Mantannya Santi

1766 Words
Bekerja sebagai model membuat tenaga gue terkuras habis. Bayangkan waktu kerjanya bisa seharian. Belum lagi harus menahan lapar karena terlalu padatnya pemotretan. Gue sampai enggan lihat kamera. “San, aku pulang duluan, ya,” ujar teman model gue bersama seorang pria. Mungkin itu kekasihnya. Pria itu mengedipkan sebelah matanya saat tatapan kami bertemu. Gue selalu berpikir positif, mungkin cowoknya lagi sakit mata. “Iya, hati-hati di jalan,” sahut gue yang masih menghapus make-up. Setelah berganti pakaian dan menghapus make-up selesai sekarang gue bingung bagaimana caranya pulang. Gue tidak bawa kendaraan. Harusnya gue tukaran kendaraan dengan Santi. Terpaksa naik taksi lagi. Sambil menunggu taksi online yang gue pesan tiba, gue asyik memainkan game cacing-cacingan. Awalnya berjalan seru dan menyenangkan, tapi lama-lama gue merasa takut. Seperti ada yang mengawasi. Gue coba fokus bermain game tiba-tiba ponsel gue bergetar. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. Gue coba untuk cuek tapi orang itu terus menelepon. Ragu-ragu gue angkat teleponnya dan terdengar suara pria dari seberang sana. “Sayang kenapa lama sekali angkat teleponnya. Aku kangen sama kamu,” ujar pria itu. “Maaf, ini siapa, ya?” “Sama pacar sendiri lupa. Gini akibatnya kalau kamu sibuk. Kamu di mana sekarang?” Pria aneh itu terus bicara membuat gue bingung. “Sayang kamu dengar gak aku ngomong?” ucapnya. “Maaf, ini siapa ya?” “Oh, jadi kamu gak menganggap aku pacar kamu?” Nada suaranya meninggi membuat gue tersentak. Jangan-jangan Bram, kekasihnya Santi yang tidak ada kabar beberapa hari ini. “Sayang kalau marah lucu, deh. Pengen aku cubit ginjalnya.” Gue coba merayu berharap Bram tidak curiga. Jantung gue berdebar kencang, bukan karena cinta tapi karena takut ketahuan. Bram adalah pacar Santi itu artinya dia tahu kebiasaan Santi di telepon. “Aku mau ketemu kamu,” ucapnya. “Sekarang? Di mana?” “Di hotel saja, ya. Aku kangen banget berduaan sama kamu.” Firasat gue buruk saat Bram menyebut nama hotel. Sebagai jomblo abadi gue merasakan ada sinyal negatif di kepalanya. Seperti sirine yang terus berbunyi sepanjang jalan. Gue harus segera mencari alasan agar tidak bertemu dengan Bram. “Aduh, maaf sayang aku lagi gak enak badan. Aku juga lagi capek banget.” Kalau disuruh bohong gue adalah jagonya. Gue berani jamin si Bram gak akan minta bertemu lagi. “Kamu sakit apa, Sayang?” “Sakit macem-macem, panas dalam, sariawan, bibir pecah-pecah, tenggorokan kering, kantong kering dan masih banyak lagi, makanya di suruh istirahat dulu.” Gue merasa seperti sales penyakit. Entah kenapa nama penyakit itu yang keluar di kepala gue. Terutama kantong kering yang merupakan penyakit mematikan bagi semua orang. Dokter pun belum tentu bisa mengobati penyakit itu. “Iya, Sayang. Lebih baik kamu istirahat dulu biar cepat sembuh. Aku tutup dulu, ya, teleponnya. Bye, muah.” Sambungan terputus membuat gue bernapas lega. Taksi online yang gue pesan akhirnya tiba. Gue buru-buru masuk takut jika ada orang yang berniat jahat. “Santi,” ujar sopir saat gue selesai memasang sabuk pengaman. “Siapa, ya?” Pria itu berbalik menampakkan wajah tampannya. Jantung gue berdebar lebih kencang berharap pria ini bukan salah satu mantannya Santi. “Kamu pasti lupa, aku Aldo mantan pacar kamu di SMP,” jelasnya. Gue merasa tidak nyaman saat ia memperkenalkan diri sebagai mantan pacar. Kenapa sepertinya mantan Santi tersebar di sekitar gue. Berapa banyak, sih, pacarnya Santi? Setiap pria yang gue temui selalu mengenal Santi. “Oh, hai, Aldo apa kabar,” kata gue mencoba mengakrabkan diri. “Aku baik, kamu pindah ke depan saja biar enak ngobrolnya,” sahut Aldo. “Gak apa, gue nyaman kok duduk di sini. Gue lagi capek jadi malas pindah ke depan.” Aldo mengangguk lalu mulai menjalankan taksinya sepelan mungkin. Gue menyesal tidak membawa kendaraan pribadi. “Kamu sukses, ya, sekarang,” ucap Aldo memecah keheningan. “Terima kasih. Kamu juga sudah sukses.” Sukses bikin aku kaget, ucap gue dalam hati. “Mana ada, aku masih jadi sopir taksi dari dulu,” ujarnya merendah. “Sukses bukan dilihat dari pekerjaannya Aldo, gak harus banyak uang juga.” Mobil berhenti tepat di belakang garis putih. Lampu menyala merah membuat gue semakin kesal. Aldo menoleh lalu tersenyum lebar. “Kamu semakin cantik, San. Aku jadi ingat dulu saat kita pacaran, kamu suka banget sama sambal buatan ibu aku. Kamu gak kangen main ke rumah aku?” tanya Aldo. Sejak mengenal Santi gue belum tahu kalau dia suka sambal. “I-iya itu lain kali saja,ya.” Mobil kembali bergerak membuat gue semakin kesal. Aldo seolah sengaja memelankan mobilnya. Bahkan laju sepeda lebih kencang dari gerak mobilnya. Tiba-tiba Aldo menepikan mobilnya. “Kenapa Do?” tanya gue penasaran. “Gak tahu, kayaknya mogok.” Aldo segera turun memeriksa mobil. Ia berjongkok di depan ban depan. Gue yang penasaran segera turun melihatnya. “Kenapa Do?” “Ban kempes. Tunggu sebentar, ya, aku telpon teman yang kebetulan kerja di bengkel.” Aldo mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi seseorang. Setiap kali bertemu mantannya Santi nasib gue s**l terus. Seorang pria bermotor berhenti di belakang mobil. Dia melepaskan helm-nya lalu menghampiri gue. Wajahnya tidak terlalu asing dalam ingatan gue. “Santi,” panggilnya membuat gue teringat akan dirinya. “Rangga,”ucap gue ragu-ragu. “Ternyata lo masih ingat sama gue,” ucapnya. Rangga adalah salah satu teman gue dan Santi di SMA. Anaknya baik dan penurut. Walau kita beda kelas tapi hubungan kita cukup dekat setelah lomba ekstra kulikuler. Hampir semua guru menyukainya saat mengajar. Rangga juga termasuk orang yang pintar dan berprestasi. Ia adalah wakil ketua basket di SMA dulu. Tidak heran banyak gadis yang suka sama dia. “Kamu kenapa di sini?” tanya Rangga membuat lamunan gue buyar. “Aku mau pulang pakai taksi online tapi tiba-tiba ban mobilnya pecah,” jelas gue. “Pulang sama aku saja.” Rangga menarik tangan gue tapi dengan cepat Aldo menarik tangan gue satunya. “Maaf, mas ini pelanggan saya,” ucap Aldo membuat Rangga melepas tangan gue. “Nanti saya yang bayar biaya taksinya. Biar saya yang antar dia pulang, bapak tungguin mobilnya saja.” Kata Rangga. “Gak bisa gitu, Mas. Saya harus memastikan pelanggan aman sampai rumah,” ucap Aldo ngotot. Gue hanya diam melihat mereka adu mulut. Beginilah jadinya kalau mantan ketemu mantan bisa perang dunia. “Saya juga mantannya Santi,” ucap Rangga membuat gue terkejut. “Rangga lo sama Santi, maksudnya kita pernah pacaran?” ucap gue kaget. Rangga memegang kedua pundak gue. “Ya, pernah dong, Santi. Walau pacaran cuma seminggu tapi buat gue lo itu segalanya,” ujar Rangga. Ucapan Rangga membuat gue ingin pingsan. Gue temannya Santi dari embrio tidak tahu kalau mereka pernah pacaran. Ternyata pacarnya Santi lebih banyak dari perkiraan gue. “Lo kenal sama Kanaya? Lo masih ingat, kan?” Rangga menekuk alisnya seperti sedang berpikir. Sejenak ia terdiam, setelah itu dia tersenyum lebar. “Gak ingat? Dia siapa ya?” jawabnya. Gue merasa tidak adil. Saat SMA gue sama Santi tidak terpisahkan, mirip anak kembar kalau ke mana-mana harus barengan, tapi Rangga melupakan gue. Kalau benar Rangga pacaran dengan Santi harusnya dia tahu gue. Aldo kembali meminta agar gue mau menunggu sebentar. Namun, Rangga tetap bersikeras untuk meminta gue pulang bersamanya. Mendengar mereka yang adu mulut membuat gue jadi pusing. Entah sebuah keberuntungan atau Tuhan sedang berbaik hati sama gue, dari kejauhan terlihat Radit mengendarai motornya pelan. Gue melambaikan tangan. Namun, Radit tidak melihatnya. “Radit!” teriak gue membuat ia menepi. Rangga dan Aldo pun berhenti bicara lalu menatap gue. Radit pun menoleh lalu membuka kaca helm-nya. “Gue pulang sama Radit, mumpung kita searah. Bye.” Gue buru-buru menghampiri Radit lalu naik ke motornya. Radit hanya diam sampai gue memukul bahunya agar segera menjalankan motornya. Angin malam yang cukup kencang membuat tubuh gue menggigil untungnya Radit bukan pria yang suka ngebut. “Mereka siapa, San?” tanya Radit. “Mantan pacarnya Santi, kenapa?” Radit tetap fokus pada jalanan. “Dua-duanya mantan pacar lo?” ujar Radit lebih keras. Suara kendaraan sangat bising membuat gue dan Radit sedikit berteriak. “Kenapa lo kepo banget, sih?” “Lama-lama lo mirip Kanaya. Tanya ini dibilang kepo, tanya itu dibilang sok peduli.” “Bilang saja lo suka sama Kanaya. Ngaku lo, ingat Kanaya terus.” Gue coba menggoda Radit agar pria itu diam. “Sorry, level gue beda. Cewek seperti Kanaya itu bukan idaman,” ucap Radit membuat gue kesal. Apa yang salah sama gue? Karena gue gak cantik, gak seksi dan gak pintar bicara jadi dia bisa menilai gue serendah itu. Kenapa sih para pria suka melihat wanita dari luarnya saja. Radit benar-benar keterlaluan. “Turunin gue di depan. Gue bisa pulang sendiri.” “Rumah lo emang di depan,” ucap Radit lalu menghentikan motornya tepat di depan rumah gue. Tanpa mengucapkan terima kasih gue langsung masuk ke dalam. Radit membuat gue sakit hati. Air mata gue menetes. Menjadi sosok Kanaya memang tidak mudah. Gue sendiri bingung apa sebenarnya penyebab mereka gak suka sama gue. Gue pikir menjadi orang baik dan ramah sudah cukup buat mereka jatuh cinta, tapi ternyata gue salah. Seperti makanan walau isinya sedikit tapi kalau kemasannya cantik orang-orang pasti tertarik untuk membelinya. “Kenapa sih, mereka hanya melihat wanita dari luar. Apa gue harus cantik dulu baru mereka mau?” Air mata terus mengalir, gue teringat akan masa lalu. Setiap kali jalan dengan Santi para pria selalu menggodanya. Dia memang idaman para pria sementara gue sibuk menjadi figure yang tidak berarti. Ponsel gue bergetar. Beberapa pesan masuk bersamaan. Mereka adalah mantan-mantan Santi yang masih mencari perhatian. Bahkan saat mereka sudah putus Santi tetap menjadi orang yang mereka cari seakan dia wanita terakhir di dunia. Ponsel gue berbunyi lagi kali ini panggilan dari Santi. Buru-buru gue hapus air mata lalu menerima panggilannya. Santi mengatakan dia berada di depan rumah. Gue beranjak ke jendela melihat Santi berdiri di luar. Setelah panggilan terputus gue langsung turun menemui Santi. “Ada apa, San?” “Gue pengen nginep di sini. Gue kangen sama boneka dan kamar gue,” ucapnya lalu menerobos masuk. Gue bergegas menyusulnya ke kamar. Santi langsung merebahkan dirinya ke kasur matanya terpejam erat. “Gue ketemu sama Aldo dan Rangga. Mereka berdua mantan, lo?” Santi membuka matanya lalu duduk di pinggir tempat tidur. “Sebentar. Aldo yang mana?” “Mantan pacar lo di SMP terus si Rangga mantan SMA,” ujar gue membuat Santi mengusap dagunya. “Gue gak ingat sama mereka berdua. Cuekin aja.” Santi kembali berbaring memeluk bonekanya. Sayang gue tidak bisa cuek seperti Santi. Bahkan sekarang gue merasa bersalah pada dua pria itu. Semoga mereka tidak bertengkar atau adu pukulan setelah gue tinggal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD