10 Tahun lalu
Hari ini adalah hari pertama Classmeeting. Minggu bebas yang diadakan sekolah sebagai ajang unjuk gigi kebolehan dan kekompakan antar kelas yang biasanya dipanitiai oleh OSIS. Ujian Akhir Semester berakhir minggu lalu. Lomba olahraga dan festival seni menggaung memenuhi seluruh atmosfer SMP Nusantara. Karena gerbang dibuka sepanjang hari, banyak siswa ndableg yang datang siang dan pulang gasik. Beberapa dari siswa ndableg itu adalah lima pelajar bandel yang ngumpet dari kejaran wali kelas karena tidak ingin mengikuti lomba dan festival apapun. Mereka sedang ngadem di bawah pohon akasia di belakang aula yang pasti sepi karena sebagian besar massa siswa berkumpul di lapangan dan halaman utama sekolah.
Kelima siswa ndableg itu adalah Hafid, Nisya, Ida, Icha dan Azra, tapi teman-teman dekatnya memanggilnya Jaja. Mereka berhasil kabur setelah mengarang sejuta alasan untuk absen dari kegiatan kelas. Padahal Hafid wakil ketua kelas dan merupakan salah satu anggota OSIS SMP Nusantara. Bersama Jaja juga.
"Eh yakin nih gak kenapa - napa? Kamu kan OSIS, Fid." Icha bertanya untuk kesekian kalinya sambil menatap khawatir. Dari tadi dia yang paling riwil.
"Alah, udah. OSIS kan kerjaannya ngerapatin sama jadi penyelenggara. Udah jalan gini ya biar yang jadi panitia lah yang sibuk." Dia masih asik memilih kartu apa yang akan dikeluarkan karena sebentar lagi gilirannya.
Iya, mereka sedang main UNO di bawah pohon di belakang sekolah. Yang kalah bakal diolesi bedak bayi yang dibawa-bawa Icha di tasnya.
"Mampos! Makan tuh draw empat!" Jaja berseru girang. Di sebelahnya, Hafid menggumam asem sambil mengambil empat kartu jatahnya. "Udah sik. Udah kelas tiga kita tu. Dua tahun kemaren kan kita ikut mulu! Mau jadi jerapah apa aku, main basket terus. Nanti kalo baju sama celanaku jadi cingkrang semua siapa yang mau nyumbang?" Jaja mendadak curhat.
"Udah, terima nasib aja, kamu tu. Nanti pas bikin KTP tinggi kamu udah dua meter!" Nisya meramalkan nasib Jaja dua tahun kedepan. "Nih, Fid, tak kasih kesempatan balas dendam ke Jaja." Katanya sambil melempar kartu reverse. Yang lain bersorak kompak ‘Aamiin!’
"Woy, jangan diaminin dong!" Jaja protes tidak terima didoain tingginya dua meter, yang lain ketawa.
"Kamu aneh deh! Orang - orang pada cari cara biar nggak bantet, biar tingginya nambah, kamu malah ngeluh ketinggian mulu!" Ida menyambung.
"Dia aja yang lebay. Orang tingginya paling juga beda dua tiga centi doing sama si Hafid, lagaknya kaya uda yang paling tinggi sedunia. Adoh!" Cubitan gemas Jaja mendarat di Pipi Icha. Yang jadi korban mendelik tak terima.
Jaja selalu begitu, 'memperkosa' pipi Icha semena-mena. Bacanya mencubit secara paksa ya, bukan memperkosa yang lain. Kalau di protes, jawabnya selalu sama 'habis gemes, itu pipi bakpao banget, gembil-gembil empuk, ada lesung pipinya pulak', setelah itu biasanya Nisya, Hafid dan Ida akan kompak senggol-senggolan sambil bilang cieee. Ya gimana nggak di ciee ya, kalo soal pipi bakpao, Ida, Nisya dan Icha kebetulan kompak punya badan yang setipe sehingga pipi mereka juga terlihat chubby, apalagi saat masa puber seperti ini, baby fat nya belum luntur. Tapi selalu yang jadi korban ke-gemes-an Jaja cuma pipi Icha.
"Bantet diem aja." Icha mendelik. Nisya dan Ida ikut berseru protes tak terima. Tinggi mereka sama, loh! "Trio bantet hahahaha."
"Ih nyebelin banget sik jadi orang!!" Icha menabur baby powdernya ke muka Jaja, membuatnya terbatuk karena nggak sengaja menghirup serbuk bedaknya saat tertawa. Salah siapa ketawa ngakak sampe kek gitu. Icha puas karena balas dendamnya sukses. "Sukurin!"
"Mukamu kayak lakon ketoprak, Bro!" Hafid ngakak sampe terjengkang ke belakang.
"UNO!" Teriak Ida tak peduli dengan kegaduhan di sekitarnya. Dia sudah amat sangat terbiasa dikelilingi makhluk-makhluk berisik ini. Baru begini, itungannya masih kecil, masih cemen. Mendengar teriakannya, yang lain melongo melihat kartu di tangan ida tinggal satu. "Lanjut kamu, Petruk!"
Dia memang suka ngegas kalo ngomong. Semua yang diucapkannya, kalau ditulis, akan diakhiri dengan tanda seru. Tapi Ida yang paling kalem di segala situasi di circle mereka. Dia selalu berperan jadi induk ayam bagi keempatnya.
"Siapa, Petruk?" Jaja sok bertanya, menantang Ida.
Wah, dikira Ida nggak berani ditantang sama Jaja. "Kamu lah, apa mau dipanggil Gareng, aja?! Kan pas, kamu kerempeng, tinggi!" yang lain terpingkal mendengar penjelasan Ida, sementara Jaja bersungut kesal. Asem memang Ida, nih.
Rusuh memang kalo lima anggota pandawa SMP Nusantara ini berkumpul, ramainya ngalahin massa di lapangan depan yang sedang heboh jadi supporter dan menyoraki kelas mereka yang sedang bertanding basket.
"Bagus, ya! Malah bolos disini," tawa mereka terhenti dengan tatapan bingung dan kaget. Bu Dewi, guru BK mereka, berkacak pinggang dengan membawa tongkat rotan favoritnya. "Semuanya ikut saya ke kantor!"
***
Current Icha's POV
"Is this seat taken?" Azra berdiri menjulang di seberangnya, membuat Icha nyaris tersedak. Nafsu makannya yang tinggal seupil sekarang tercecer entah dimana jadi hilang seketika.
Tya dengan sumringah langsung dengan sigap menyingkirkan tasnya dari satu-satunya kursi yang tersisa di meja mereka. Dengan senyum manis dia menjawab. "Silakan. Have a seat, Sir."
"Azra, please." Elaknya dengan senyum ramah. "Dari Jogja kan, ya?" Tya mengangguk mengiyakan, masih tersenyum manis. Icha takut, nanti gigi Tya akan kering dan bibirnya akan tetap seperti itu jika dia terus-terusan tersenyum lebar. "Ini tahun pertama saya, jadi belum banyak kenal dari mana-mana."
"Sama, Pak. Ini juga tahun pertama saya. Icha tahun kemaren ikut, gantiin Manager Outbound yang lagi maternity leave, iya kan, Cha?" Icha mengangguk kaku seperti engsel kurang oli.
Azra menatap padanya sebentar sambil tersenyum, lalu memulai makan. Azra tidak tampak seperti mengenalnya. Hanya tatapan sekilas biasa demi sopan santun saat menyapa orang asing. "Saya sambil makan, ya."
"Silakan, Pak ehehehe."
Icha masih menunduk kaku. Chicken soup yang diambilnya karena sedang tidak selera makan, dan baru habis setengah, kini diaduk-aduk tanpa henti. Seolah jika dia tekun mengaduknya, jawabannya atas pertanyaan-pertanyaan di kepalanya akan muncul dari sana.
Di antara beberapa meja yang masih menyisakan satu atau dua bangku kosong, kenapa Azra memilih meja ini? Kenapa nggak sama Carmen atau sama Rashida yang tadi terlihat akrab saat mengobrol dengan Azra? Pertanyaan-pertanyaan sejenis itu terus terulang di kepalanya.
"Cha, aku mau ambil minum? Mau sekalian?" reflek dia mengangguki tawaran Tya. "Pak Azra mau juga?"
"Boleh kalau nggak ngerepotin." Azra menjawab masih dengan senyum pepsodent nya.
Tya berlalu, membuat Icha gagap sendiri. Loh loh, kok aku ditinggal berdua sama dia? Dia menjerit dalam hati. Diliriknya Azra cepat. Dia masih sibuk dengan makanannya tanpa repot-repot untuk menoleh ke arah icha.
Hmmm... aku dikacangin. Kok gak heran, ya. Icha ngedumel dongkol, tapi tetap tak berani bersuara.
Inisiatif Icha sudah habis untuk menuntut penjelasan Azra, mengajaknya berbaikan, yang selalu berakhir dengan dikacangin, dicuekin, bahkan dianggap tidak terlihat. Membuat Icha jadi insecure sendiri kalau ada cowok itu di sekitarnya.
Getar hape yang dia taruh di atas meja menyelamatkan Icha dari keheningan yang mulai membuatnya tercekik tak nyaman. Ibu, telepon. Icha sudah berpesan pada Ibu untuk menghubunginya di jam makan siang atau malam hari saat sudah di hotel. Ibunya memang suka khawatir berlebihan, lebih tepatnya Bapak yang suka kepikiran kalau anak perempuan satu-satunya ini sedang dalam perjalanan dinas.
Dia tersenyum senang sebelum menggeser layarnya ke kanan. "Iya, Bu? Ini lagi makan. Nanti mulai 30 menit lagi." Jawabnya melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. "nggak, ah. Mau langsung pulang ke hotel aja, istirahat." Dia menyimak sebentar sebelum terkekeh pelan, "apa, sih Ibu, pasti suruhan Bapak deh, ngomong begitu. Iya, Icha gak macem-macem," Dia sudah asyik dengan dunianya sendiri, sampai di suatu waktu tak sengaja tatapan matanya bersirobok dengan netra Azra di depannya. Selama beberapa detik, saling mengunci, membuat detak jantung Icha selip satu kali, lalu memulai lagi dengan hebatnya. "Eh iya, Bu. Iya. Waalaikumsalam, Bu."
Teleponnya sudah terputus, begitupun dengan tatapan mereka. Tya juga sudah kembali ke meja mereka. Tapi debaran di d**a Icha belum mau melambat.