Hari ini Tara khusus mengambil libur, guna bisa makan siang bersama Abimanyu. Jarak kantor yang lumayan jauh, membuat Tara tak mungkin makan siap tanpa meminta izin. Tadi pagi, Abimanyu tak menanyakan mengapa ia belum bersiap juga. Begitulah kehidupan rumah tangga mereka, hanya sepasang orang asing yang entah mengapa masih bertahan hidup di bawah satu atap. Konyol memang, bagai main rumah-rumahan, tak ada makna apa pun dari hungan mereka. Kepura-puraan yang menyesakkan d**a. Ingin pergi, namun tak sanggup.
Sebutlah Tara bodoh karna dirinya tak ‘kan mengeluh ataupun marah bila dikatakan demikian. Nyata, memang sebodoh itu dirinya. Bisa bertahan satu bulan lamanya berpura-pura tidak mengetahui apa pun yang lelaki itu lakukan di belakangnya. Bathin Tara terus menebak, kapankah mereka akan meledak? Tak ingin terus dalam kepura-puraan, maka Tara yang akan mengambil langkah awal. Memberanikan diri untuk menusuk jantungnya sendiri.
Tara menatap pantulan dirinya di cermin. Semenjak kembalinya dari Pulau Tidung. Tara mulai memperhatikan penampilannya, ia bersolek, dan mengeluarkan koleksi pakaian modisnya sebelum menikah yang beruntung masih bisa ia kenakan. Dirinya pun tak segan-segan membeli beberapa potong pakaian baru yang akan semakin mempercantik dirinya. Ia tak lagi pelit pada dirinya sendiri. Impian masa depannya telah musnah, begitupun dengan rencana-rencana yang menjadi tujuannya giat mengumpulkan banyak uang. Kini, Tara ingin menikmati hidupnya.
Setelah dirasa riasannya sudah cukup. Tara meraih ponsel yang berada di meja rias dan menghubungi lelaki itu. Dirinya lelah untuk terus berlari. Inilah saatnya menghadapi lelaki yang sejak awal memang menginginkan hal ini terjadi. Cepat atau lambat semua akan terjadi juga.
“Mas ... hari ini, mari kita makan siang bersama!” ucap Tara begitu Abimanyu menjawab panggilannya. Tara dapat mengdengar lelaki itu mengembuskan napas gusar.
“Aku sibuk, Tara,” ucap lelaki itu tak sabar ingin segera memutus panggilan.
“Terserah padamu saja,” ucap Tara dingin, “kalau kamu memang nggak bisa memberiku sedikit waktumu, maka kamu sendiri yang akan menyesal. Kita udah sama-sama dewasa.”
Ada jeda sebelum Abimanyu berkata, “Apa yang mau kamu bicarakan?”
“Hal yang sebulan lalu mau kamu bicarakan padaku, Mas. Aku yakin, kamu tahu maksudku. Kita bukan anak kecil lagi dan nggak ada gunanya terus belari. Temui aku di restoran Jepang di dekat kantormu tepat jam makan siang.”
Tara segera memutus panggilan tanpa mau menunggu respon dari Abimanyu. Dirinya sudah memberanikan diri dengan susah payah. Ia telah melakukan bagiannya, kini semua pilihan ada di tangan Abimanyu. Mau terus-terusan bersikap bodoh atau mengakhiri semuanya dengan cara damai. Toh dunia Tara telah hancur dan tak ada lagi yang ditakutinya.
Tara memasukkan semua barang keperluannya pada tas tangannya. Pakaian Tara hari ini bergaya formal yang kasual, ia memasangkan blazer coklat dengan dalaman kaos abu-abu yang dipsangkannya dengan celana pendek krem. Melihatnya tampak simple dan elegant. Tara menyempurnakan penampilannya dengan sepasang heels putih motif kotak-kotak hitam dengan hiasan bunga pada bagian depannya yang cantik. Ia menyampirkan tas putihnya dan menatap sekali lagi pantulan dirinya di cermin. Ia memaksakan senyum dan mengangkat sedikit dagunya.
“Tara ... kamu wanita kuat dan laki-laki itu akan menyesali keputusannya yang memilih lelaki lain hanya untuk melepasmu yang sempurna,” ucap Tara pada dirinya sendiri.
Tara menarik napas panjang dan menghelanya perlahan, lalu ia pergi meninggalkan rumah yang mungkin saja akan segera ia tinggalkan begitu kata sepakat terjadi di antara mereka. Menit demi menit telah berlalu, Tara sudah tiba di tempat yang mereka tentukan. Tara memesan makanan lebih dulu, ia memang sengaja datang lebih cepat ke tempat itu, agar bisa mempersiapkan hatinya. Tara mencoba menyusun kata-kata yang akan digunakannya sebagai pembuka pembicaraan mereka dan membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tanpa sadar, jam di tangannya telah menunjuk ke angka dua belas, Tara yang sedari tadi membunuh waktu dengan memainkan gawainya, terkejut saat merasa ada seseorang duduk di hadapannya. Ia menoleh dan menemukan Abimanyu yang langsung memanggil seorang pramusaji untuk memesan makanannya. Ia bertanya pada Tara, apa wanita itu ingin menambah pesanan yang langsung dijawab dengan gelengan oleh Tara. Ia hanya ingin semua cepat selesai.
Keduanya saling bertatapan, seakan ingin membaca pikiran satu sama lain, akan tetapi kini semuanya telah berubah. Mereka tak lagi saling mengenali, hingga mata yang ada di hadapan mereka terlihat kosong, tak lagi memiliki cahaya yang membuatnya terlihat hidup.
“Apa yang mau kamu bicarakan, Ra?” tanya Abimanyu memecah keheningan di antara mereka. Tara tersenyum dingin melihat betapa santainya lelaki itu membuka pembicaraan di antara mereka, seakan memang sejak awal tak pernah ada rasa yang mengikat hati mereka. Benarkah rasa bisa dibunuh begitu saja, hingga tak tersisa sedikit pun? Andai saja, Tara dapat melakukan hal yang sama, maka dirinya tak menderita sendiri.
“Sudah berapa lama hubungamu dengannya?” tanya Tara langsung pada intinya. Ia muak berbasa-basi dan lelah dengan semua kepura-puraan di antara mereka. Seperti yang Tara tebak, lelaki itu tak terkejut sedikit pun dengan perkataannya.
“Satu tahunan, setelah family gathering dari perusahaanmu tahun lalu,” Abimanyu tersenyum tipis, “entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja dia menghubungiku, membicarakan banyak hal, dan menemukan kecocokan. Tanpa sadar, aku telah jatuh cinta padanya.”
Pedih menjalar ke penjuru hati Tara, namun ia menahan semua rasa sakit itu. Sudah begitu lama ia dikhianati dan bodohnya ia baru mengetahui semuanya sekarang. Bagaimana bisa ia tak membaca semua tanda-tanda yang diberikan lelaki itu. Harusnya sejak awal ia sadar, jika lelaki itu tak lagi mencintainya. Keengganannya untuk bercinta, berbicara, dan perhatian yang kurang adalah tanda-tanda nyata yang lelaki itu tunjukkan. Sayang, Tara memang seorang i***t.
“Jadi ... sudah selama itu kalian membodohiku?” Tara menaikkan sebelah alis dan tertawa mengejek, “hebat banget. Harusnya kalian berdua memenangkan piala atas akting yang sempurna, membuat penonton begitu terhibur.”
“Tara ... aku nggak bermaksud membodohimu. Aku mau mengatakan semuanya.”
Tara tersenyum miring. “Pada akhirnya, aku yang memulai pembicaraan ini, bukan kamu, Mas.” Tara menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. Sungguh hatinya sakit bukan main mendengarkan kejujuran yang selama ini ia coba hindari. Jujur itu memang menyakitkan.
“Kamu yang selalu menghindar saat aku ingin mengatakan semuanya, Ra!” lelaki itu tampak marah, menyalahkan Tara yang tidak lain adalah seorang korban. Konyol!
“Aku memang selalu salah di matamu, hingga kamu mencari kesempurnaan di dalam diri wanita lain. Aku memang nggak lagi menarik dan semua itu kesalahanku,” cibir Tara, “kamu yang maha benar harusnya tahu tak perlu berlama-lama menjadi bodoh, bukan?”
Abimanyu menggebrak meja. Ia sungguh tak menyangka Tara sanggup mengeluarkan kata-kata seperti itu padanya. Biasanya wanita itu akan berkata lembut, penuh perhatian, dan tak mungkin mau mengejeknya dengan kata-kata menyakitkan seperti sekarang. Apa yang Abimanyu lewatkan, mengapa ia tak menyadari perubahan wanita itu?
“Aku nggak pernah mengataiku maha benar, Ra. Kamu dengan segala kesempurnaan dan rencana yang harus berjalan adalah satu-satunya orang yang sok benar dalam hubungan kita. Tanpa sadar, kamu membuatku tertekan dengan semua mimpimu, Ra!”
Tara tersenyum masam. Padahal, dulu lelaki itu suka mendengar semua rencana-rencana tentang masa depan mereka dan selalu ingin ikut terlibat. Lelaki itu kerap menanyakan apa keinginannya dan apa yang sebaiknya mereka lakukan setelah mempunyai anak nanti. Bagaimana secara tiba-tiba lelaki itu merasa tertekan pada mimpi mereka?