10 tahun lalu
Mereka berlima berdesakan di ruang BK yang agak sempit karena letaknya berada di pojok koridor. Bu Dewi mencatat sesuatu di kertas yang nantinya harus mereka berikan kepada orang tua mereka masing-masing.
"Selamat siang." Pak Widodo, kepala sekolah SMP Nusantara yang sedari tadi ditunggu Bu Dewi akhirnya tiba.
Dengan wajah sumringah, bersemangat, tapi masih terlihat nyebelin di mata anak-anai itu, Bu Dewi berdiri, memberi laporan pada Pak Widodo. "Pak Kepsek, saya menangkap basah mereka bolos dari kegiatan sekolah dan malah bermain kartu di belakang aula."
"Kan jam bebas, Bu..."
"Diam! Masih kecil hobinya membantah! Kalo ada orang tua ngomong di dengerin!" Bu Dewi dengan ketus memotong pembelaan Icha. Yang ditegur langsung ciut. Icha yang berbadan kecil seolah berusaha agar badannya makin kecil tak terlihat. Takut. "Jadi saya sudah menyiapkan surat panggilan kepada orang tua. Silahkan bapak tanda tangan disini."
"Maaf, Bu, sebelumnya." Kali ini Hafid yang bersuara. Suaranya dibikin halus dengan tujuan mengambil hati. Biar ada bedanya lah, anak OSIS yang ikut pelatihan leadership sama murid biasa. "Tadi sepanjang jalan ke kantor, banyak anak yang juga tidak mengikuti kegiatan dan malah berdiam di kelas, kenapa cuma kita yang dipanggil, Bu?"
"Mereka belajar di kelas." Bu Dewi melambaikan tongkatnya jengah.
"Tadi ada yang main Gitar, Bu." Nisya merajuk.
"Bu Dewi." Pak Widodo akhirnya menengahi. "Benar yang dikatakan anak-anak ini, sekarang jam bebas, dan mereka tidak mendapat jatah untuk bertanding mewakili kelas mereka, begitu?" kelimanya mengangguk cepat, serempak. "Jadi, menurut saya, tidak salah kalau mereka ngaso sebentar di belakang. Teguran saja cukup bagi mereka."
"Tapi, Pak, mereka murid kelas favorite, nanti kalau anak-anak yang lain tau, mereka bisa protes karena iri. Kita bisa dibilang pilih kasih, loh."
Pak Widodo menggeleng pelan. "Saya rasa tidak. Justru karena mereka murid-murid kelas favorite, akan lebih mudah menangani mereka karena mereka mudah diatur. Setelah ini, kalian ke lapangan, ya. Support teman-teman kalian yang bertanding."
"Baik, Pak!"
Pak Widodo tersenyum pada Bu Dewi yang masih tidak terima. "Kalian sudah boleh pergi."
Berbondong-bondong dan buru-buru mereka meninggalkan pojok BK keramat dan mulai berlari-lari kecil ke lapangan futsal. Ngadem. Yang penting kan udah jadi supporter.
"Bu Dewi ngebet banget, sih pengen kita dapet masalah." Nisya mengeluh setibanya mereka di lapangan futsal indoor.
"Kayak gak tau aja dia gimana, apalagi ada Icha." Jaja menyenggol anak kelas satu, menyuruhnya pindah ke bangku depan yang masih kosong.
"Maaf ya temen-temen." Icha terduduk lesu.
Sudah jadi rahasia umum di antara mereka kalau Bu Dewi suka cari gara-gara dengan Icha. Alasannya adalah... balas dendam karena sakit hati. Bapaknya Icha, Pak Joko, dan Bu Dewi sempat menjalin hubungan dulu di masa muda, tapi kandas karena Pak Joko lebih memilih untuk menuruti orang tuanya dan dijodohkan dengan Bu Umi, Ibu Icha. Walaupun sudah hampir 17 tahun berlalu, rupanya dendam Bu Dewi masih membara. Santer terdengar kabar kalau sampai sekarang Bu Dewi nggak menikah gara-gara gagal move on. Apalagi Icha benar-benar mirip Ibunya, membuat Bu Dewi semakin semena-mena membully nya. Icha pernah melaporkan hal ini pada Pak Widodo, Kepala Sekolah, tapi setelah ditegur bukannya membaik, Bu Dewi malah seperti api disiram minyak. Untung di tahun terakhirnya ini dia tidak diajar Bu Dewi untuk bimbingan konseling. Bisa-bisa bukannya memilih SMA sesuai nilai dan minatnya, dia malah dikuliti hidup-hidup. Hiiy!!
"Udah, gapapa. Kan gak diapa-apain juga." Jaja mengelus puncak kepala Icha yang sejajar dengan dagunya.
"Ehm! Gatel gini, tenggorokanku. Da, permen, dong!"
Hafid berdehem keras dibuat-buat. Jelas sekali karena melihat perlakuan Jaja ke Icha. Jaja mendecih kesal, sementara Icha menatap Hafid kasihan dan khawatir.
Dia juga clueless kalau dalam hitungan hari, Jaja tak akan lagi sedekat ini dengannya.
***
Current Icha's POV
Yearly meeting baru saja kelar. Sekarang jam 6 sore waktu Bangkok. Dari hotel tempat meeting berlangsung ke hotel tempatnya menginap, butuh waktu sekitar 10 menit jalan kaki.
Karena banyaknya peserta Yearly Management Meeting, tempat menginap juga disebar di beberapa hotel di Bangkok. Yang beruntung mendapat hotel yang sama dengan tempat berlangsungnya meeting, biasanya jajaran menejemen atas. Sekelas menejer dan managing director. Dan yang apes, harus berjalan jauh bahkan sampai menggunakan transportasi umum untuk sampai ke tempat meeting. Icha masih belum paham mengenai pembagian hotel ini. Mungkin disesuaikan dengan Sales Target, mungkin juga disesuaikan dengan Most Requested Destination. Apapun itu, Yang jelas, dia bersyukur hotelnya tidak jauh-jauh amat dari tempat meeting dan lokasinya juga cukup strategis di lingkungan turis. Dan yang penting, hotelnya bagus dan dia dapat kamarnya sendiri. Dia juga kebetulan mengenal semua teman-teman sales yang menginap di hotel yang sama dengannya.
Tya tidak ikut pulang bersamanya, dia tadi langsung menghilang bersama rombongan dari Myanmar yang ingin mencoba street food di Bangkok. Dia juga diajak tadi sebenarnya, tapi dia menolak. Dia capek. Lahir dan batin. Hari ini too much baginya. 10 tahun lamanya dia berusaha menata hati, menerima kenyataan bahwa dia tidak akan bisa bertemu dengan Azra secara 'normal' lagi. Bahwa berbaikan dengan Azra hanyalah isapan jempol belaka. Sudah 10 tahun usahanya untuk mencari cara agar hubungannya dengan Azra membaik, tapi selalu gagal di setiap kesempatan yang tak pernah dia duga. Ya, Azra tak pernah benar-benar pergi dari hidupnya. Selalu saja ada orang di sekitarnya yang menghubungkannya kembali dengan cowok itu.
Dan dia kalah. Selalu, di setiap kesempatan. Hari ini tak terkecuali. Dia butuh seseorang untuk bersandar disaat-saat seperti ini. Tapi tak ada seorangpun disini yang mengetahui kisahnya dengan Azra.
Tangannya meraih hapenya dan mulai mengetikkan sesuatu di group chat. Dia butuh sahabat-sahabatnya.
IchaAryani: Guys?
IchaAryani: Aku kok baru tau Azra sekantor sama aku, ya..
NisyaAhmad: Serius, Cha? Dia ngenalin kamu nggak?
FaridaZein: Sekarang dimana?! Mau Conference Call? Hafid lagi ngapain?!
IchaAryani: Ini lagi jalan pulang ke hotel.
IchaAryani: Gak perlu lah, gini aja. Hafid kan lembur, ini akhir bulan
FaridaZein: Aih, pantesan chat gue g ada yang di bales lagi sama dia!
NisyaAhmad: Kamu gapapa kan, Cha? Hafid, kalo kamu tau sesuatu tentang ini tapi g ada bilang ke kita, awas aja!
IchaAryani: Aku gapapa. Dia keknya g ngenalin aku. Tadi sempet semeja juga pas makan. Tapi aku masih gak berani ngobrol sama dia ehehehe
FaridaZein: Diemin aja kalo dia gak ngobrol sama lo! Jatah lo buat baik-baikin dia udah abis!
FaridaZein: Nis, jangan galak ama laki gue! Cuma gw yang boleh galakin!
Al-Hafiid: Makasih sayang
NisyaAhmad: Ew, get a room! Dasar pasangan edun!
Al-Hafid: Eh gue gak tau apa-apa sumpah! Dia kalo main tempat gue jarang cerita tentang kerjaan. Tapi sebelum berangkat ke Bangkok dia ada bilang gue sih, mau kesono urusan kerjaan
Al-Hafid: Lo bener gpp kan Cha?
Icha sampai di lobby hotelnya. Setelah meminta kunci dari reception, dia naik ke lantai 3 tempat kamarnya berada. Dibiarkannya chat Hafid menggantung tanpa jawaban. Dia ingin baik-baik saja, tapi nyatanya, perasaannya amburadul tak karuan. Serpihan hati yang selama sepuluh tahun berusaha dipungutinya kini tercecer kembali.
Why did you do this to me, Ja?