If Only I Could Read Your Heart

1555 Words
10 tahun yang lalu Semester ganjil telah datang! Semester kenaikan kelas dan semester kelulusan bagi siswa kelas tiga! Semester yang penuh dengan kelas tambahan dan remidi di setiap ujian. Semester penentuan. Semester yang pendek katanya, karena berisi belajar belajar dan belajar. Icha datang lebih pagi hari ini. Dia kangen berat dengan sahabat-sahabatnya, sudah seminggu sejak terakhir kali mereka bertemu, walaupun sering berkontak lewat sms dan telepon, beberapa kali ketemu di rumah Jaja dengan dalih ‘membantu Jaja pindahan’, tetap saja, kangen!. Telpon dan sms nggak seefektif kalau ketemu orangnya langsung. Iya, mereka masih pakai telpon dan sms. Maklum, cuma hape Jaja dan Ida yang sudah upgrade dan memiliki fitur aplikasi chat. Dia duduk di bangku panjang depan kelas sambil mencoba belajar sedikit materi semester lalu. Selang beberapa waktu, dari gerbang depan, dia melihat Hafid dan Jaja datang beriringan. Dua dari empat sahabatnya sudah dating! Icha melambaikan tangan dengan heboh, yang dibalas Hafid santai. Jaja tidak membalasnya, melihat ke arahnya pun tidak! Mungkin Jaja belum melihatnya, matanya kan memang agak-agak rabun, begitu pikir Icha. Tapi betapa kagetnya Icha saat Jaja hanya lewat begitu saja di depannya, tanpa senyum, tanpa menoleh, apalagi membalas sapaannya. Icha mencoba mencari jawaban dari Hafid, hanya untuk mendapatkan tatapan serupa dirinya disana. Bingung. Kaget. Bertanya-tanya. Icha mengekor Jaja ke dalam, menghampiri bangkunya dan duduk di depannya. "Jaja, Pagi!" Senyum Icha menghilang, binar matanya meredup kala Jaja lagi-lagi mengacuhkannya dan keluar meninggalkan kelas, seolah Icha tidak berada disana. Dan sepanjang hari itu, Icha terus invisible untuk Jaja. Bahkan Jaja menghilang begitu belistirahat berbunyi tanpa menunggu mereka, padahal mereka biasa ke kantin bareng saat istirahat pertama. Anehnya, hanya pada Icha Jaja seperti itu. Dia masih tertawa lepas bersama Hafid, masih bercanda dengan Ida dan Nisya. Hanya pada Icha. Jaja, kenapa? Icha salah apa? Kenapa Jaja cuekin Icha? *** Icha’s Current POV Icha terbangun, tersedak nafasnya sendiri karena mimpi buruk yang sering berulang 10 tahun terakhir ini. Hari pertama semester ganjil saat dia kelas 3 SMP adalah disaster bagi masa putih birunya. Mimpi buruk! Hari-harinya tak pernah sama lagi sejak saat itu. Dia seperti kehilangan dirinya dan menjadi orang baru sejak saat itu. Orang baru yang sama sekali tidak disukainya. Icha bahkan sempat di bully terang-terangan oleh anak cheerleader yang mengidolakan Jaja. Sebenarnya kejadian ini sudah lumayan sering, tapi tidak pernah terang-terangan karena Jaja dan teman-temannya yang lain selalu melindunginya. Anehnya dari Ida, Nisya dan Icha yang dengan Jaja, hanya Icha yang mendapat perlakuan tidak enak di sekolah. Berbagai rumor jelek mulai menguar tentang dirinya, membuat dia dikucilkan. Rumor tentang dia dan Jaja, ada yang bilang mereka berantem, ada yang bilang Icha ditolak Jaja, macem-macem. Bahkan ada juga rumor kurang enak tentang Bapak. Walaupun nggak terlalu santer terdengar. Kebetulan Bapak adalah ketua komite wali murid SMP Nusantara. Hanya Ida, Nisya dan Hafid yang masih tetap berada di sampingnya hingga mereka lulus. Icha trauma. Amat sangat. Trauma pada orang-orang yang terlihat superior. Karena alasan itulah, dia yang sudah mendapat beasiswa di SMA yang sama dengan Nisya, Ida, Hafid dan Jaja, memutuskan untuk mendaftar di SMA yang berbeda agar bisa