“Caranya makan kuaci itu sampai habis kalau bisa beli juga permen dan kacang nenek sekalian,” jawabnya sambil tersenyum-senyum membuat gue dan Santi menggaruk kepala. Ini namanya marketing tingkat tinggi. Sempat-sempatnya jualan di saat konsultasi.
“Lain kali, ya, Nek. Habisin kuacinya dulu. Mari Nek kami pergi dulu.” Santi menarik tangan gue segera menjauh.
“Nasib kalian akan tertukar setelah makan kuaci itu,” teriak si nenek yang mulai nggak waras. Mana mungkin karena kuaci nasib gue bisa kayak Santi. Ya, gue sih bersyukur, tapi kasihan Santi kalau nasibnya kayak gue.Saat gue dan Santi menoleh ke belakang ternyata nenek itu sudah menghilang.
Cepat banget jalannya, tadi masih duduk di sana.
Gue berusaha berpikir positif mungkin si nenek terburu-buru. Gue dan Santi duduk di bangku taman. Santi mulai asyik dengan kuaci yang dibeli membuat gue penasaran kenapa dia suka biji bunga matahari.
“Enak, San?” Santi menoleh lalu memberikan kuaci yang sudah ia buka. Gue yang penasaran pun mencoba makan biji bunga itu. Ternyata enak juga, ada rasa gurih, asin dan manis, benar saja si Santi suka.
“Kalau misal lo jadi gue apa yang akan lo lakuin?” Santi mengusap dagunya berpikir.
“Yang jelas gue mau menyingkirkan kacang yang ada di wajah lo sampai habis.” Santi berusaha memegang wajah gue, tapi untungnya dengan cepat gue bisa menghindar. Bisa semakin parah jerawat gue kalau dipegang-pegang sama tangannya yang belum dicuci.
“Gue gemes lihat jerawat lo,” ucap Santi masih berusaha ingin memegang wajah gue.
“Jangan di sentuh nanti tambah banyak.” Santi tidak menghiraukan ucapan gue. Kalau seperti ini jalan satu-satunya adalah kabur.
“Pinat tungguin gue,” teriak Santi saat gue berlari meninggalkannya.
***
Hujan mengguyur lebat malam ini. Gue harap tidak ada banjir di depan rumah besok pagi. Got depan rumah selalu dibersihkan setiap Minggu supaya air tidak meluap masuk ke halaman membawa sampah. Kadang gue kesal lihat anak-anak atau orang tua yang buang sampah ke got. Habis minum plastiknya dibuang begitu saja. Heran gue kenapa susah banget di suruh buang sampah di tempatnya.
Kilat menyambar diikuti suara gemuruh yang menakutkan. Setelah kejadian sore tadi membuat gue takut tidur sendiri. Wajah nenek itu masih terbayang di pikiran gue bahkan tidak mau menghilang sedikit pun. Rasa takut semakin menjadi saat mengingat kuaci yang gue makan. Kalau dipikir lagi mana ada kuaci yang bisa mengubah hidup seseorang, kecuali punya pabrik kuaci. Kalau pun benar yang dikatakan nenek itu, gue rasa kuaci jadi makanan langka karena banyak orang yang mau mengubah hidupnya.
Ponsel gue bergetar. Dengan cepat gue ambil selimut untuk menutup seluruh tubuh. Santi mengirim pesan bahwa dia merasakan sesuatu yang aneh. Ia takut dan juga gelisah sama seperti yang gue rasakan. Gue coba menenangkan Santi dan hati gue sendiri. Semua akan baik-baik saja dan gue percaya besok akan berjalan seperti biasa. Malam semakin larut dan mata ini semakin berat. Belum ada tanda-tanda hujan akan mereda dan kesadaran gue perlahan menghilang.
***
Beberapa kali suara aneh berdering dekat telinga gue. Suara itu asing dan tidak pernah terdengar. Tangan ini terulur menggapai benda kecil yang tidak henti berdering. Mata gue terbuka, melihat banyaknya pesan yang terlihat dari layar ponsel. Mungkin gue sedang mimpi karena semua nama yang menghubungi gue adalah pria. Tapi kenapa ponsel gue berbeda?
Bukan hanya ponsel, selimut dan semua yang ada di kamar gue berubah. Mirip kamarnya Santi, tapi kenapa gue bisa berada di kamarnya. Apa gue masih bermimpi? Beberapa kali gue cubit pipi dan merasakan sakitnya. Gue segera duduk di tempat tidur. Tidak salah lagi ini adalah kamar Santi. Foto keluarganya terpajang jelas di atas meja riasnya belum lagi ada beberapa koleksi boneka di sebuah lemari kaca. Semua barang itu milik Santi.
