sang mama santai "dan mama gak mau ketipu kedua kali kalau mama lihat Tari ini terlalu polos menjadi jalangmu dan mama yakin jika kamu semalam tidak bermain dengan Tari melainkan jalang yang lain" menatap Tian tajam "ayo ikut mama ke rumah sakit untuk cek kehamilan kamu" sang mama menatapku lembut “justru nama besar ayahnya ini jangan sampai kamu bertindak aneh-aneh sama dia mau taruh di mana wajah kita kalau berbuat aneh bahkan mempermainkan putrinya” dapat aku dengar helaan nafas Tian yang tampak lelah. "Tante saya gak hamil" ucapku langsung karena tidak mau terlalu jauh berbohong dan perkataan beliau yang menyangkut papa membuat aku sadar. Tian langsung menyandarkan badannya di sofa setelah mendengar perkataanku dapat kudengar hembusan nafasnya kembali lalu menatapku dengan sorot kecewa aku langsung mengalihkan pandangan. "Saya memang gak hamil tante tapi saya mencintai Mas Tian" sambungku cepat tapi reaksi mereka setelah aku bicara adalah menatap tidak percaya dan melotot ke arahku seolah memastikan semuanya. "Cinta" ucap mereka bersamaan dan saling memandang dan aku langsung mengangguk yakin. "Kamu tahu siapa dia? dia punya anak loh dan suka main sama jalang tiap saat" sang mama menunjuk Tian tanpa berbelas kasih. "Mama" ucap Tian dengan emosi dengan menatap tajam "sejak kapan?" menatapku lembut. "Sejak kita tidur bersama" jawabku namun melihat raut kaget mamanya Tian "maksudnya waktu kita tidur bersama Boy" lanjutku sebelum yang bersangkutan marah dan berbicara tidak-tidak “lagi pula waktu tidur sama Boy bangun-bangun aku sudah dalam keadaan tanpa busana” aku semakin menunduk takut menatap wajah mereka. "Gak setuju" teriak mama Tian "mama gak restuin bukannya apa tapi kamu terlalu baik buat dia, kasihan kamu dapat barang bekas sedangkan dia untung kamu masih originil" sang mama duduk disebelahku “kamu mending sama pria lain yang tidak nakal seperti Tian dan apa tadi bangun-bangun tanpa busana, kamu apain si Tari?” sang mama lagi-lagi memandang Tian tajam “p*****l” "Ma, Tian gak senakal itu" bantah Tian "mama pulang sana biar kita bisa bicara berdua maksudnya bicara berdua" Mama Tian menggelengkan kepala "bicara depan mama kalau berdua kamu habisin dia" menatap Tian tajam. “Ma” panggilanku membuatnya menatapku “aku memang tidak tahu sejak kapan mencintai Tian tapi memang sepertinya aku ingin bicara dengan Tian terutama keadaanku tanpa busana ketika bangun” aku menatap beliau dengan tatapan memohon. Pandangan kami bertemu padahal aku ingin sekali melepaskan ini untuk Tian sedangkan pandangan Tian seolah ingin melakukan sesuatu padaku entah apapun itu. Tian menyandarkan diri di sofa sedangkan aku mencoba untuk santai, mama Tian menatap kami berdua bergantian tapi tidak beranjak sama sekali seolah menilai apa yang akan kami lakukan setelah ini. "Ma, kami benar-benar ingin bicara" ucap Tian akhirnya setelah keadaan hening kami yang cukup lama. "Baiklah mama di dapur" sambil melangkah ke dapur "tidak boleh berdekatan" peringatnya sebelum benar-benar melangkah ke dapur membuat kami mengangguk malas “kalau Tian macam-macam teriak” aku tersenyum dan mengangguk. Tian menatapku lembut "sejak kapan?" setelah mama sudah menjauh. Aku mengangkat bahu "tiba-tiba saja makanya aku ingin melakukan pertama kali denganmu" Tian menunduk "maaf" aku terkejut dengan kata-kata itu. Satu kata yang diucapkan Tian membuatku tersadar di mana posisiku saat ini di hadapannya dengan tersenyum seakan aku mengerti apa yang dirasakan. Aku yang tidak tahan segera pamit kepada mamanya Tian dan ajaibnya Tian tidak menghalangi langkahku, apa aku harus mengartikan lain dari sikap Tian namun setelah aku berpikir lebih baik seperti ini agar aku lebih fokus pada kuliah dan biarkan asmara berjalan seiring waktu. Tian mengikutiku dari belakang “aku” Tian diam seakan mengatur kata-kata yang tepat dan aku hanya diam menunggu kata-kata pembelaan yang keluar dari bibirnya. “Jika tidak ada yang dibicarakan lebih baik aku pulang” putusku langsung karena menunggu Tian yang tidak langsung bicara “terima kasih selama ini” Tian hanya diam “pertanyaanku terakhir apa yang terjadi sampai aku bangun tanpa busana?” Aku dapat melihat wajah tegang Tian karena aku mengungkit kejadian itu tapi aku memang membutuhkan jawaban atas apa yang terjadi, melihat Tian hanya diam akhirnya aku berbalik meninggalkan Tian. “Kamu masih perawan” aku menghentikan langkah dan menatap Tian yang hanya bisa mengangguk “maaf”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD