If Only You Knew How Bad it Hurt

1371 Words
Icha’s Current POV Icha menimang-nimang hapenya. Menimbang-nimbang keraguan yang singgah di hatinya. Tadi dia nekat meminta kontak Azra dari Hafid. Tapi sekarang dia bingung harus melakukan apa. Dia nggak tau, apakah Azra masih memblokir nomornya. Apa Jaja bahkan punya nomornya? Nomornya sudah ganti sejak dia kuliah. Harusnya bisa kan, ya? Sesiangan dia bolak balik mondar mandir di dalam kamarnya karena hal ini. Hatinya ingin, tapi kepalanya menolak. Ketakutan kalau nanti Azra menolaknya masih begitu melekat di ingatannya dan belum ingin dia ulangi lagi. "Telpon, nggak, telpon, nggak, telpon, nggak, tel... aduuh, pusing!" dia kembali mengacak rambut panjangnya yang kini di cepol tinggi. "emang kalo telpon mau ngobrol apa? Trus besok pas ketemu di miting harus gimana? Aaaaaa, gila aku lama-lama kalo kaya gini." Timbang mau bilang makasih aja, dia sudah senewen begini. Icha kembali hanya memandangi layar hapenya dengan nama Jaja dan kontaknya tertera di sana. Tiba-tiba sebuah panggilan masuk membuat dia hampir menjatuhkan hapenya dan nyaris terkena jantungan. Jaja Calling... Hanya nama itu saja bisa membuat jantungnya bekerja memompa darah sepuluh kali lipat dari normal, membuat jantungnya bertalu-talu kencang hingga terasa sakit di dadanya. Lama panggilan itu dibiarkan sebelum dia akhirnya memantapkan diri dan menggeser layarnya ke kanan, "H-halo?" Sapanya ragu-ragu. "Hai." Suara Azra pelan, hanya berupa bisikan kecil di seberang. Bahkan suara debaran jantungnya terdengar jauh lebih keras daripada suara Jaja. "Y-ya?" entah kenapa Icha jadi ikut-ikutan berbisik. "How are you?" suaranya masih sepelan helaan nafas. "Much better now." "You scared me to death when you passed out, you know?" Bagaimana Icha bisa tau, Ja? Bahkan Icha sempat berpikir kalau Azra sama sekali nggak mengenali dirinya awalnya. Lelehan bening tanpa bening jatuh dari kedua netranya. Tangisan bisu Icha yang sering tanpa sadar pecah saat memikirkan dia yang di ujung sana. Tangisan diam-diam, yang hanya dia yang tau sudah berapa banyak, pecah untuk cowok di seberang sana ini. Ya Tuhan, dia kangen kangen kedekatan mereka yang dulu. Jika saja dia diberi kesempatan, dia ingin memperbaikinya. Benarkah? "Mind if I came to visit this evening?" "Ya." Jawabnya agak sedikit terlalu cepat. Suara Icha pecah karena menahan isakan. Terdengar sentakan nafas tajam di ujung sana. Seperti kaget? Tapi cowok itu memilih diam, mengabaikannya. "Okay. Rest well. See you." Azra akhirnya mengakhiri panggilan teleponnya. “See you.” Balasnya dengan susah payah. Tangis yang ditahan-tahan itu akhirnya pecah tak terkontrol. Mengguncang bahunya dan mencekik tenggorokannya. Icha... masih merindukan Jaja sama besarnya seperti 10 tahun yang lalu. Icha POV 8 tahun yang lalu Hesti datang pagi itu dengan muka kusut. Bahkan sapaannya dan sapaan beberapa temannya tidak diindahkannya. Icha menunggu Hesti di mejanya sebelum gilirannya menyapa. Dicuekin juga. Kok Déjà vu? Tapi bukan Icha kalau langsung nyerah. "Kenapa? Lagi ada masalah?" Tanyanya akhirnya. "Aku putus sama Azra." Jawabnya ketus. Icha kaget luar biasa. Kok?! "Kalian ada masalah? Bukannya kemaren masih oke?" "Masalah kita tuh kamu! Kenapa kamu gak bilang sih, kalo kamu kenal sama Azra? Kenapa kamu selalu ngebayangin Azra sih? Bikin dia gak nyaman! Kita putus gara-gara aku deket sama kamu! Dan dia nggak suka itu! Puas?! Aku nyesel ngajak kamu ke festival olah raga kemarin!" Setelah berkata begitu, Hesti mengemasi tasnya dan pindah ke bangku kosong di sebelah Jamal yang memang tidak ditempati. Meninggalkan Icha yang terbengong kaget, kok jadi dia yang jadi alas an mereka putus? Bahkan Icha dan Azra saja belum saling ngobrol selama bertahun-tahun. Kemaren adalah pertama kalinya mereka bertukar sapa setelah hari itu. Hari pertama semester genap kelas tiga SMP. Bahkan mereka nggak saling mengucap kalimat perpisahan saat kelulusan. Hesti tidak pernah kembali lagi ke bangku lamanya sejak saat itu, dan seberapapun Icha mencoba, Hesti tetap saja menganggapnya tak terlihat. Pola yang sama. Dekat lalu ditinggalkan. Masih mending Hesti kasih penjelasan. Yang dulu pergi malah langsung ciao aja tanpa pamitan. Kali ini pun sama, Icha ditinggalkan teman dekatnya tanpa tau alasannya pastinya. Memang kenapa sih, kalau dia dekat dengan Hesti? Masalahnya dimana?  Disisi lain, saat Icha bercerita kepada Nisya dan Ida tentang Hesti dan Azra yang sudah putus karena alasan yang diungkap Hesti, mereka berdua malah kaget. Karena yang mereka tau, Azra sudah jadian dengan adik kelas mereka. Sejak seminggu yang lalu. Icha pusing. Teka teki ini tak sanggup dipecahkannya. Terlalu banyak soal tanpa ada petunjuk. Kenapa Jaja bersikap seperti ini padanya, kenapa dia memutus hubungan sepihak dengannya, kenapa dia dan Hesti putus karena Icha padahal Azra jadian dengan orang lain, dan kenapa Azra sekarang jadi Womanizer? Kenapa?? *** "Hai. Can I come in?" Sapa Azra di depan pintu. Icha menyingkir menyilakan dia masuk. Azra membawa baki yang tertutup di tangan kanannya. Lengan kemejanya tergulung hingga siku, membuat penampilannya terlihat agak santai. Dari bajunya, Icha tau dia langsung kesini begitu kegiatannya selesai. Icha buru-buru mandi tadi begitu dia mendapat pesan dari Azra yang sedang menuju ke hotelnya. Dia bahkan tidak sempat berdandan dan mengeringkan rambutnya yang setengah basah terkena air. Dia hanya sempat mandi dan mengganti dasternya dengan kaus dan celana kulot yang lebih ‘pantas’ untuk menerima tamu. Azra langsung masuk begitu dipersilakan. Dia mengikuti Azra menuju sofa double di sebelah ranjangnya yang dilengkapi dengan coffee table. Untung juga tadi dia sempat merapikan kasurnya, sehingga nggak terlihat terlalu acak-acakan. Mereka duduk disana dalam diam, saling menunggu. Canggung luar biasa. Icha nggak suka keadaan begini, Dia memang pendiam, tapi dia nggak suka kesunyian. Dia menikmati suara-suara yang bisa ditangkap indera pendengarnya. Tapi tidak kali ini, dia terlalu takut untuk mengambil inisiatif terlebih dahulu. Takut dicuekin. Takut ditolak. Azra akhirnya mengalah dan menghalau sunyi diantara mereka. "You look pale. You sure you're feeling better?" Icha reflek memegangi pipinya, lalu mengangguk mengiyakan pertanyaan Azra. Matanya masih menunduk memandangi jari kakinya. Hatinya tak karuan saat ini. Berdebar kencang, tapi juga gelisah. Begitu banyak perasaan bercampur menjadi satu menuntut jawaban. Tapi dengan tega, Icha menelan semuanya kembali. Belum. Icha masih belum berani. Sepanjang siang dia merutuki jawabannya yang tanpa berpikir mengiyakan Azra untuk mampir ke kamarnya. Keputusan bodoh yang masih disesalinya sampai sekarang. Icha tidak suka atmosfer canggung seperti ini, dan lebih-lebih ini terjadi dengan Azra. Rasanya seperti tercekik, nggak nyaman! "Ibu Bapak apa kabar?" Azra mencoba lagi. "Baik." "Mas dan adek?" "Baik juga." Bukan maksud Icha untuk tidak menanggapi. Tapi dia bingung harus memberikan tanggapan yang bagaimana. Jadi dia lebih banyak diam. “Cha…” “Hmm?” Dia kaget saat jemari Azra memegang dagunya dan meluruskan tatapan matanya pada Azra. Azra terlihat tenang, tapi juga... gusar? Tidak sabar? Matanya menyiratkan berbagai macam emosi yang sulit dipahami Icha. Ibu jarinya mengusap dagunya pelan membuatnya sulit berfikir. “Hai, how are you?” Hah? Kan tadi udah? "It's been a long time, Cha. Too long. We'll make time to catch up later, would you?" Ah, ternyata ngomongin yang lain, bukan keadaannya karena sakit kemaren. Mereka saling bertatapan seperti itu selama beberapa saat. Rasa kagetnya karena jemari Azra yang menangkup dagunya raib. Kini, dia menikmati belaian konstan yang diberikan Azra pada salah satu sisi wajahnya tersebut. Matanya tanpa sadar berubah sayu. Sebelum Icha sempat mengangguk menjawab pertanyaan Azra, cowok itu sudah lebih dulu memajukan kepalanya dan menempelkan bibirnya di bibir Icha. Reflek, Icha menjauh karena kaget, tapi Azra menyambungnya lagi, menempelkan bibirnya di bibir Icha. Itu bukan ciuman yang menggebu-gebu dan penuh gairah, bukan. Hanya sekedar dua pasang bibir yang saling menempel. Sebentar, mungkin hanya beberapa detik? Beberapa detik yang membuat semua indera di tubuh Icha jadi luar biasa sensitive. Mereka kemudian saling menjauh diikuti rona merah yang merambati pipi keduanya. Meski menjauh, Azra masih tidak melepaskan tangannya dari dagu Icha. Membuat Icha seperti terhipnotis karena usapan ibu jarinya. Kenapa dia tidak mengelak, adalah pertanyaan yang bahkan tidak pernah sampai pada otaknya. "Makan dulu ya." Tangannya yang satunya lagi menangkup tangan Icha, lalu membawanya ke bibir dan mengecupnya. Icha linglung. Jadi dia hanya diam saja dan membiarkan Azra yang mengambil inisiatif. Dibukanya tudung saji yang menutupi nampan yang dibawanya tadi. Azra membawa Beef Cordon Bleu di bakinya. Icha mengernyit. Dengan sigap dia memotongnya menjadi potongan kecil, dan menyuapkannya ke Icha. Sungguh. Demi apapun Icha bingung luar biasa. Jantungnya masih berdentam menghantam dadanya, kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan tapi bibirnya hanya mampu mengeluarkan isakan. Ya, Icha menangis, di depan Azra, setelah 10 tahun berlalu, Icha menangis di depan orang lain lagi.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD