Alhasil wanita itu jadi seperti penguntit atau paparazi yang selalu mengikuti pergerakan Tama di mana pun berada. Bahkan tak jarang Bianca mengambil foto Tama secara diam-diam, lalu dijadikan koleksi dengan cara dipajang di dinding kamar. Setiap malam dia selalu membayangkan bisa memeluk dan berhubungan lebih akrab dengan Tama melalui foto-foto yang jumlahnya sudah ratusan tersebut.
“Tama, kalau gue nggak bisa dapetin Lo, maka wanita mana pun juga nggak akan bisa. Itu janji gue,” lirih wanita yang tidak lain adalah Bianca tersebut.
Tak lama Tama sudah selesai. Dia keluar dari gedung studio tempatnya mengadakan wawancara tadi. Kini dia ingin kembali ke rumah karena nanti malam ada acara perhelatan terbesar dengan Tama sebagai nominatornya di berbagai nominasi bergengsi di salah hotel mewah di Jakarta.
Mobil Ferrari warna hitam metalic melaju kencang membelah jalanan. Tujuannya adalah gedung apartemen yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Ya, semenjak menjadi artis papan atas Tama memilih tinggal di apartemen dengan griya tawang sebagai atasnya. Properti mewah yang disewa khusus untuknya sangat mengutamakan privasi para pemilik unit. Padahal dulunya dia hanya tinggal di rumah kontrakan yang kecil.
Kendaraan roda empat tersebut berhenti di basement apartemen. Kemudian Tama turun dan melangkah menuju kamarnya yang ada di lantai dua puluh tiga. Tepatnya griya tawang itu sendiri. Bangunan tersendiri dan kabarnya sangat menawan kala dipandang. Key card sudah dia ditempelkan sebagai kunci yang akan membuat pintu terbuka.
Dengan cepat Tama membersihkan diri. Kemudian dia memanaskan makanan yang sudah dimasak oleh asisten rumah tangga. Asisten rumah tangga tersebut datang saat pagi dan pulang ketika semua pekerjaan sudah selesai. Jadi mereka sangat jarang bertemu.
Tama menghempaskan tubuh ke ranjang king size yang sangat empuk. Dia ingin istirahat sejenak sebelum pergi lagi ke hotel nanti malam tentunya dengan senyum kepuraan yang biasa dia tampilkan setiap kali ribuan lensa kamera menjepret dirinya.
Namun, lama kelamaan Tama tidak mengerti lagi. Kapan saat dia jadi dirinya sendiri dan kapan dia memasang topeng. Kepribadiannya yang introvert seakan luntur. Meski sebenarnya semua rutinitas itu membuat batinnya lelah dan gelisah. Dalam artinya, Tama tidak begitu menikmati rutinitasnya saat ini. Dia menyukai bernyanyi. Aktingpun yang baru dia jajal membuat dia merasa lebih berwarna. Namun adakalanya Tama terganggu dengan semua pemberitaan yang selalu melebih-lebihkan tentangnya. Jika dia membalas, maka para netizen bisa saja mencapnya sombong. Sedang image yang dia bangun adalah friendly. Suka tersenyum juga ramah.
Konyol memang. Tapi semua itu sudah dia jalani beberapa bulan belakangan.
***
“Ma, Mama! Mama di mana?”
Darma yang baru pulang dari pabrik memanggil-manggil Lusi, istrinya. Tetapi sudah sekian kali tetap tidak ada jawaban. Padahal biasanya akan langsung menyahut di panggilan pertama atau kedua.
Mereka berencana akan ke rumah sakit hari ini. Ini sudah tahun ketiga Elea koma, tetapi kondisi Elea sama sekali tidak menunjukkan perubahan. Putri mereka itu masih terbaring tak berdaya dengan peralatan rumah sakit yang menempel di tubuh. Semakin hari alat-alat itu makin bertambah. Dosis obat juga sudah meningkat. Andai, tidak ada kejadian itu. Elea mungkin sudah lulus sekolah. Hancur hati Darma dan Lusi tiap kali membayangkan. Pun ucapan-ucapan dokter yang kadang makin mematahkan semangat mereka.
Darma dan Lusi bukan orang paham medis. Tetapi ketika Ayla terbaring di brankas rumah sakit, mereka jadi dipaksa tahu hal-hal medis contohnya Elea tetap bisa mendengar mereka meski sekarang koma. Sebab itu juga mereka tak pernah mau mengeluh di depan Elea.
Rumah mereka sudah terjual, termasuk motor yang menjadi kendaraan satu-satunya juga tidak ada lagi. Sementara itu tagihan rumah sakit terus berjalan setiap bulannya.
Bahkan saat ini mereka sudah menunggak selama sebelas bulan. Sudah hampir mencapai satu tahun. Untung saja ada seorang dokter yang sangat baik memberi mereka keringanan biaya. Jadi mereka bisa terus merawat Elea di rumah sakit tersebut meski kemampuan mereka dalam membayar sangat terbatas.
Kini Darma dan Lusi tinggal di kontrakan sempit dan kumuh. Hanya ini kemampuan mereka sekarang. Mau rumah besarpun jika tidak ada Elea buah hati mereka rasanya akan sama saja. Hampa!
“Ma! Ke mana, sih? Kok dari tadi nggak ada suaranya?” keluh Darma. Dia yang baru pulang kerja tentu sedikit emosi karena tidak disambut oleh Lusi seperti biasanya.
Di meja sudah ada nasi, tempe dan ikan asin goreng. Darma langsung makan dengan lahapnya. Sejak mereka membayar biaya rumah sakit Elea, menu makanan seperti itu sudah biasa bagi lidah mereka. Bahkan kadang hanya dengan jelantah dan garam.
Sampai selesai makan, Lusi tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Rumah yang kecil membuatnya bisa mendengar suara jika sang istri sedang di kamar mandi. Tapi ini tidak ada terdengar apa pun.
“Apa Lusi udah ke rumah sakit duluan, ya?” gumamnya.
Karena tidak juga mendapat jawaban dari pertanyaannya, Damar memutuskan mandi dan berniat menyusul Sang istri ke rumah sakit.
Ojek yang mangkal di tikungan depan gang rumah kontrakan mereka, sudah hafal dengan tujuan Darma dan Lusi setiap dua hari sekali. Bahkan ada yang berbaik hati menggratiskan jasanya sesekali. Termasuk hari ini, Darma mendapat tumpang gratis sampai ke depan rumah sakit.
“Apa tadi istri saya ada naik ojek ke rumah sakit?” tanya Darma pada sopir ojek itu.
“Nggak ada, Pak. Makanya saya pun heran kenapa Bapak hari ini pergi ke rumah sakit sendirian,” sahut si tukang ojek.
“Oh, ya udah kalo begitu saya masuk dulu. Terima kasih, ya, Pak?” Seru Darma yang langsung diangguki oleh tukang ojek tersebut.
Langkah kaki Darma terus berjalan melewati beberapa koridor rumah sakit, sampai akhirnya tiba di ruang paling ujung dengan pintu bercat hijau tua.
Kebetulan sedang ada dokter yang memeriksa kondisi Elea.
“Dokter, bagaimana keadaan Elea?”
Dokter pria berkacamata tersebut menggeleng lemah. Elea tidak memberikan perubahan berarti. Hari-hari yang dia lalui seolah berhenti berputar ketika dia jatuh dari atap gedung. Perbedaannya hanya wajahnya yang semakin memucat meski garis kecantikkan masih terlihat.
Dokter itu kemudian melenggang pergi tanpa mengatakan apa pun. Itu berarti tidak ada respons positif dari tubuh Elea. Masih seperti sebelumnya.
“Oh ya, Dok.” Apa istri saya datang ke mari hari ini?”
Dokter tersebut berhenti sejenak, dan menghampiri Darma lagi. “Tidak, Pak. Hanya Bapak yang datang berkunjung hari ini.” Kemudian betul-betul meninggalkan Darma keluar dari ruangan.
Darma mengerutkan kening. Dia baru sadar bahwa tadi saat selesai mandi dan mengambil baju ganti di lemari, tumpukan pakaian Lusi sudah berkurang banyak. Bahkan lebih dari separuh.
“Astaga, kamu pergi ke mana Lusi? Apa kamu benar-benar pergi meninggalkan aku dan anak kita yang sedang sakit ini?”
Darma jadi teringat pembicaraannya dengan sang istri kemarin malam.
“Pa, sampai kapan kita kayak gini terus. Semua uang kita selalu habis untuk bayar rumah sakit. Kenapa Elea belum juga sadar?” Lusi menangisi keadaan mereka saat ini. Tentunya kemajuan Elea membuat Lusi kecil hati. Rasanya dia mau keluar dari kondisi ini dan kembali seperti dahulu.
Meski Lusi tetap bekerja sebagai jasa cuci setrika pakaian. Malam hari dia pergi ke warung kopi untuk bekerja sebagai pelayan dan tukang cuci piring sampai menjelang pagi. Semua itu dia jalani setiap hari selama hampir tiga tahun ini. Lelah pasti, disaat raganya diminta siap sedia. Fikirannya terus terpusat pada Elea.
Darma tidak jauh berbeda. Siang hari dia bekerja sebagai buruh di pabrik tekstil, malam hari dia menjadi juru parkir di salah satu restoran padang yang ada di ujung jalan raya. Meski tidak besar tetapi cukup untuk membeli beras dan beberapa lauk-pauk.Juga dikumpulkan untuk membayar kontrakan yang untungnya tidak mahal.
“Kita harus sabar, Ma. Elea itu anak kita satu-satunya. Dia sendiri juga nggak mau kayak gini. Kita jangan nyerah gini, dong.” Damar menasihati istrinya meski diri sendiri pun sudah mulai lelah dan tak tahan dengan siklus hidup yang begitu-begitu saja.
“Mama lelah, Pa. Kayaknya Mama nggak sanggup lagi kalau harus terus kayak gini.”
“Husss! Kamu ini ngomong apa, sih? Nggak boleh begitu. Siapa tahu sebentar lagi Elea sadar, jadi semua perjuangan kita nggak sia-sia.” Hibur Darma meski tidak tahu apa benar hari itu tiba?
Lusi menyeka air mata yang sejak tadi membanjiri pipi. Dia tidak kuat lagi harus terus bekerja siang malam, sementara tidak ada kejelasan kapan sang putri akan kembali sadar.
Dalam hati Lusi sudah ingin pergi dari semua ini. Dia tidak bisa menyalahkan siapa pun saat ini. Sadar bahwa semua yang terjadi diluar kendali manusia. Tetapi kembali lagi sebagai manusia biasa, dia merasa cobaan yang dia terima terlalu besar.
“Ya udah, terserah Papa aja. Kita tidur, yuk. Besok Papa harus kerja,” ujarnya.
“Memangnya Mama nggak ada cucian atau setrikaan?” tanya Damar.
“Nggak, Pa. Mama libur satu hari. Besok kita mau jenguk Elea di rumah sakit.”
Tanpa rasa curiga, Darma mengangguk dan mereka pun tertidur di lantai beralas kasur tipis.
Pagi harinya Lusi juga bersikap biasa saja. Tetap menyediakan kopi hitam dan singkong goreng untuk mengganjal perut. Sedangkan makan siang Darma dapat dari jatah buruh di pabrik. Tak jarang dia membawa pulang jatah makan siang tersebut untuk dimakan dengan sang istri saat keuangan sudah sangat menipis.
“Hati-hati.” Hanya itu yang Lusi katakan saat menyalami Darma yang akan pergi bekerja. Namun raut Lusi terlihat kosong.
Kini dia termangu di samping tubuh Elea. Tidak menyangka bahwa hal itu adalah pertanda dari Lusi. Pasti istrinya itu sudah tidak mau lagi hidup di bawah tekanan demi tekanan. Dikejar hutang yang entah kapan mereka bisa bayar. Tanpa terasa air mata jatuh begitu saja dari mata Darma.
Dia harus menjalani semua ini sendirian. Mencari uang untuk biaya Elea, juga untuk biaya hidupnya sendiri.
“Kenapa kamu pergi, Lusi? Apa kamu nggak sayang sama Elea?” tanyanya seolah dia sedang berhadapan dengan Sang istri.
“Bukankah kamu udah janji kita kan berjuang bersama sampai Elea sadar? Tapi kenapa sekarang kamu pergi? Bahkan nggak ninggalin pesan apa pun sama sekali!” lirihnya.
Makin lama bahunya makin keras berguncang. Kesedihan sungguh tengah menggelayuti hatinya saat ini.
Perlahan tangannya terulur menggenggam tangan Elea.
“Nak, apa kamu belum mau bangun? Sampai kapan kamu terus kayak gini? Bahkan sekarang mama udah ninggalin kita. Kamu cepat sadar, ya? Supaya kita bisa cari mama sama-sama lagi,” ucapnya di sela-sela isak tangis yang terus mendera.