memulai lembarannya yang baru. SMA yang nyaris nggak ada teman-teman yang berasal dari SMP yang sama dengannya. Dia tidak mengenal siapapun di SMA barunya. Lebih baik begitu, jadi dia bisa memulai lembaran barunya. Susah payah dia meyakinkan Bapak. Untung saja dia juga akhirnya mendapatkan beasiswa di SMAnya, membuat dia tidak begitu merasa bersalah pada Bapak karena sudah menyia-nyiakan tawaran beasiswa sebelumnya. Dia hanya tidak ingin masa SMA nya juga sama mengerikannya dengan tahun terakhir SMP nya. Dengan nafas masih tersengal, Icha meraih botol minum yang dia taruh di sebelah kirinya sebelum tidur tadi. Jam 4 pagi. Sebaiknya dia bangun dan sholat subuh saja. Mungkin setelahnya mengerjakan beberapa laporan perjalanan yang harus dia kerjakan selama dia disini. Dan mungkin, jika badannya sudah lebih enakan, hari ini dia ingin ikut kelas pelatihan lagi. Nggak enak absen lama-lama. Sudah sampai sini. Icha selesai melakukan rutinitas paginya saat jam menunjukkan pukul setengah 7 pagi. Dia memaksakan diri mandi air dingin tadi, niatnya biar seger, tapi malah badannya menjadi agak lemas sekarang, dan kepalanya bertambah pusing setelah dia mengerjakan laporannya. Duh, asam lambung benar-benar tidak bisa diajak kompromi ya. Harus beneran sembuh dulu baru bisa melanjutkan aktivitasnya. Rencananya untuk ikut kelas pelatihan hari ini sepertinya harus ditunda dulu. Memutuskan untuk berbaring lagi di tempat tidurnya, dia membaca ulang chat Hafid dan sahabat-sahabatnya di group kemaren malam yang belum sempat di balasnya: Al-Hafid: Cha, pingsan? Jaja barusan telpon katanya lagi nganter lo balik ke hotel NisyaAhmad: Icha pingsan? Kenapa Cha? Kata Jaja kenapa Fid? Al-Hafid: Kata Jaja tadi kecapekan sama over stressed. Asam lambung naik FaridaZein: Jaja masih sama Icha? Udah sampe hotel? FaridaZein: Yang?! Ih dikacangin gue NisyaAhmad: Kok bisa, sih?! Aku kepikiran gilak! Kondisi Icha gimana? FaridaZein: Gue kepikiran yang lain NisyaAhmad: :v focus Nyak, focus! FaridaZein: Kenapa Jaja yang nganter? Fokusku masih disitu aja dari tadi Al-Hafid: Barusan Jaja telpon lagi, Girls. Icha udah sampe hotel dengan selamat. Uda diperiksa dokter juga. Tadi gue minta Jaja nungguin sampe Icha siuman, tapi dia harus balik katanya FaridaZein: Alibi teros!! Al-Hafid: Udah, yang penting Icha nya gak kenapa-napa Setelah panggilan dengan Nisya terputus, baru dia tau ada puluhan missed call dari sahabat-sahabatnya dan bahkan dari Ibu, 3 di antaranya. Dia sempat berpesan pada Nisya yang masih sekota dengannya untuk tidak melapor apapun, apapun tentang keadaannya, kepada Bapak dan Ibu. Nggak lucu aja panic, tapi jauh. Percuma. Nggak bisa ngapa-ngapain. Cuma jadi beban aja nanti. Jadi... Azra tau kalau dia tinggal di hotel ini selama di Bangkok. Dia juga yang mengirim room service tempo hari. Dia mengantarkan Icha yang pingsan kembali ke hotel setelah pemeriksaan dokter. Susunan Puzzle mulai tertata rapi di kepala Icha. Pertanyaaan Icha tetap sama. Kenapa, Ja? Kenapa ke Icha? Ketukan di pintu menariknya kembali dari lamunannya. "Room service!" Lagi? *** 8 Tahun yang lalu Dua tahun berlalu sejak Jaja mengabaikannya. Mereka sekarang sudah kelas dua SMA. Sejak tahun terakhirnya di SMP terasa seperti neraka, dia menjadi orang yang lebih tertutup. Kepercayaan dirinya hilang nyaris tanpa bekas. Bu Dewi adalah contoh dari beberapa orang yang ‘merayakan’ keadaan Icha. Beliau semakin gencar membully nya karena anak-anak cheers suka sekali mengadu jika Icha melawan. Sekarang dia sudah kelas dua SMA. SMA nya berbeda dengan Jaja dan teman-teman SMA nya yang lain. Nggak ada lagi Bu Dewi yang menerornya. Selain Jaja, keempatnya masih sering bertemu dan berkumpul. Jaja seperti ditelan bumi baginya. Icha hanya melihat sekilas dari luar gerbang sekolah saat kebetulan dia menunggu Ida dan Nisya pulang. Jaja masih dengan Hafid, berangkat dan pulang bareng, menjadi BFF goals bagi yang melihat. Asalkan, Hafid tidak mengungkit nama Icha di depan Jaja. Pernah beberapa kali Hafid nekad bertanya, mengajak Jaja kembali. Dan bogem mentah pun nggak tanggung-tanggung bersarang di pipinya meninggalkan bekas biru keesokan harinya. Bekas biru yang membuat Ida geram bukan main. Salah satu alas an kenapa Ida dan Azra jadi susah akur hingga sekarang. Ida dan Nisya, karena terlalu sering dititipi surat permohonan maaf Icha kepada Jaja, malah didiamkan dan ikutan dicuekin. Membuat Icha merasa bersalah. Icha terpaksa menulis surat karena Jaja dengan tiba-tiba mengganti nomor hape dan memblokir Icha dari kontaknya. Memang itu Jaja tega luar biasa. Raja tega pokoknya. "Cha, yuk!" Hesti memanggilnya. Mereka berencana menonton festival olahraga antar SMA di kotanya. Dia juga sudah janjian untuk bertemu dengan Ida dan Nisya disana. Hesti adalah teman sebangkunya dari kelas satu SMA. Kebtulan kelas dua ini mereka juga sekelas, da sebangku lagi. Bisa dibilang Hesti adalah satu-satunya teman yang akrab dengannya di SMA ini. Dan hari ini, dia ingin mengenalkan pacar barunya kepada Icha. Pacarnya kebetulan ikut turnamen basket disana. "Nanti aku jangan dikacangin ya, Hes." Icha mewanti-wanti. Keki lah, temennya pacaran, terus dia ngapain? Hesti tertawa renyah mendengarnya. "Apaan, sih. Kan dia main basket, kita mau cuci mata disana." "Loh, katanya udah punya pacar, kok cuci mata?" "Kan cuma cuci mata, Cha hahahaha." Mereka kesana naik angkutan umum, lalu berjalan kaki sekitar 300 meter untuk mencapai gedung olahraga yang dimaksudkan. Hesti asyik bertukar pesan dari ponsel sambil senyum-senyum sendiri di sampingnya. Sepertinya dengan pacarnya. Haaah, disaat teman sebayanya sibuk pamer kemesraan dengan pacarnya, dia malah takut dengan lawan jenisnya. Berteman oke, sekali dua kali ngobrol masih bisa, tapi icha hanya membatasinya sampai disitu saja. Dia sangat trauma dengan Jaja yang sudah terlanjur dekat, bahkan dianggap keluarga, tapi ternyata mampu menyakiti luar biasa dalam sampai meninggalkan trauma. Ida dan Nisya belum sampai. Tadi dia sempat menelpon salah satunya dan mereka bilang akan telat karena ada piket. "Yang!" Hesti melambai pada seseorang di samping pintu masuk. Jika saja Hesti tidak menggandeng erat lengannya, Icha pasti sudah kabur sekarang. "Cha, kenalin, ini pacarku, Azra." Iya! Pacar Hesti itu Azra yang itu. Jajanya. Kenapa dia harus bertemu Jaja sih? Out of all male students in Jogja, why him? Jogja sempit banget apa?! "Oh, hai. Icha." Dia menyapa kikuk. Jaja hanya mengangguk lalu perhatiannya teralihkan pada Hesti. "Hes, aku di sana ya. Kalian ngobrol aja." Pemitnya pada mereka berdua. Langkahnya lunglai. Dia tidak ingin berada disini lagi. Tidak dengan mata Jaja yang selalu memancarkan laser dingin padanya. Dan lagi, dia tidak suka melihat Jaja baik pada cewek lain tapi ketus padanya. Nggak suka! Sore itu berlangsung garing bagi Icha. Walaupun ada Nisya dan Ida disana, tetap saja pemandangan Hesti yang menempel pada Jaja membuatnya jengah. Dan agak... marah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD