Sembilan

2807 Words
Naya Lawrence perlu mengerahkan kemampuan sugestinya, hingga akhirnya dia meminjam berkas personalia dari lemari arsip terkunci James Maggie. Berkas tersebut sekarang tertutup dan diletakkan di hadapannya sesudah dipelajari semuanya. Naya meminum tehnya di sebuah kafe yang sepi saat dia merenungkan kembali informasi yang sudah dipelajarinya tentang Robert Flak. Usianya tiga puluh tahun, dan tiga tahun terakhirnya ada bersama CIA pada Divisi Kegiatan Khusus. Dalam tiga tahun itu, Flak mendapatkan Bintang Intelijen, karena tindakannya yang sangat berani di lapangan. Naya berpikir sejenak mengenai arti dari anugerah itu. Meskipun situasi yang menyebabkan dianugerahkannya medali itu dirahasiakan, Naya langsung mengerti kalua Flak pasti punya pengaruh tertentu dalam CIA sebab apa yang sudah dilakukannya. Tempo hari dia kaget saat mereka hanya saling memanggil nama depannya saja saat berbicara dengan Deputi Direktur Maggie. Mungkin ini juga menjelaskan kenapa Flak tidak terkait dengan CTC atau bagian kontra terorisme; tentu mereka sangat ingin merekrutnya kembali hanya karena ada kesempatan tertentu. File itu mencatat kegiatan Robert Flak selama tahun-tahun saat dia bergabung dengan CIA. Flak meninggalkan Angkatan Darat Amerika Serikat sebagai seorang mayor pada tahun 2001 karena desakan Komandan Pasukan Khusus. Naya menangkap konsekuensi perlunya persetujuan dari Kepala Staf Gabungan untuk melepas kepergian seorang prajurit dengan latar belakang seperti yang dimiliki Robert Flak. Catatan militer tahun 2001 itu menyebutksn berbagai macam penghargaan yang sudah diterima laki-laki itu: Palang Jasa Luar Biasa, Jasa Satu Daun, dan seterusnya. Naya tidak begitu tahu tentang tanda penghargaan militer, namun dia menyadari kalua Robert Flak pasti sangat terhormat di lingkungan orang yang menggunakan seragam tentara. Naya kemudian pun tahu kalua Flak berpendidikan tinggi. Dia memperoleh gelar sarjana dalam bidang administrasi bisnis di Universitas Chicago, sedang gelar masternya didapatkan dari Universitas Yale pada tahun 1994. Pada tahun itu pula Flak telah menjadi letnan satu sesudah melewati bagian penilaian dan Seleksi Pasukan Khusus, diikuti dengan keberhasilan mengikuti kursus Q di Fort Bragg. Sulit buat dipercaya, batin Naya. Robert Flak mencapai pangkat mayor dalam delapan tahun, dan temasuk dalam massa pengabdiannya itu dua tahun bergabung dengan suatu satuan, yang bernama SFOD-D1, di mana Naya tidak tahu menahu soal ini. Jelas termasuk kemajuan yang luar biasa. Robert Flak terlihat ditakdirkan untuk berada di jajaran perwira tinggi. Dia tidak tahu apa yang sudah dilakukan orang itu sehingga meninggalkan kariernya yang begitu gemilang. Tiba-tiba saja Naya teringat oleh sesuatu dan dia membuka kembali halaman terakhir dari berkas itu, mencari orang yang menandatangani berkas: Mayor Jenderal Michael Tronson, Komandan Pasukan Khusus Angkatan Darat Amerika Serikat. Dengan atau tanpa persetujuan Maggie. Naya Lawrence memutuskan untu berbicara dengan komandangn terakhir Flak.   ***   Dua hari kemudian saat Flak akhirnya pulang kembali ke Portland, hari dengan cepat sudah menjelang malam. Hampir tidak ada alasan baginya untuk diam menunggu di Washington sementara analis melakukan pekerjaannya, sehingga Maggie memberikan kepadanya waktu singkat untuk menangguhkan aktivitasnya. Kay tidak mengangkat teleponnya saat dia mencoba menghubungi sepanjang perjalanannya, sehingga saat dia melihat mobil Kay yang kecil itu parkir di depan rumah, hatinya sedikit lega. Udara di dalam rumah sama dinginnya dengan di luar. Flak langsung menuju ke ruang duduk, di mana dia segera menata kayu dengan teliti ke dalam perapian. Tidak lama sesudah api berkobar, mulailah kehangatan menyergap ke seluruh  ruangan. Saat berpaling, didapati Kay bersandar di pintu mengenakan celana jins ketat, sweeter wol agak longgar dan wajahnya penuh dengan kecemasan. Dia tengah memandangi Flak secara diam-diam. Buat Flak, rasanya suhu ruangan itu turun lagi, meskipun api masih menyala. Dilihatnya dari wajah Kay yang cemberut itu, rasanya dia tidak akan memperoleh sambutan hangat begitu tiba di rumahnya. ‘’Hai,’’ sapa Flak. Seketika sesudah kesenyapan yang menegangkan itu. ‘’Aku sangat merindukanmu.’’ ‘’Aku tahu dari caramu bergegas masuk untuk bicara padaku.’’ Flak mengangkat tangannya yang menandakan dirinya pasrah. ‘’Aku menelepon. Hingga detik terakhir. Kenapa kau tidak mengangkatnya?’’ Kay seperti goyah dalam beberapa detik. Itu adalah pertanyaan yang bagus, pikirnya. ‘’Kau tahu sebabnya. Aku tidak percaya kau pergi begitu saja… Sepertinya… Aku tidak tahu. Rasanya kau lupa aku ada di sini.’’ Wajah Flak menunjukkan perasaannya yang juga ikut menderita. ‘’Kay.., kau tahu bahwa itu salah. Dan itu tidak adil.’’ ‘’Apa kau berbohong padaku?’’ ‘’Tentang apa?’’ Cemberut di wajahnya berubah menjadi pandangan ragu. Kay jelas belum bisa mengerti. ‘’Kalau kamu sudah mengundurkan diri, Flak. Apakah kau sungguh-sungguh sudah mengundurkan diri tahun lalu?’’ Kay menatap mata Flak agak begitu lama, seolah-olah dia sedang mengukur kesungguhannya. ‘’Apabila kau benar sudah keluar dari CIA, lalu mengapa kau tergesa-gesa pergi ke Washington?’’katanya pelan. Untuk pertanyaan yang tepat itu Flak belum punya jawabannya. Kay mendapatkan kemenangan kecil, namun itu tidak mengubah sikapnya yang tidak senang. Saat bicara lagi, dari nada suaranya jelas bahwa dia sudah lelah berdebat. ‘’Kau tahu, aku takut bertanya di mana peringkatku dalam dunia ini. Apakah aku lebih rendah dari CIA? Bahkan lebih rendah dari sekelompok teroris gila di suatu negara ketiga yang berantakan?’’ ‘’Ini bukan tentang peringkatka, Kay.’’ Kay tersenyum sedih dan menundukkan wajahnya. ‘’Itu termasuk jawaban yang buruk, Flak.’’ Sambil diam-diam mengumpati dirinya sebab telah memberikan jawaban sebodoh itu, Flak menundukkan kepalanya. Ya, Tuhan, dia tidak pernah hebat dalam hal semacam ini. Selama bertahun-tahun lebih dari satu hubungan baiknya sudah gagal karena kekuranganya dalam hal itu. Dulu, dia tidak begitu peduli, namun saat ini Kay lebih berarti baginya daripada apa pun, maka dadanya terasa tercekat saat mendadak disadarinya kalau dia dapat kehilangan Kay juga. Saat gadis itu akhirnya memecah kesenyapan, dia sangat kaget oleh rasa lega yang didapatkannya. ‘’Flak, aku tahu kalua yang kau lakukan itu penting,’’ katanya dengan lembut. ‘’Aku tidak akan pernah menyangkalnya. Aku tidak memakamu untuk bicara soal itu, yang sebenarnya dapat dipisahkan dari diri kita. Cuma aku belum yakin jika aku dapat menanggungnya, namun aku mau mencobanya.’’ Kay menatapnya dengan citra berharap. ‘’Hal itu memang penting, kan? Kalau kita berdua berada di sini dan menghendakinya. Aku Cuma mau tahu posisiku dalam keberadaan kita.’’ ‘’Maafkan aku,’’ sahut Flak. ‘’Kau memang benar, aku kurang sadar diri.’’ Meskipun gak ragu, tapi kata-kataberikutnya tidak kurang berharga. ‘’Kay, kau tahu betapa berharganya dirimu buatku.’’ Kay sia sia berupaya mempertahankan terus amarahnya, sebab amarahnya sudah mereda. Sebuah senyuman tipis tersungging di sudut bibirnya. ‘’Apa kau serius?’’ Kay membuka tangannya. Kay melangkah ke arahnya. Mereka berpelukan dengan lembut. Bibir mereka bertemu. Lalu Flak memeluk Kay lebih erat, dan mendadak rangkulan mereka satu sama lain jauh lebih erat, hal ini tidak bisa dijelaskan. Flak berbisik di telinga Kay, ‘’Kau adalah segalanya buatku, Kay. Kau dan aku, di tempat ini, itu yang aku harapkan.’’ Dengan mata terpejam dan tangan yang masih setia mendekap Flak, Kay tidak tahu kenapa tadi dia begitu merasa kesal kepada laki-laki yang satu ini. Dia tahu apa yang mau dikatakan oleh Flak, dan untuk alasan tertentu tidak menjadi persoalan buatnya kalau Flak tidak mampu mengungkapkan dengan kata-kata. ‘’Aku juga mencintaimu.’’ Sekitar dua puluh tujuh kilo meter di sebelah selatan Jableh di Pantai Siria, seorang pengunjung biasa dapat memperhatikan begitu banyak hal tentang betapa indahnya pemandangan alam di sekitarnya. Boleh jadi dia dapat melukis matahari yang jingga itu saat dia mulai menyelinap perlahan-lahan, saat langit semburat merah yang kontras dengan air yang bekerlipan di Laut Tengah. Perbukitan yang melandai lembut sampai menjangkau bibir pantai perlu mendapat perhatian juga, semacam halnya jalan beraspal yang melintasi kontur tanah yang berhutan lebat. Suatu cerita tersendiri mungkin diperlukan bagi satu satunya bangunan yang bisa dilihat berkilo kilometre dari kejauhan, sebuah vila yang dindingnya didominasi menggunakan kapur putih dengan atap genteng Spanyol yang terlihat menyala di senja hari. Tapi pengunjung itu tidak akan melihat satu pun manusia yang berada di dalam gambar pemandangan itu. Di bawah lindungan pepohonan pinus yang menjulang, berbagi ruang tanah dengan pohon ek, sesosok tubuh diam bertiarap di bawah baying baying, di tanah yang kotor. Kapten Robert Flak mendengarkan dengan teliti lingkungan di sekelilingnya, menunggu dengan sabar komunikasi dari anggota lain dari Desatemen Operasi Alfa melalui radio sandi. Saat menengok ke belakang, dia senang karena prajurit lain tidak nampak. ‘’Zenie enam, emas satu, ganti.’’ Flak mengangkat radio Motoralanya dan bicara perlahan. ‘’Zenie enam, beri gambar kursimu. Enam satu. Enam keluar.’’ ‘’Sudah di tempatnya, tidak ada target yang tampak. Kelihatannya, biru dua di sebelah kiriku, ganti.’’ ‘’Tetap laporkan perkembangan.’’ Tanpa berpaling, Flak mengangkat tangan kanannya di udara dan memutar jari telunjuknya, memberi tanda supaya yang lain berlari ke tempatnya. Dalam tiga puluh detik, dia sudah dikelilingi oleh para anggota tim yang dipimpinnya. ‘’Oke, bagaimana keadaan kita?’’ Dia bertanya dengan lirih. ‘’Aman untuk maju, Pak,’’ seru Sersan Staf Thomas Bowe, dia termasuk anggota tim yang baru. Flak menatap wajah anak muda yang beapi-api itu, hal itu membuatnya mengenang dirinya sendiri pada memori empat tahun silam. Dia bersyukur jika pengalaman pertama prajurit ini dalam pertempuran merupakan suatu operasi yang agak lurus dan sedikit mudah jalannya. Yang lain mengangguk sepakat tanpa mengucapkan sepatah kata. Mereka menganggap apa yang mereka lakukan saat ini hanya perpanjangan dari suatu latihan saja. ‘’Kita akan maju menyusuri pinggiran hutan itu. Ingat, apabila penembak jitu kita memberikan infonya, kita harus menuruni bukit itu dengan segera. Tidak ada tempat berlindung di bagian itu, jadi jaga jarak di antara kita, Guarin, Lingard. Periksa mobil itu. Begitu kita mendapatkan konfirmasi pengamatan, kalian bergeraklah ke pintu masuk. Di dalam rumah jangan pernah meninggalkan suatu ruangan tanpa terlebih dulu memeriksa kamar itu aman.’’ Dia memandang setiap anggota regunya dengan tatapan serius. Lalu dia tersenyum lega. ‘’Pekerjaan mudah. Kalian tahun kenapa kita ada di sini. Ayo cepat selesaikan, setelah itu segera pulang.’’ ‘’Ya, Sir!’’ Setiap bibir merekah senyuman menyambut kata-kata. Lalu dari radio terdengar kode, diikuti suara yang lembut nan tenang. ‘’Zenie Enam, Biru Dua, ada gambaran. Satu kendaraan Mercedes hitam. Mulus. Beserta seorang pengemudi. Dua penumpang. Izin maju lampu hijau.’’ Flak langsung berseru. ‘’Emas Satu, ada target?’’ ‘’Roger. Diterima dan dimengerti, Zenie Enam.’’ Flak melambaikan tangannya diikuti para prajuritnya yang bergerak dari perimeter tempat mereka berkumpul ke arah pinggiran pepohonan. Mereka perlahan lahan merayap di sekitar tanaman yang tumbuh lebat di situ; masih-masih sudah meletakkan setiap barang metal dengan selotip listrik supaya tidak terjatuh. Tidak satu orang pun berharap akan bertemu patrol musuh, namun para prajurit pilihan yang termasuk Detasemen Operasi Alfa (ODA) 304 tidak mau mengambil risiko. Setelah tanah kosong yang landau itu tinggal lima puluh meter ke depan, terdengar letusan senapan jarak jauh yang keras menggema dari dalam pepohonan, disusul dengan dua bunyi letusan tembakan lagi. ‘’Enam, Emas Satu! Kendaraan sudah dilumpuhkan. Ulangi. Kendaraan sudah dilumpuhkan.’’ ‘’Maju!!!’’ Flak berseru. Pasukan itu telah bergerak maju, mendadak menyeruak di tempat yang terbuka. Suatu pikiran terlintas, seolah-olah meminta perhatiannya, namun Flak tidak begitu jelas memahaminya… Sesuatu yang berhubungan dengan arah datangnya suara tembakan. Separuh jalan saat menuruni tanah landau itu, Flak menydari kalua tidak ada orang lain di dalam mobil itu, kemudian mobil itu direm, berhenti di tengah jalan, tanpa kerusakan. Kaca jendelanya masih utuh. Dengan segera dia berteriak, ‘’Tiarap!!!’’ Para anggota regunya dengan segera bertiarap di tanah kecuali Thomas yang terlalu lamban menjatuhkan diri. Kay melihat dengan rasa tidak percaya: sebuah luka besar menganga di punggung prajurit muda itu, langsung sesudah terengar gema tembakan senapan dari seberang lembah kecil itu. Thomas tidak bersuara sedikit pun, Cuma terhuyung dua langkah ke depan sebelum jatuh terpuruk ke tanah. Empat prajurit lain yang tersisa menghambur maju ke arah jalanan di bawah. Flak mendapati dua orang bersenjata terlihat merunduk di belakang kendaraan itu dan yang ketiga terbaring tidak bergerak di dekat mereka, darahnya mengalir deras membasahi debu jalanan. Saat mengintip melalui teleskop yang terpasang pada senapan M4A1, Flak melepaskan tiga rentetan tembakan ke kepala seorang yang menjadi target utamanya. Saat memindahkan arah sasaran bidiknya, dia melihat salah seorang pasukannya sudah melumpuhkan teroris lain. Namun Kay mendadak menyadari Sersan Staf Lingard tidak bergerak, kemudian dia melihat ada genangan darah yang mengalir dari kepalanya, senapan mesin M249 terletak beberapa sentimeter dari jemarinya yang sudah tidak lagi berdaya. ‘’Biru Dua, apa yang terjadi di atas sana?’’ Flak berseru melalui radionya. Tapi sama sekali tidak ada jawaban. ‘’Biru Dua! Bicaralah!!!’’ Sepi. ‘’Apa yang terjadi, Pak?’’ Sersan Brown bertanya. ‘’Emas Satu, laporkan situasi!’’ Masih belum ada jawaban. Flak berusaha keras supaya suaranya tidak terdengar gemetar. Rasa takut menghantam dadanya, da merasakannya dan membenci dirinya sendiri, namun kini semua anggota regunya telah berada di tempat terbuka dan dia tidak memiliki waktu untuk berpikir apa yang salah kali ini. Keputusannya diambil secara mendadak. ‘Guarin, Bruss! Saat kami menembak. Kembalilah menyingkir ke tepi pepohonan secepat mungkin! Brown, tembak ke lokasi Tom,’’ serunya. Suatu pandangan terkejut dan bingung terlintas di wajah sersan itu. ‘’Sir, kita tidak bisa…’’ ‘’Lakukan!’’ teriaknya. ‘’Sekarang!!!’’ Rentetan tembakan berangsur angsur meletup dari moncong senapan M16A2 Brown. Flak pun menembak ke arah yang sama, meskipun dia tidak bisa menentukan dengan tepat tempat penembak jitu itu, yang kedudukannya memungkinkan dia beralih tempat dengan mudah di antara tetumbuhan di sekelilingnya. Flak mengumpat karena jangkauan tembaknya lebih pendek, lantaran dia hanya membawa senapan laras pendek, yang cuma ideal untuk pertempuran jarak dekat yang awalnya dicegah kejadiannya. Dia berseru lagi pada Brown. ‘’Isi peluru!’’ Dengan cepat dia mengganti magasin, mata Flak tidak beranjak dari tebing di mana dia menempatkan penembak jitunya. Dia memperkirakan jarak di antara mereka ialah empat ratus meter, suatu jarak tembak yang akan sulit dijangkaunya biarpun dalam keadaan terbaik sekalipun, nyaris tidak mungkin dilakukan menggunakan teleskop standar biasa. Dia melihat suatu silang semburat Cahaya diikuti dengan bunyi tembakan, Dan dari sudut matanya, dia melihat pemandangan mengerikan dari kepala Brown yang berantakan. Tembakan fatal pertama itu diikuti oleh empat yang lain. Hal itu menyebabkan Flak menahan diri untuk menjaga posisi tiarapnya pada tanah.  Dia menekankan pipinya agar terlindung oleh logam pada senapan serbunya. Panas yang terasa dari perlindungannya itu mendorongnya mengarahkan lagi moncong senjatanya itu secara mantap dengan lengan kirinya, lalu dengan cepat dia meraih picu dan menembak terus hingga kunci ruang pelurunya menunjukkan lagi kalua magasinya sudah kosong. Beberapa menit berlalu. Tidak ada gerakan dari tebing sana. ‘Guarin! Bruss!’’ Flak berseru. Tidak ada jawaban. Suatu perasaan sakit meremas hatinya saat disadarinya kalua bisa jadi tinggal dia sendirilah satu-satunya yang masih hidup di situ. Secara perlahan dia menoleh, dilihatnya tubuh kedua orang sersan dalam detasemen yang dipimpinnya. Sebagai seorang pemimpin, dia bertanggung jawab atas nyawa orang-orangnya. Lalu, apakah dibenarkan kalua hanya dia yang satu-satunya masih hidup? Tiba-tiba dia tidak peduli lagi pada hal itu. Dia berdiri dari tempatnya. Sesosok tubuh berdiri di atas bukit sana. Bayang tubuhnya tampak memanjang karena sinar matahari akan tenggelam di ujung sana. Karena merasakan terkena tembakan mendadak, Flak memandang dadanya sendiri. Apa yang tampak olehnya membuatnya tuli terhadap suara senapan yang mengerikan. Dia jatuh tersungkur ke tanah karena suara gemuruh radionya yang berjarak beberapa senti meter dari raihan tangannya. Lalu dia menyadari siapa orang yang berdiri di sisi bukit itu, yang bayangannya menjadi buram karena rasa sakit yang dirasakannya. Melalui semburat jingga yang sampai di ujung penglihatannya, Flak mengira dirinya mendapati senapan ringan Parker Hale M 85 yang tergantung di pundak kanan seseorang. Senjata yang sama itu selama delapan bulan silam, dipegang dan dirawat oleh satu orang, dan cuma satu orang  saja. Sosok tubuh Sersan kelas satu, Tom Norris yang diam saja di sana, di luar dugaan terus menerus pudar saat rasa sakitnya kian bertambah, dan Flak merasa semakin tidak bisa bernapas lagi. Dia tidak bisa bernapas…   ***   Robert Flak terbangun tanpa suara. Refleksi informasi perlahan masuk ke dalam benaknya, masing-masing percikan informasi itu mulai menampakkan sesuatu yang lebih jelas dari sebelumnya. Lembaran tipis terasa melekat pada tubuhnya yang basah kuyup oleh keringat. Saat getaran itu akhirnya menghilang meninggalkan tubuhnya, Flak mendadak menyadari Kay tengah berbisik lembut pada telinganya. Tangannya yang mungil merangkul tubuhnya, terasa memberi sebuah perlindungan dari belakang, dan jemarinya yang tampak seperti perak berkilat di atas bekas luka yang masih terlihat menonjol di dadanya. ‘’Sayang.., kau baik-baik saja? Kau berteriak begitu keras?’’ Suaranya terdengar sekali gemetaran. ‘’Kau akhir-akhir ini sering bermimpi, dan kelihatannya dari hari ke hari mimpimu makin buruk saja.’’ Flak masih terdiam. Dia lebih suka untuk tidak memikirkan apa pun selama mungkin. Dia hanya ingin merasakan kenyamanan dari tubuh Kay yang sedang mendekapnya. Sementara napas Kay berangsur angsur mereda. Dia sangat memahami hal itu, dan dia masih bertahan untuk terus mendekapnya. Dalam gelap, pusaran pemikiran terus menerus mencekam tanpa bisa dibendungnya. Tom Norris sudah membunuh semua orang yang sudah dianggap sebagai saudara baginya. Apabila suatu kesatuan tentara biasa memateri persahabatan seumur hidup, hubungan yang dibina di lingkungan Pasukan Khusu lebih menyerupai hubungan keluarga, bahkan seperti hubungan sedarah. Dan sekarang, orang yang diharapkannya sudah mati ternyata muncul kembali dari balik dunia di seberang sana—melakukan kejahatan yang lebih mengerikan lagi. Flak menganggap dirinya sudah dipersiapkan secara khusus untuk membunuh Tom. Dirinya merasa harus segera melunasi hutang hutangnya dari semua orang yang kehilangan nyawa di atas bukit yang jauh dari tanah airnya. Kapan dia akan membayar lunas hutangnya itu, dia tidak tahu pasti. Flak hanya tahu jika dialah orang yang harus melaksanakan itu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD