Suasana di antara mereka mendadak hening. Keduanya saling menatap penuh amarah. Tara tak pernah menyangka setelah sekian lama tak pernah saling bertukar perasaan melalui kata-kata, ini adalah pembicaraan pertama mereka tentang hati. Mereka memang tak pernah lagi membicarakan cinta. Ah ... mungkin memang rasa itu hanyalah ilusi yang sejak awal menjebak mereka bersama, tak pernah ada cinta karna tak mungkin rasa itu bisa tergantikan dengan mudah.
“Rumah tangga dibangun oleh dua orang, Mas. Bukan olehku seorang, jadi bagaimana kamu mengatakan semua itu sebagai mimpiku sendiri? Kamu yang pertama kali memberikanku mimpi, Mas. Tentang cinta, pernikahan, dan juga masa depan,” ucap Tara seraya mengigit bibir bawahnya yang mulai bergetar, kesedihan semakin mendominasi hatinya, perih tak kunjung mau pergi walau ia memaki-maki dirinya sendiri dalam hati. Membenci dirinya yang begitu lemah.
Jika saja ia lebih awal mengerti tentang arti cinta, maka semuanya akan jauh lebih baik. Dirinya tak mungkin terjebak dalam kesemuan yang terjadi di antara mereka. Rasa yang bertahun-tahun menghiasi hati, tak lagi bisa ia percayai keberadaannya.Mungkin juga, cinta tak pernah berubah, namun manusianya lah yang berubah. Seperti Abimanyu yang tak lagi sehangat dulu dan berjalan meningglkannya sendiri dalam kegelapan.
“Harusnya kamu berkaca, Tara,” lelaki itu tersenyum miring, “dalam rencana yang kamu buat, selalu tentang kamu dan kemauanmu aja, Tara. Kita nggak lagi bisa berjalan bersama.”
Tara tahu, saat seseorang tak lagi merasa nyaman saat bersama, maka orang itu akan mencari beribu alasan untuk menjauh. Tak perlu pembenaran karna apa yang ia lakukan hanya dianggap sebagai kesalahan. Tak ada gunanya ia terus menggenggam terlalu erat apa yang ingin dilepaskan. Mungkin, memang kapal mereka telah karam, semua telah tenggelam dalam samudera dan tak lagi bisa ditemukan. Entah perasaan atau manusianya yang salah, hingga membuat kebahagiaan terasa sementara, tak mungkin bisa abadi.
“Aku nggak mau lagi berdebat,” ucap Tara lirih. Tara tak sanggup lagi menahan rasa sesak yang menyakitkan itu. Mendengar kenyataan menyakitkan itu langsung dari bibir lelaki itu, membuat jantung Tara seakan diremas. Ia tak mau lagi membunuh hatinya sendiri.
“Aku pun nggak mau mengajakmu berdebat, Tara.”
Pandangan mereka saling terkunci. Entah mengapa sekarang berbicara adalah hal yang terasa begitu sulit bagi mereka. Padahal dulu, saat akhir pekan, mereka suka saling bercerta dengan asyiknya, bercanda tawa, dan membingkai banyak kenangan indah bersama. Ah tak hanya di saat akhir pekan mereka menghabiskan waktu dengan bercakap-cakap. Dulu sekali, mereka cepat-cepat membersihkan diri agar bisa bersantai di ranjang, berbagi cerita tentang kegiatan mereka seharian penuh, dan juga rencana-rencana masa depan.
Dulu semua terasa mudah dan menyenankan. Kebersamaan selalu membuat hati mereka dipenuhi dengan kebahagiaan. Namun, lihatlah mereka kini tak lagi mau berbicara panjang lebar dan merasa sesak saat bersama. Entah pernikahan yang mengubah seseorang atau perasaan mereka terlalu rapuh hingga mudah sekali digoyahkan dengan hadirnya orang lain.
Tara menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. Ia tak mau lagi memaksakan rasa. Kebersamaan tak lagi apa yang membuat mereka bahagia. Terjebak dalam pernikahan yang salah hanya memperburuk keadaan, menjadi racun yang perlahan mengkonsumsi hati, membuatmu mati dengan cara yang mengenaskan.
“Sebaiknya kita bercerai. Nggak perlu lagi bertahan dalam bahtera yang telah hancur ini. Aku melepaskanmu, Mas. Kamu bebas pergi dan menikmati cinta barumu,” ucap Tara sembari tersenyum manis, menutupi luka yang lelaki itu torehkan di hatinya.
Abimanyu terpaku sesaat. Dalam diam dia memperhatikan Tara. Wanita itu jauh lebih kurus dari sebelumnya dan entah mengapa ia tak menyadari semua itu sebelumnya. Tara semakin cantik dan modis. Ternyata banyak hal yang telah ia lewatkan dari Tara. Saat masuk menemui Tara, Abimanyu secara tak sengaja melihat banyak mata lelaki yang menatap berminat pada wanita yang telah menemaninya selama lima tahun. Entah mengapa kini Abimanyu mulai melihat banyak hal dari Tara yang sejak setahun lalu tak pernah lagi diperhatikannya. Seharusnya memang inilah yang terjadi di antara mereka, perceraian.
“Kalau memang nggak ada lagi cinta, untuk apa kita mempertahankan rumah tangga ini? Kamu hanya akan membuatku ikut terombang-ambing di lautan.”
“Maaf ... aku benar-benar mencintainya. Im so deeply in love with her, tapi perceraian bukan jalan keluar yang kuinginkan. Kamu tahu sendiri kalau kita nggak mungin bisa bercerai.”
Ya, dirinya seharusnya bahagia dengan usul Tara yang sebenarnya sejak sebulan lalu ingin ia ungkapkan, tetapi urung ia lakukan karna sebulan lalu saat Tara menghilang, ibunya jatuh sakit, membuat Abimanyu tak mungkin menceraikan wanita kesayangan ibunya itu. Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada ibunya. Ketika sakit pun hanya nama Tara yang terus diucapkan ibunya, hingga perlahan ia mengurungkan niat mengajak Tara berbicara serius.
“Jadi ... apa yang kamu inginkan? Terus membawaku mengikuti permainanmu?”
Lelaki itu menatap wanita di hadapannya serba salah. “Bisakah kamu menunggu sampai mama sembuh? Aku nggak mau membuat serangan jantungnya kembali kumat karna kabar perceraian kita. Kasih aku waktu.”
Dirinya sungguh tak mengerti, mengapa Tara begitu tega pada ibunya yang meyayangi Tara dengan tulus? Wanita itu terlalu egois jika ingin tetap bercerai saat ini juga. Padahal, Abimanyu sudah membawa Tara kepada ibunya dan membuat ibunya kembali bersemangat. Bagaimana jika semua kebahagiaan ibunya retak karna kabar yang ia sampaikan.
Tara tersenyum miris. Lalu selama waktu menunggu itu, haruskah ia terus tersakiti? Ia pikir, dirinya bisa pura-pura melupakan cinta, berlagak baik-baik saja, akan tetapi hal itu sulit dilakukan. Ia tak bisa terus-terusan tegar, saat hatinya dihancurkan berkeping-keping. Ia tak mau melihat mata di mana tak ada lagi cinta untuknya. Apakah ia masih bisa bertahan?
“Menurutmu, harus berapa lama lagi aku menunggu? Kamu punya kehidupanmu sendiri, begitupun juga dengan aku,” ucap wanita itu sembari memasang wajah datar. Terlalu sering disakiti, membuatnya sadar, jika memang inilah yang bisa ia lakukan. Berpura-pura.
Abimanyu menautkan kedua alis dan menatap Tara meneliti. Masih tak mengerti mengapa kini wanita itu yang tampak tergesa-gesa. Padahal dorongan dari Dania yang dulu membuat Abimanyu merasa tak sabar untuk segera berbicara mengenai perceraian pada Tara, akan tetapi kini bukanlah saat yang tepat. Abimanyu bahkan sudah merayu Dania untuk bersama.
“Kau ... ada lelaki lain dalam hidupmu?” suara lelaki itu seakan tercekat. Ia tak pernah membayangkan istri yang begitu mencintai dan setia padanya telah berpaling. Dirinya yang terlalu sibuk dengan wanita lain hingga tak menyadari semua itu atau memang sejak awal, mereka hanyalah dua orang yang terpaksa untuk bersama?
Wanita itu menyambar tas tangan yang diletakkannya di kursi samping dan tersenyum. “Seharusnya kamu nggak lagi memperdulikan tentangku, Mas. Aku sudah melapangkan hati untuk melepasmu dan aku mau kamu nggak ikut campur lagi dalam urusan pribadiku,” ucapnya tersenyum manis seraya berdiri, “aku permisi dulu,” lanjutnya.
Abimanyu menatap kosong punggung Tara yang kian menjauh. Persaannya mendadak tidak tenang. Bukan cemburu karna ia sadar rasa itu sudah lama mati dan hanya Dania yang dapat membuatnya merasa damai. Perubahan penampilan Tara dan juga sikap dingin yang tak pernah disadari Abimanyu membuat lelaki itu mulai menyangka-nyangka, apakah Tara yang sudah tahu tentang perselingkuhannya, memutuskan untuk melakukan hal yang sama?
Secara tiba-tiba perih hadir dan menyelimuti hati Abimanyu. Ia meraba dadanya. Harusnya, ia tak lagi merasakan perasaan seperti itu pada Tara yang memang sejak lama ingin ia buang dari hidupnya agar bisa bersama dengan wanita yang dicintainya. Bukankah lebih baik jika memang wanita itu telah menemukan orang lain dalam hidupnya, agar Abimanyu tak merasa begitu bersalah? Ah ... tidak. Harga dirinya seakan direndahkan jika memang itu yang terjadi.