“Kenapa gue ada di sini?”
Seingat gue semalam hujan lebat ditambah petir menyambar menakutkan. Gue semakin bingung terlebih tidak ada Santi di samping gue. Semoga saja gue nggak tidur sambil jalan semalam. Kalau pun gue tidur sambil jalan nggak masuk akal juga. Rumah gue dan Santi cukup jauh. Gue berjalan ke jendela untuk melihat halaman. Kalau benar semalam hujan itu artinya gue memang benar ada di kamar, bukan di rumah Santi. Namun, daun-daun dan jalanan terlihat kering tidak menyisakan tetesan air seperti setelah hujan. Jalanan pun tidak terlihat basah.
Bahkan langit hari ini sangat cerah. Kaki gue terasa lemas, bingung dengan situasi yang telah terjadi. Mungkin ini adalah mimpi. Gue harus segera bangun. Suara motor terdengar dari bawah. Itu suara motor Radit. Ia bersiap berangkat ke kantor. Radit adalah tetangga Santi jadi ini bukan ilusi atau pun mimpi. Gue harus segera menghubungi Santi.
Ponsel di atas tempat tidur terus berdering. Gue coba membuka ponsel milik Santi. Namun layarnya terkunci jadi tidak bisa menghubunginya. Gue berjalan pelan ke kamar mandi. Setelah mencuci muka rencananya gue akan pulang ke rumah.
“AAAA!”
Gue benar-benar kaget. Ini tidak mungkin. Bagaiman bisa ada wajah Santi di cermin. Beberapa kali gue ucek mata berharap yang gue lihat hanya bayangan, tapi wajah Santi di cermin tidak menghilang. Tidak mungkin kalau jiwa kami tertukar. Bagaimana ini bisa terjadi?
Ketukan pintu menyadarkan gue dari lamunan. Setelah merasa lebih tenang gue keluar dari kamar mandi bergegas membuka pintu. Sinta berdiri di depan pintu dengan wajah tidak suka. Ingin sekali gue minta tolong sama Sinta tapi itu tidak mungkin karena bagaimana pun juga tidak boleh ada yang tahu tentang ini. Termasuk Sinta.
“Kak Santi ngapain teriak sih? Cepat mandi ditunggu sama papa dan mama di bawah.” Sinta berbalik. Namun, dengan cepat gue meraih tangannya.
“Jadi aku benar Santi?”
“Bicara apa sih? Gak jelas,” gumam Sinta.
“Sinta boleh pinjam ponselnya? Pulsa kakak habis.” Dengan senyum lima jari akhirnya Sinta memberikan ponselnya.
“Jangan pakai buat hubungi cowok nanti nomor ponsel gue viral,” ucapnya ketus. Sinta membuka kunci layar ponselnya lalu memberikannya ke gue. Sinta pergi setelahnya lalu gue masuk ke kamar Santi dan berusaha menghubungi nomor ponsel gue.
Tidak butuh waktu lama panggilan diterima. Di seberang sana seorang wanita sedang menangis sesenggukan.
“San, ini gue Kanaya.”
“Nat… kenapa gue ada di sini? Balikin tubuh gue,” teriak Santi.
“Gue gak tahu. Pokoknya kita bertemu sekarang. Kita harus bicara, temui gue di taman kanak-kanak,ya.”
Sambungan terputus. Gue bergegas mandi dan mengganti pakaian. Sialnya semua pakaian Santi adalah rok. Ini pertama kalinya gue pakai rok setelah lulus dari SMA. Rok pendek yang menutupi sampai sebatas lutut. Gue benar-benar tidak nyaman dengan penampilan ini.
Setelah selesai bersiap gue bergegas turun menemui keluarga Santi. Di sana Om Darvin dan Tante Vina duduk berdampingan sementara Sinta duduk dekat Om Darvin sambil memainkan MP3 player miliknya. Gue benar-benar canggung sarapan dengan keluarga Santi walau mama kami adalah sahabat.
“Selamat pagi semua.” Gue berusaha menyapa. Namun, mereka menatap dengan kening mengkerut. Bahkan Om Davin sampai melipat koran yang ia baca. Gue tarik kursi di samping Sinta lalu memberikan gadis itu ponselnya.
“Terima kasih, ya, Sinta, nanti pulsanya kakak ganti.” Sinta melepas headset yang menggantung di telinganya. Ia menatap gue dengan mulut terbuka. Semoga saja Sinta tidak menyadari perubahan sikap Santi.
“Kak Santi sehat, kan?” tanya Sinta membuat gue mengangguk.
“Sehat kok apalagi tidur nyenyak karena hujan.” Lagi mereka menatap gue dengan pandangan aneh.
“Hujan? Mana ada hujan semalam? Kamu jangan banyak nonton film horror deh, Santi. Kemarin itu gerah banget sampai mama kepanasan walau ada AC di kamar,” ucap Tante Vina.
Gue semakin bingung. Hujan dengan petir menyambar itu terasa nyata. Gue tidak mungkin salah. Bahkan kilat semalam sangat menakutkan. Kami mulai makan dalam diam kemudian Sinta membuka percakapan.
“Kak Santi bisa antar aku ke kampus?” tanya Sinta.
“Boleh, nanti bareng-bareng naik angkot, ya.”
Mereka berhenti menyuapkan makanan ke dalam mulut. “Kamu, kan punya mobil, San. Kenapa mau naik angkot?” tanya Om Darvin .
“Itu… aku cuma mau naik angkot, Pa. Lagi malas nyetir mobil.”
Kalau gue nyetir mobil bukannya sampai di taman kanak-kanak tapi malah masuk rumah sakit. Gue masih mau hidup untuk mencari tahu sebenarnya jodoh gue siapa. Mereka mengangguk membuat gue lega. Setidaknya untuk saat ini mereka tidak curiga. Sinta menyelesaikan makannya dengan cepat. Ia terlihat tidak senang, gue sedikit bingung sebenarnya seburuk apa hubungan Santi dengan adiknya. Kenapa setiap kali Sinta bicara terdengar ketus dan tidak suka.
“Aku berangkat, ya, Ma, Pa.” Santi mencium kedua pipi Om Darvin dan Tante Vina. Gue buru-buru menghabiskan sarapan. Kasihan makanannya kalau sisa. Mubazir. Sinta menatap gue sebentar lalu pergi begitu saja.
“Tante eh mama, papa aku juga pergi, ya.” Sebagai anak yang berbakti dengan orang tua gue juga harus mencium tangan Om Darvin dan Tante Vina. Namun, anehnya mereka hanya mematung saat gue melakukannya.
“Kamu benar-benar sehat, ‘kan, San? Apa kita perlu ke rumah sakit?” Tante Vina terlihat cemas. Sepertinya sikap gue yang terlalu sopan menjadi boomerang. Mereka bisa curiga.
“Aku sehat dan kuat, kok. Aku pergi dulu,ya.”
Cepat-cepat gue berlari menyusul Sinta. Gadis itu sudah berjalan jauh terpaksa gue berlari mengejarnya. Napas gue ngos-ngosan saat berjalan bersisian. Namun, Sinta semakin mempercepat jalan membuat gue kembali tertinggal.
“Kamu kenapa Sinta? Marah karena aku malas nyetir?” Sinta tidak menolah kakinya terus melangkah cepat dan lebar. Hubungan Santi dan adiknya ternyata lebih buruk dari dugaan gue. Gue jadi khawatir kalau Santi ada di rumah gue. Apa kabarnya Kak Stefan kalau tinggal sama Santi, bisa dirayu juga kakak gue. Tidak. Gue harus buat peringatan untuk Santi.
“Kakak minta maaf kalau ada salah, tapi jangan diam terus dong. Bicara apa yang buat kamu marah.” Sinta menghentikan langkahnya. Ia menatap gue lekat. Ini pertama kalinya Sinta terlihat menakutkan biasanya setiap kali gue main ke rumahnya, dia selalu bersikap baik.
“Kak Santi kenapa sih? Tadi pagi teriak-teriak gak jelas sekarang tiba-tiba minta maaf. Gak seperti biasanya.”
“Gak kenapa-kenapa cuma lagi happy. Iya, lagi happy.” Gue berusaha tersenyum lebar. Namun, senyum itu semakin membuat alis Sinta menukik tajam. Apa yang harus gue lakukan agar si Sinta bersikap baik sama gue. Kalau dia curigaan terus cepat atau lambat dia akan tahu kalau gue bukan kakaknya. Walau secara fisik gue adalah Santi, tapi jiwa gue tetap Kanaya.
“Eh ada angkot, ayo cepat naik sebelum penuh.”
Gue tarik tangan Sinta untuk masuk ke angkot. Kami duduk berdampingan dalam diam. Sesekali kami saling melirik dan itu membuat Sinta tersenyum. Tiba-tiba kami tertawa bersama. Mungkin ini adalah hal baru bagi Sinta naik angkot dengan Santi. Gue senang akhirnya Sinta bisa tersenyum saat melihat wajah kakaknya. Biasanya dari jarak 100 meter wajah mereka berdua sudah tertekuk kesal.
Angkot berhenti di depan sebuah universitas. Tertulis nama Universitas Maha Prasasti Indonesia. Jadi ini universitas keren di tahun 2021 yang dikenal dengan nama Universitas MPASI. Gue pernah dengar tentang universitas ini terkenal se-Nusantara. Gue yakin Sinta orang yang pintar sehingga bisa masuk ke universitas terkenal nomor dua di Indonesia. Sungguh luar biasa.
“Kak Santi aku ngampus dulu, ya. Bye.”
Sinta buru-buru keluar dari angkot. Gue melambaikan tangan padanya dan dibalas ragu-ragu oleh Sinta. Tidak masalah kalau ia masih kaku, gue janji akan membuat hubungan Santi dan Sinta menjadi lebih baik lagi. Setidaknya layak disebut saudara kandung bukan rival.
Angkot yang gue tumpangi kini berhenti beberapa meter dari taman kanak-kanak. Gue rindu sama anak-anak tapi dengan keadaan sekarang gue tidak bisa mengajar mereka. Mobil putih melintas di samping gue. Itu mobil Kak Stefan jadi dia nganterin Santi kerja.
Kenapa gue jadi rindu Kak Stefan pada hal setiap hari kita ribut terus. Apa ini yang namanya kalau jauh kangen kalau dekat berantem terus. Santi keluar dari mobil Kak Stefan begitu juga dengan Kak Stefan. Seperti biasa Kak Stefan akan meminta tangannya dicium. Itu yang dia lakukan sama gue, tapi mengingat yang ada di tubuh itu adalah Santi jadi gue harus menggagalkannya.
Santi berjinjit membuat gue berlari cepat sebelum dia mencium Kak Stefan. Dari gelagatnya Santi ingin mencium pipi Kak Stefan. Itu tidak boleh terjadi. Amit-amit gue menciumnya. Akhirnya gue menarik tangan Santi dan berhasil menggagalkan niat itu. Santi gagal mencium Kak Stefan dan itu membuat gue lega. Namun, Santi terlihat kesal.
“Pagi Kak Stefan apa kabar?” tanya gue seramah mungkin.
“Lho? Santi? Kamu ngapain di sini? Mobil kamu mana?” tanya Kak Stefan sambil mencari mobil yang biasa Santi pakai.
“Anu Kak, itu… aku lagi malas nyetir jadi ke mana-mana pakai taksi atau angkot.” Kak Stefan mengangguk. Pandangan Kak Stefan beralih pada Santi. Ia mengusap pelan kepala Santi dan itu membuat gue iri. Biasanya Kak Stefan melakukan itu ke gue tapi melihat perhatiannya pada Santi membuat hati gue sakit. Meski gue tahu Kak Stefan melihat Santi sebagai sosok Kanaya, tapi tetap saja gue tidak bisa terima.
“Jangan cemberut gitu, Nyet. Nanti anak didik lo kabur dan gak ada yang mau diajar sama lo terus lo dipecat dan jadi pengangguran,” kata Kak Stefan. Mulutnya memang lebih pedas dari bon cabai.
“Kok doanya jelek banget,” keluh Santi. Kak Stefan lalu pamit pergi dan itu membuat gue lega. Setidaknya gue tidak perlu bersandiwara lagi. Santi menarik tangan gue masuk ke halaman sekolah. Kami mencari tempat yang lebih sepi.
“Kenapa bisa seperti ini sih, Nat?” tanya Santi membuat gue jadi ikutan bingung.
“Gue juga gak tahu, semalam hujan lebat, tapi menurut pengakuan orang rumah kemarin gak ada hujan.”
Santi setuju apa yang gue katakan jadi kemungkinan besar hanya kita berdua yang mendengar dan merasakan gemuruh tadi malam. Gue dan Santi semakin tidak mengerti.
“Apa ada hubungannya dengan nenek itu? Jiwa kita tertukar setelah bertemu si nenek, terus pas kita lihat si nenek cepat banget hilangnya.”
“Jangan-jangan nenek itu hantu.”
Gue dan Santi seketika merinding.