CHAPTER DUA

1787 Words
            Maret 1996              Gadis itu menatap jalanan di depan rumahnya. Jalanan itu ramai oleh anak- anak yang sedang bermain. Anak laki- laki bermain bola sedangkan anak perempuan bermain kejar- kejaran. Ia mendesah pelan, lalu tiba- tiba air mata jatuh dari kelopak matanya.              “Nina.” Gadis itu menoleh ke asal suara dan melihat ibunya mendekat ke arahnya dan memeluknya.              Tak ada yang bisa dilakukan Fani, selain memeluk anaknya. Ia tahu ia tak seharusnya mengurung anaknya, ia tahu seharusnya ia membiarkan Nina bermain bersama anak- anak sebayanya. Ia menangis, tapi ia tidak bisa, ia harus menjaga anaknya. Ia memperlakukan Nina bagai barang pecah belah yang tidak boleh terluka. Ia hanya punya Nina di dunia ini dan ia tak tahu apa yang akan terjadi padanya jika ia harus kehilangan anak semata wayangnya.              Ia akan melakukan apapun untuk Nina. Apapun. Bahkan saat semua orang diluar sana mencemoohnya, ia masih akan terus berjuang untuk anaknya.    ***                    Kara keluar dari kamar dan menyapa Karin yang ada di ruang makan. Gadis itu tengah menyiapkan sarapan. Kara duduk di kursi lalu meminum teh yang sudah Karin siapkan untuknya.              “Kamu baik- baik saja?” tanya Karin yang ikut duduk di depan Kara. Kara mengangguk lalu mengambil roti isi buatan Karin.              “Kita kehilangan dua kontrak untuk iklan.” Kata Karin dengan nada pelan.              Kara terkekeh, “Tidak apa- apa. Sepertinya aku memang butuh istirahat.” Jawabnya. Ia tidak akan ambil pusing. Ia tidak mau mempersulit hidupnya. Kehilangan satu atau dua pekerjaan bukan sesuatu yang harus dipusingkan.              Kara menyantap sarapannya sementara Karin menyiapkan beberapa berkas. Setelah menyelesaikan sarapannya, keduanya keluar dari apartemen menuju basement. Kara mengikuti Karin karena ia tak mungkin menunggu di lobi. Tak ada yang tahu apakah para wartawan itu masih berjaga di dekat apartemennya atau tidak.              Kara hendak masuk ke dalam mobil kala merasakan sinar blitz menerpa wajahnya. Ia menoleh dan melihat beberapa wartawan mulai berjalan cepat ke arahnya.              “Aish, sialaan.” Katanya lalu buru- buru masuk ke dalam mobil dan menyuruh Karin menginjak pedal gas untuk pergi dari tempat itu secepatnya.              Mobil mulai keluar dari area apartemen saat Kara menoleh pada Karin. “Bukankah itu keterlaluan? Aku bahkan belum pernah lari dari wartawan sebelum ini.” Kata Kara. Karin hanya tersenyum kecil sebagai jawaban.              Kara menggeleng- gelengkan kepalanya, tak habis pikir. Ia berdecak, “Kalau aku menemui mereka, apa yang harus aku katakan? Tidak mungkin aku bilang ‘aku tidak mencintai Rayyan atau aku tidak punya niat untuk menikah seumur hidup, atau mungkin, aku terlalu mencintai uang sehingga aku hanya ingin terus bekerja’. Aku tidak mungkin menjawab seperti itu itu.”              “Tapi kalau kamu tidak bicara, mereka akan terus mengejar.” Karin memberi pendapat.    ***                “Beberapa acara mengundangmu untuk melakukan konfirmasi mengenai kejadian kemarin.” Kara baru saja keluar dari ruang dokter saat mendengar Karin mengatakan itu.              “Aku tidak mau berbicara mengenai hal itu di acara manapun.” Kata Kara sambil menutup sebagian wajahnya dengan masker lalu berjalan menuju parkiran sementara Karin menyelesaikan urusan administrasi.              Kara memakai kacamata hitamnya lalu masuk ke dalam mobil. Tak lama Karin menyusul dan duduk di belakang kemudi. Roda mobil kembali berputar menyusuri jalanan yang tampak ramai siang ini.              “Hai Kara.” Kara dan Karin menoleh ke asal suara saat keduanya baru saja memasuki sebuah gedung untuk melakukan pemotretan sebuah majalah. Seorang gadis yang begitu anggun tampak menghampiri mereka. Kara mengulas senyum tipis.              “Aku turun prihatin atas komentar- komentar buruk tentangmu.”              Kara berdehem, belum sempat mengucapkan sepatah kata, gadis itu kembali berbicara, “Pasti sangat sulit.” Gadis itu menarik napas dengan sangat prihatin lalu melanjutkan, “Aku tidak percaya mereka mampu menuliskan komentar- komentar jahat seperti itu.” Gadis itu memegang dadanya dengan dramatis.              