Makan Malam

1421 Words
Setelah pemotretan selesai gue segera mengganti baju. Celana panjang yang ketat ditambah baju model one soulder menjadi pilihan gue karena semua pakaian Santi yang terbuka. Pakaian ini lebih sopan dari yang lainnya. Sepatu sport warna biru menjadi paduan yang harmonis dari penampilan gue. Tumben-tumbennya bisa merasakan pakaian bermerk biasanya juga beli pakaian kalau ada big sale. Saat keluar dari ruangan ternyata Max sudah menunggu. Ia sempat berbincang sebentar dengan rekan perempuan sebelum ia menghampiri gue. “San, kamu mau temani aku makan malam di apartemen? Aku mau buat makanan special buat kamu,” ujar Max membuat gue terdiam. “Kamu bisa masak?” Max mengangguk membuat gue kagum. Jarang sekali bisa menemukan pria yang bisa masak. Walau di luar sana sangat banyak, tapi menurut gue orang seperti Max sangat jarang. Seorang model yang sibuk bisa masak itu luar biasa. Gue sebagai perempuan saja masih kaku kalau berada di dapur. “Boleh.” Max terlihat senang. Tangan besar terasa halus saat menyentuh kulit. Senyuman Max membuat perasaan gue jadi aneh. Kami jalan bersisian tidak jarang beberapa rekan menggoda saat berpapasan. Max terlihat senang saat menanggapinya. Mobil putih berhenti di depan kami. Seorang pria keluar lalu memberikan kuncinya pada Max. Pria itu membuka pintu buat gue. Inikah rasanya memiliki pacar seperti Max. Dia sangat perhatian dan memperlakukan wanita dengan baik. Andai yang dia lihat saat ini adalah Kanaya mungkin gue tidak akan ragu lagi menunjukkan rasa tertarik pada Max. Gue hanya bisa mengandai karena Max melihat gue sebagai Santi. “Kita mampir ke supermarket dulu, ya,” ujar Max saat duduk di belakang kemudi. “Iya, gak apa-apa.” Max menoleh membuat gue gugup. Ia mencondongkan tubuhnya membuat jarak kita semakin dekat. Max meraih sabuk pengaman lalu memasangkannya. Gue langsung menatap jendela setelah Max selesai memasangkan sabuk pengaman. Mobil bergerak meninggalkan tempat studio. Ini pertama kalinya gue merasa gugup sampai malu melihat wajah Max. Meski pria itu hanya diam tetap saja membuat jantung gue berdebar kencang. “Kamu suka makan apa, San?” tanya Max membuat gue langsung menoleh sebentar. “Aku tidak pernah pilih-pilih makanan.” Max mengangguk. Ia kemudian menghentikan mobilnya saat lampu menyala merah. Ini membuat gue semakin berdebar terlebih Max bisa leluasa menatap gue. “Kamu tegang sekali. Apa kamu kurang nyaman saat bersamaku?” Max menatap lekat. Gue berusaha tersenyum agar terlihat relaks tapi gue rasa itu tidak membantu karena Max kembali menatap ke depan. “Aku sebenarnya sedang gugup. Ini pertama kalinya naik mobil bersama cowok.” Max kembali menatap dengan wajah berbinar. “Benarkah?” “Iya, maksudnya ini pertama kali aku naik mobil sama cowok rekan kerja.” Gue berusaha meluruskan. Tentu menjaga harga diri Santi sudah menjadi kewajiban gue. Mobil kembali melaju membuat gue lega. Kami sampai di supermarket. Max mengambil sebuah troli untuk menampung barang belanja. Kami mulai berkeliling dari rak satu ke yang lain. Hal yang membuat gue kagum dengan Max adalah dia tahu apa manfaat dari setiap barang yang kita beli. Max terlihat cerdas.Gue rasa dia lebih cocok bekerja sebagai koki. “Dulu aku pernah belajar memasak. Saat itu aku ingin sekali menjadi koki terkenal,” ujar Max menjawab semua pertanyaan gue. “Kenapa kamu bisa jadi model?” Max meletakkan corn sweet seukuran kaleng minuman ke dalam troli. “Papa bangkrut. Aku harus bekerja keras untuk membayar hutang dan bertahan hidup. Seorang teman menawari pekerjaan ini. Aku menjalaninya sampai saat ini.” Kami melanjutkan ke bagian daging. Max memilih daging berkualitas. Pria itu tidak pernah tanggung-tanggung. “Tidak ada yang tahu bagaimana nasib seseorang. Kau berhasil melalui masa sulitmu hingga menjadi seperti sekarang.” Kami membeli beberapa makanan ringan dan minuman kaleng sebelum pergi ke kasir untuk membayar. Berbelanja dengan Max sungguh menyenangkan. Selain bisa bicara banyak hal gue juga tahu sedikit hal tentang dirinya. Apartemen mewah yang ditempati Max seorang diri cukup luas. Saat pertama kali masuk mata ini sudah dihipnotis dengan berbagai hiasan dinding. Max sepertinya mempunyai jiwa seni, terlihat banyaknya ukiran kayu dan lukisan terpasang pada dinding. Kaki ini langsung bergerak menuju salah satu lukisan seorang wanita yang sedang termenung. “Selera kamu bagus.” Max meletakkan tas belanja di atas meja. Ia berdiri di samping gue sambil berkacak pinggang. “Semua benda ini pemberian orang. Aku tidak tahu harus meletakkannya di mana,” ujar Max membuat gue menoleh. “Pemberian siapa? Fans kamu?” Max mengangkat bahunya. “Aku pikir mereka tidak bisa dikatakan fans.” Max berbalik lalu mengambil barang belanjaan itu kemudian membawanya ke dapur. Gue menyusul Max ke dapur. Melihat pria itu memakai apron dan rambut panjangnya diikat membuat perasaan gue semakin tidak karuan. Beruntung sekali Santi bisa disukai pria seperti Max. Gue akui dia pria yang bisa membuat gue jatuh cinta. Max berbeda dengan mantan pacar Santi yang lain. Ponsel gue bergetar. Sebuah nomor tak dikenal. Ragu-ragu gue terima panggilannya, sedetik kemudian gue menyesal. Pria yang bernama Aldo itu mengatakan ingin kembali pada Santi. Seketika gue paham apa yang Santi rasakan selama ini. “Maaf, Aldo. Gue sudah punya pacar. Jangan hubungi gue lagi. Masih banyak wanita di luar sana yang jomblo.” Gue langsung menutup panggilan dengan kesal. Ternyata sejak tadi Max memperhatikan gue. Rasa malu membuat wajah gue panas. Max bertumpu pada meja, tubuhnya membungkuk saat menatapku. “Mantan kamu?” tanya Max. Sorot matanya berubah tajam. “Orang iseng yang ngaku mantan pacar.” “Jadi gossip itu benar kalau kamu punya banyak mantan?” Gue ingin sekali mengiyakan pertanyaan Max tapi demi menjaga nama baik Santu gue langsung menyangkalnya. Bisa-bisa Santi marah kalau gue membongkar rahasia jumlah mantannya. “Jadi kamu percaya gossip murahan itu?” Gue balik bertanya pada Max membuat pria itu melanjutkan kegiatannya. Max tidak bicara membuat gue merasa kalau dia sedang kesal. “Banyak gossip miring di luar sana. Aku tidak tahu kenapa mereka bisa memberitakan sesuatu yang belum tentu benar dan tanpa konfirmasi.” Max mematikan kompor saat gue berdiri di sampingnya. “Aku tidak percaya dengan berita itu.” Max menarik tangan gue tiba-tiba. Tangan kekarnya melilit tubuh gue sampai tidak bisa bergerak. Tubuh tegap dan kekarnya terasa sangat nyaman. “Aku suka sama kamu, Santi. Sejak pertama bertemu kamu sudah menarik perhatianku,” ucap Max. Jarak kami sangat dekat. Bau citrus menguar dari tubuh Max memenuhi indra penciuman. Ini pertama kali gue bisa dekat dengan seorang pria, kalau bukan karena Santi mungkin hal ini tidak akan terjadi. Max menundukkan tubuh tingginya hingga jarak wajah kami semakin terkikis. Deru napas masing-masing terasa di kulit wajah. Mataku terpejam saat wajah Max semakin dekat. Sekelebat bayangan Santi terlintas di pikiran. Gue langsung sadar bahwa yang disukai Max bukan Kanaya tapi Santi. Cepat-cepat gue melepaskan diri dari pelukan Max yang membuat pria itu mengernyit heran. Ada rasa sakit saat tahu orang yang dicintai justru menyukai sahabat sendiri. Gue harus sadar Max mungkin sama dengan pria lain di luar sana saat melihat gue sebagai Kanaya. “Kenapa?” tanya Max saat gue berusaha menghindar. “Aku lapar. Makanannya sudah jadi?” Gue berusaha bersikap biasa seolah tidak terjadi apa pun. Max mengusap leher belakangnya dan tersenyum kaku. “Oh, iya. Sebentar lagi siap.” Max kembali memasak membuat gue bernapas lega. Setelah beberapa menit makanan siap. Beef steak with herb butter. Itulah nama yang disebutkan Max untuk dua porsi makanan di depan gue. Masakan Max jangan diragukan lagi. Gue rasa dia bisa jadi koki hebat. Masakannya pas ap alagi di lidah gue yang sering makan cilok sama gorengan. “Oh iya aku juga dengar berita negative dari kamu,” ujar Max membuat gue berhenti mengunyah daging. Perasaan si Santi tidak ada sisi positifnya di dunia maya. Semua pemberitannya negative semua. “Apa?” “Katanya kamu suka kentut sembarangan,” ucap Max santai. Gue heran seberapa terkenalnya Santi sekarang, sampai kentutnya juga jadi pemberitaan. Gue yakin kalau headline berita menuliskan tentang kentut Santi pasti bayak yang klik. Kalau Santi yang mendengarnya langsung dari Max mungkin dia malu setengah mati aibnya terbongkar, tapi karena gue bukan Santi maka dengan keyakinan penuh gue mengangguk. “Kalau itu bukan berita negative, tapi positif. Kentut itu menandakan tubuh sehat dan pencernaan normal. Lagi pula suara kentut gue seksi. Mau dengar?” Max terawa kecil. Apa salahnya kentut? Kalau tidak kentut bisa masuk rumah sakit karena perut kembung dan sakit yang luar biasa. “Ini pertama kalinya aku mendengar ada kentut suaranya seksi. Kamu lucu juga San,” sahut Max. Hidup gue sudah lucu dari lahir jadi tidak heran saat orang melihat gue mereka tertawa. Menertawakan semua hal dalam hidup gue mulai dari jodoh, fisik hingga pekerjaan. Telinga gue sudah kebal. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD