Tara meminta cuti dadakan selama satu minggu pada atasannya, dengan alasan ada urusan keluarga yang mendadak. Setelah seharian ia tinggal di hotel, Tara memutuskan kembali ke rumah di mana ia tak diinginkan. Tara tak mungkin menghilang begitu saja, dirinya masih memiliki kewajiban sebagai istri walau lelaki itu tak menganggapnya demikian. Biarkanlah dirinya tak diinginkan, namun ia tak bisa mengabaikan tugas utamanya.
Abimanyu tak menanyakan kabarnya, tak juga menghubungi ponselnya saat ia tak pulang ke rumah. Lelaki itu mungkin tak pulang lagi, hingga tak tahu Tara mengilang ataupun tidak pulang kemarin malam. Biarlah seperti itu, Tara tak ingin menjelaskan apa pun. Jangankan berbicara, menatap wajah lelaki itu terasa begitu sulit.
Tara sudah menyiapkan sarapan, membersihkan rumah, lalu membersihkan dirinya sendiri. Ia duduk di meja makan dan menyantap sarapannya seorang diri. Abimanyu entah kemana. Bathin Tara menyakini, jika lelaki itu pasti pulang ke rumah Dania. Tempat lelaki itu pulang, bukan lagi rumah yang mereka tempati saat keduanya mengikat hubungan dengan pernikahan. Rumah pemberian kedua orang tua Abimamyu untuk hadiah pernikahan mereka.
Tara masih ingat. Abimanyu menggendongnya ala bridal style saat keluar dari mobil mereka. Ia memamerkan rumah bergaya minimal dengan nuansa hitam putih itu pada Tara.
“Ini istana kita, Sayang. Mari kita bangun kerajaan kecil di sini,” bisik Abimanyu saat itu.
Perkataan yang membuat benak Tara mulai memikirkan banyak kisah-kisah yang akan mereka tulis di tempat itu. Kehidupan yang dipenuhi kebahagiaan dan juga suara anak-anak mereka yang tengah bermain di ruang keluarga. Saat akhir pekan, mereka semua akan berkumpul di ruang keluarga, menghabiskan waktu bersama dan bercanda ria—itu mimpinya dulu.
Lelaki itu menurunkan tubuh Tara begitu melewati pintu masuk dan mereka berdiri berhadapan. Berbagi senyum. “Kamu bisa mengubah desain atau apa pun yang kamu mau dari tempat ini. Ini adalah istana kita dan aku mau kamu merasa nyaman di sini. Kamu adalah tempatku pulang sesungguhnya, bukan bangunan ini, Tara,” ucap Abimanyu menatapnya dalam.
“Yang membuatku nyaman bukan mengubah sebuah bangunan, namun adanya dirimu, Mas,” jawab Tara sembari memeluk erat tubuh suaminya. Ya, tempat ternyaman bagi dirinya adalah di dalam dekapan lelaki itu. Di sisi lelaki itu membuat Tara bahagia.
Suara derap kaki yang mendekat, menginterupsi Tara yang tengah kembali ke masa lalu. Wanita itu mengarahkan wajah ke sumber suara. Abimanyu berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya. Tara melirik jam dinding, jam tujuh pagi, lelaki itu pasti baru pulang dan hanya ingin berganti pakaian. Kenapa tak sekalian saja ia membawa pakaiannya ke rumah perempuan itu, agar Tara tak merasa menjadi lemari yang hanya dibuka bila dibutuhkan? Menyimpan pakaian dan tak perlu diperhatikan jika sedang tak dibutuhkan.
Tara tersenyum lirih. “Kamu mau sarapan, Mas?”
“Boleh,” ucap lelaki itu singkat. Tara dengan sigap mengambil piring, mengisinya dengan nasi, sayur asem, sambal, dan ayam goreng buatannya, lalu menyajikannya di hadapan Abimanyu. Dirinya kembali mengambil tempat di sisi lelaki itu.
“Kamu nggak kerja? Tumben jam segini masih pakai pakaian rumah?” tanya Abimanyu di sela makan mereka. Tara terkejut sesaat, tak menyangka lelaki itu masih memperhatikannya. Namun sayang, semua itu hanyalah kesemuan semata, tak ada arti apa pun. Hanya sekadar omong kosong yang diucapkan untuk memecahkan kecangungan di meja makan.
“Ya,” jawab Tara singkat. Jawaban Tara yang begitu pendek, membuat Abimanyu menoleh ke arahnya. Lelaki itu menatap Tara penuh tanya, lalu segera mengarahkan pandangan ke arah lain. Ia tak ingin mencari tahu apa pun tentang Tara, entah mengapa dirinya tak peduli selama Tara tak menganggung kehidupannya.
Sudah lama sekali rasanya Abimanyu tak melihat Tara, ia baru sadar jika tubuh wanita itu mengurus dari sebelumnya. Lingkaran hitam pun menghiasi wajah wanita itu, wajahnya kusut dan tak lagi bercahaya seperti saat penikahan pertama mereka dulu. Mungkin inilah yang menyebabkan Abimanyu tak lagi mau memperhatikan wanita itu. Ia tak lagi menarik. Wajah ayu yang dulu membuatnya tak bosan, kini terasa hambar. Padahal, wanita itu baru berusia tiga puluh tahun. Andai saja, wanita itu bisa memperhatikan penampilannya, maka semua ini tak terjadi.
Melihat perubahan wanita itu semakin membuat Abimanyu yakin. Pernikahan mereka memang tak lagi bisa diselamatkan. Kini, hatinya bukan lagi milik wanita itu dan Abimanyu tak mau lagi membohongi diri sendiri dengan terus bertahan dalam pernikahan bak kapal karam itu.
“Sebenarnya, ada yang ingin kubicarakan padamu, Tara,” ucapan Abimanyu, menghentikan gerakan tangan Tara yang tengah menyuap makanan ke dalam mulut.
Jantungnya berhenti berdetak dalam hitungan detik, ada perih yang menyelinap masuk, menyesakkan dadanya. Tara mengigit kuat bibir bagian bawah, mencoba meredakan rasa sakit yang terasa begitu membunuh. Ia tahu, inilah saatnya. Di mana Abimanyu akan mengatakan jika tak ada lagi cinta di antara mereka dan hubungan mereka harus segera diakhiri. Inilah saat yang paling Tara takutkan. Melepaskan lelaki itu.
“Anu ... kita bicarakan nanti, Mas. Aku ada keperluan dan harus buru-buru,” ucap Tara sembari tersenyum kikuk. Sedetik kemudian, ia mengakat piring ke dapur dan berjalan meninggalkan Abimanyu dengan terburu-buru.
Sesampainya di dapur, ia segera mencuci piring bekas makannya. Tangannya mencengkram erat bagian tepi wastafel cuci piring. Tubuhnya bergetar, rasa takut dan juga sakit menyiksanya, melemahkan sepasang kakinya, tak sanggup menahan berat tubuhnya. Ia pun terkulai, menutup mulut dengan kedua tangannya karna tangis yang sedari tadi ditahannya, kini memberontak untuk dikeluarkan. Bagai diiris sembilu, sakit teramat sakit yang ia rasakan. Mengapa mereka bisa berakhir seperti ini? Mengapa cinta bisa berakhir?
Sebutlah dirinya pengecut, namun Tara belum siap dan tak mau melepaskan Abimanyu. Ya, dirinya memang egois. Salahkan saja cinta yang membuatnya seegois itu. Sudah lama ia menyukai lelaki itu. Sejak dirinya masih duduk di bangku SMA, sedangkan Abimanyu adalah mahasiswa baru, seangkatan dengan kakak lelakinya. Sejak pertemuan di pesta ulang tahun kakaknya, Tara tahu, lelaki itu lah yang diinginkannya untuk menjadi pemimpin bagi rumah tangganya di masa depan nanti. Ya, lelaki itu cinta pertama dan ia harap menjadi yang terakhir.
Tara mengusap kasar air matanya dan segera berdiri begitu mendengar langkah kaki yang mendekat. Ia menunduk dan terburu-buru meninggalkan dapur. Dirinya hancur berantakkan.
Sesampainya di kamar, Tara segera mengganti pakaian dan mengaplikasikan make up natural pada wajahnya, agar tak ada sesiapapun mampu melihat kesedihan dan keputusasaan yang tercipta karna hatinya yang telah hancur lebur. Inilah topeng yang bisa ia kenakan, senyum palsu dan juga riasan wajah yang dikenakan hanya untuk menutupi perasaan, bukan mempercantik diri. Aneh memang, mengapa cinta bisa begitu menghancurkan seseorang.
Abimanyu seakan ingin mengejarnya dan tak sabar mengutarakan isi hatinya. Sedari tadi ia mengejar Tara, hingga di kamar. Tara yang melihat kehadiran lelaki itu, segera menyambar tas tangannya dan tersenyum pada Abimanyu.
“Aku pergi dulu.”
“Kenapa kamu terburu-buru, Tara? Aku hanya mau berbicara sebentar.”
Tara memasang senyum palsu di wajahnya. “Kita masih punya banyak waktu, Mas. Untuk apa kamu terburu-buru mengatakan apa yang ingin kamu katakan. Aku beneran ada urusan mendadak dan nggak bisa menundanya,” ucap Tara, “kita bicarakan nanti, ya?” Tara menatap lelaki itu memohon. Ia ingin lelaki itu berhenti menyiksa bathinnya, ia hanya ingin memberikan sedikit ruang bagi hatinya yang terus-terusan dibunuh secara ganas. Ia memang pengecut.
Abimanyu mengangguk, tak bisa lagi memaksa. Tara mengucapkan terima kasih, lalu berlalu pergi meninggalkan lelaki itu. Air mata Tara mengalir begitu ia melangkah. Rasa pedih menyiksanya tanpa ampun. Rumah tangga apakah ini, bila di dalamnya mereka saling menyakiti dan menjauh?