Karin menyenggol lengan Kara.              “Terima kasih atas kekhawatiranmu, tapi aku baik- baik saja.” Kara tersenyum kecil lalu berbalik dan kembali berjalan, meninggalkan gadis itu dengan mulut setengah mengangga, tak percaya rekan artisnya tak mengacuhkannya seperti itu. Ia bahkan sudah begitu rendah hati mau menyapanya dan menanyakan kabaranya.              “Perempuan sialaan.” Gadis itu memaki Kara dengan suara pelan.              “Kalau tidak banyak orang, aku mungkin sudah menyumpal mulut besarnya dengan kaus kaki.” Bisik Kara pada Karin yang langsung terkekeh.              Bagi Kara, Yasmin, rekan artis yang baru saja menyapanya adalah musang berbulu domba. Kara tahu seperti apa Yasmin membencinya. Padahal Karin tidak pernah berbuat apa- apa. Karin hanya mengambil beberapa peran utama dari film yang sangat diidam- idamkan gadis itu. Bukan sekali dua kali mereka berdua ikut audisi untuk mendapatkan peran utama, dan Kara yang selalu memenangkannya.              Kara tak pernah membencinya, tapi ia tak suka jika ada orang yang baik di depannya tapi menjelekkannya di belakang.              Sandra : Beberapa wartawan masih berkumpul di sekitar apartemen.              Kara membaca pesan yang baru saja masuk. Ia memperlihatkannya pada Karin.              “Kita harus kembali ke rumah untuk sementara.” Kata Karin.              Kara mengangguk setuju. Ia tidak punya pilihan saat ini. Ia harus kembali ke rumah saat apartemennya tak lagi aman.    ***                Berita itu belum mereda meski sudah berhari- berhari. Beberapa wartawan masih terlihat di depan apartemnnya, Para wartawan juga mulai agresif karena Kara tak juga mau buka suara, begitu juga dengan Rayyan.              “Mau ke mana?” tanya Karin saat melihat Kara keluar dari kamar.              “Olahraga pagi. Aku butuh udara segar.” Kata Kara, “Diluar aman kan?” lanjutnya.              Karin mengangguk, ia melihat Kara memakai topi dan masker lalu berjalan keluar.              Tak banyak yang tahu kalau Kara memiliki tempat tinggal selain Apertemennya. Apartemen adalah satu- satunya yang terekspos hingga ia bisa bernapas sedikit lega di hari- harinya yang semakin runyam.              Ia selalu menolak tawaran Rayyan untuk melakukan konferensi pers untuk membersihkan nama baiknya. Lebih tepatnya, ia bingung apa yang harus ia katakan pada media. Rayyan sudah terlalu baik untuk tak memberondongnya dengan pertanyaan kenapa ia menolaknya. Laki- laki itu sudah sangat baik sampai detik ini.              Kara mengelilingi komplek. Ia berjalan cepat hingga keringat mulai membasahi keningnya. Setelah puas, ia mampir ke sebuah minimarket. Ia mengambil sebotol air mineral dan sebungkus roti lalu membayarnya ke kasir. Ia masih memakai topi dan maskernya. Tak ada yang tahu bahwa ia adalah Kara. Seseorang yang tengah menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan.              Kara menepi di sebuah taman. Ia duduk di sebuah bangku besi dan membuka minumannya. Ia membuka masker dan topinya lalu menegak minumannya. Ia melirik sekelilingnya. Ada sekumpulan anak muda di dekatnya yang kini tengah menatapnya sambil berbisik. Ia menghela napas lalu memakai topinya dan menunduk.              “Dasar wanita tidak tahu diri.”              Kara menoleh tepat saat seseorang tiba- tiba berdiri di depannya. Sorot mata itu menatapnya tepat ke manik matanya. Ia berdiri lalu melihat ke balik punggung pria yang ada di depannya. Gadis yang masih mengucapkan sumpah serapah padanya baru saja melempar sebutir telur dan mengenai punggung laki- laki itu.              Kara hendak memberikan pelajaran pada gadis itu saat lengannya tertahan. Kembali, ia melihat sorot mata laki- laki itu.              “Pergi saja.” Bisik laki- laki itu.              “Kamu tidak apa- apa?” tanya Kara. Ia melihat kumpulan gadis- gadis itu menjauh dari tempatnya.              Laki- laki itu mengangguk.              “Maaf.” Kata Kara.              Laki- laki itu menatap Kara sebentar lalu berjalan menjauh.              Kara mengejar dan mensejajarkan langkahnya. “Berikan jaketmu, aku akan mencucinya.” Kata Kara.              “Tidak perlu. Urus saja dirimu sendiri.”              Kara berhenti, ia menatap punggung laki- laki itu hingga menghilang dari pandangannya.              “Mungkin lain kali aku harus melubangi maskerku agar tak perlu membukanya saat ingin minum.” Pikir Kara.    ***                Kara kembali ke rumah dan melihat Karin sedang menyiapkan sarapan. Ia duduk di bar dapur lalu menuangkan segelas air putih ke gelas dan menegaknya.              “Seseorang mengenaliku dan melempariku dengan telur mentah.” Cerita Kara. Karin yang sedang menghadap ke kompor langsung berbalik.              “Kamu baik- baik saja?”              Kara mengangguk, “Seseorang menyelamatkanku.”              “Siapa?”              Kara mengangkat bahunya, ia berdecak, “Hidupku akan benar- benar sulit.” Katanya lalu berdiri dan masuk ke kamarnya. Kara berdiri di depan meja riasnya dan mengambil foto yang terpajang di sana.              “Aku pikir hidupku sudah cukup keras sebelumnya, aku pikir aku sudah bisa menjalani hidupku dengan baik, tapi ternyata aku salah.” Katanya sambil mengusap figur dalam foto itu.”    ***                Maret, 1998              “Dasar anak aneh.” Seorang anak melemparinya dengan batu kerikil. Gadis kecil itu berjongkok sambil menahan air matanya.              “Tidak ada yang mau bermain denganmu.” Kata anak yang lainnya.              “Lebih baik kamu di rumah saja. Katanya kamu bukan anak baik”              Gadis kecil itu tak kuat lagi, air matanya mengalir. Ia pulang dengan langkah gontai lalu menemui ibunya yang langsung memeluknya.              “Kamu darimana?” tanya perempuan muda itu pada anaknya. “Ibu sudah bilang, jangan keluar rumah, Nina.” Kara tak menjawab, ia mengurai pelukan ibunya lalu masuk ke dalam kamar dan menangis di sana. Kejadian itu terus berulang, ia masih saja berpikir bahwa mungkin hari ini, esok atau mungkin lain waktu, ada seorang teman yang mau mengajaknya bermain. Itupun kalau ia berhasil kabur dari pandangan ibunya.    ***                “Ada beberapa surat yang harus kamu tanda tangani.” Kata Karin saat melihat Kara sedang terduduk di ruang tamu. Tv besar itu menyala, tapi Karin tahu, fokus gadis itu tak ada di sana.              Kara membuka beberapa map yang disodorkan managernya lalu membaca sekilas dan membubuhkan tanda tangannya di tempat seharusnya.              “Usaha kita aman?” tanya Kara. Karin mengangguk. Kara memang mempunyai beberapa usaha yang tak memakai embel- embel namanya, tak banyak yang tahu juga kalau usaha itu miliknya. Selain usaha yang dirintisnya sendiri, ia juga memiliki usaha yang dikelolanya bersama dengan sahabatnya, Sandra dan Kinan.              “Ternyata tidak memakai embel- embel  nama di sebuah usaha ada untungnya juga.” Desah Kara.              “Semua akan baik- baik saja.” Kata Karin. Kara menatap Karin sambil mengangguk. “Rayyan meneleponku barusan, menanyakan keadaanmu.” Lanjut Karin.              Kara baru sadar ia mematikan ponselnya sejak tadi saking tak kuat melihat notifikasi yang masuk dari akun media sosialnya. Ia meraih ponselnya di atas nakas lalu menekan tombol power. Tak butuh waktu lama, bunyi dentingan terdengar berturut- turut tanpa ampun. Mengabaikan notifikasi yang menurutnya tidak penting, ia membuka pesan dari Rayyan.              Laki- laki itu menanyakan keadaannya dan bilang bahwa ia menghawatirkan Kara. Saat pacaran, laki- laki itu memang selalu perhatian. Kara tersenyum, akankah ia menyesal menolak lamaran laki- laki itu. Ia membalas pesan Rayyan dan mengatakan pada laki- laki itu bahwa ia baik- baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dalam hitungan detik, pesannya terbaca dan pesan balasan masuk.              Rayyan : Ayo makan malam. Aku sudah memesan tempat di restoran kesukaanmu.              Kara tersenyum, bagaimana mungkin laki- laki itu bersikap seperti tidak terjadi apa- apa. Laki- laki itu memang terlalu baik untuknya.              Kara menerima ajakan Rayyan. Dia pikir dia butuh keluar rumah untuk menyegarkan pikirannya.  To Be Continue LalunaKia
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD