Cukup lama Darma berada di sana. Akhirnya dia pulang karena ternyata hari sudah petang.
“Papa pulang dulu, ya? Lusa papa datang lagi.” Darma berujar pada Elea sebelum pulang karena dia harus menjaga parkiran restoran padang mulai jam delapan malam sampai jam satu atau jam dua dini hari.
Tidak ada yang tahu, sepeninggalan Darma dari ruangan Elea, putrinya itu menggerakkan jari kelingking kirinya meski lemah. Mungkin ucapan lirih Darma dan tangis ayahnya itu memacu diri Elea untuk berusaha lebih keras. Dia pastinya sangat sedih ketika tahu ibunya meninggalkan dia dan ayahnya karena tak kuat lagi. Namun, Elea tidak bisa menyalahkan Sang ibu.
***
Kepergian Lusi benar-benar membuat Darma merasa gamang. Berulang kali dia melakukan kesalahan hingga membuat beberapa pengemudi mobil marah karena hampir terjadi tabrakan dengan mobil lain.
Untungnya hari ini restoran tersebut sepi pengunjung. Jam dua belas lewat dia sudah bisa pulang. Jarak yang tidak terlalu jauh membuatnya memilih berjalan kaki saja untuk menghemat biaya. Sekitar tiga puluh menit dia lalui setiap hari pulang pergi ke restoran tersebut. Tidak pernah dia mengeluh akan hal itu sebelumnya.
Namun malam ini semua terasa begitu melelahkan. Pikirannya seperti terlepas dari raga. Titik demi titik air mata jatuh begitu saja seiring kaki yang terus melangkah menuju rumah kecil di salah satu yang sempit. Rumah itu kini lebih menakutkan dari yang terlihat. Karena Darma tahu setelah dia membuka pintu, tidak ada siapapun yang menunggunya untuk pulang. Dia sebatang kara tanpa Elea dan Lusi.
Akhirnya pria tua itu memutuskan langsung tidur tanpa memikirkan kejadian tadi. Meski semua mustahil. Mana mungkin dia bisa berhenti berfikir dimana Lusi. Bahkan jantungnya berdetak kencang setiap kali memikirkan itu.
Hari sudah berganti. Menyatu pagi menyambut dengan kehangatan. Darma kembali disadarkan bahwa sudah tidak ada lagi Lusi di sisinya.
Pria berusia empat puluh tiga tahun itu melangkah gontai untuk membersihkan diri. Setelah itu dia memasak air untuk membuat kopi. Sayangnya wadah tempat bubuk kopi disimpan sudah kosong. Dia beralih ke wadah teh, Ternyata kosong juga. Lalu wadah gula, sama. Kini dia mulai tahu apa yang dirasakan Lusi hingga lebih memilih pergi dari pada bertahan tanpa kepastian dengan hidup terus seperti ini.
Barusan dia hanya membasuh badan dengan air karena tidak ada sabun mandi dan sampo. Odol gigi juga sudah hampir habis. Akhirnya Darma hanya minum air hangat saja dan setelah itu langsung pergi bekerja. Baginya yang tersisa hanya Elea. Dia harus kuat untuk Elea.
Sepanjang jalan dia masih memikirkan semua yang terjadi. Dulu hidup mereka tercukupi meski bukan orang kaya. Elea yang pintar dan ceria selalu mewarnai hidup keduanya. Kerja sekadarnya saja tanpa diburu sesuatu seperti saat ini. Semua berubah saat Elea mengalami kejadian mengenaskan itu sampai hari ini.
Sudah bertahun-tahun dia bekerja di pabrik tanpa kenaikan gaji atau kenaikan jabatan. Semua itu sebab keahliannya yang memang terbatas. Berbeda dengan Lusi yang multitalen. Mungkin itu yang menurun pada Elea sehingga putri semata wayang mereka itu pintar.
Tiba-tiba muncul sebuah pemikiran di benaknya. Jika terus di jalani seorang diri pasti tidak akan mampu. Selama ini dengan bantuan Lusi saja mereka masih menunggak sebelas bulan p********n rumah sakit. Itu pun atas kebaikan salah satu dokter yang menangani Elea. Apalagi kalau dia berjuang sendiri, semuanya akan terasa semakin sulit.
Akhirnya Damar memutuskan untuk memanggil ojek dan pergi ke rumah sakit.
“Loh, Pak Damar mau ke rumah sakit? Bukannya biasanya dua hari sekali ya, Pak?” tanya salah satu ojek. Mereka bahkan sampai hafal dengan jadwal kunjungan Damar dan Lusi ke rumah sakit yaitu dia hari sekali.
“Iya, kata dokter hari ini saya disuruh datang lagi,” ujarnya bohong. Padahal dokter tidak mengatakan apa pun padanya.
Jadwal kunjungan juga mereka sendiri yang menentukan karena menyesuaikan uang yang ada. Sementara pihak rumah sakit tidak masalah kalau pun mereka menjenguk Elea setiap hari. Asal mereka bisa kuat menghadapi kenyataan Elea belum memberikan perubahan signifikan.
Damar sudah sampai. Ia berdiri menatap bangunan rumah sakit di hadapan. Cukup lama dia dalam posisi itu sampai menjadi perhatian beberapa orang yang lewat keluar masuk rumah sakit. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Yang pasti wajahnya murung dan seperti orang yang putus asa.
Tak lama kemudian barulah dia memantapkan hati masuk menuju rumah rawat Elea.
Rumah sakit itu masih sunyi. Hanya ada beberapa orang petugas kebersihan yang menyapu sekitar halaman, lalu beberapa perawat dan dokter yang keluar masuk ke beberapa ruangan. Masih terlalu pagi memang untuk sebuah kunjungan seperti yang dilakukan Damar.
“Loh, Pak Damar tumben pagi-pagi?” tanya seorang petugas kebersihan yang sedang mengepel lantai. Hampir semua orang yang bekerja di rumah sakit tersebut hafal dengan wajah Damar. Bagaimana tidak, sudah hampir tiga tahun Elea berada di sini. Dan selama itu pula dia rutin berkunjung setiap dua hari sekali. Jadi kehadiran Darma juga sudah tidak asing lagi bagi mereka.
“Iya, Bu. Saya ada kerja tambahan. Jadi mungkin akan lebih jarang ke sini,” bohongnya lagi.
“Oh, begitu ya.” Wanita dengan jilbab warna cokelat itu memandang iba pada Damar.
“Semoga Lea cepat sadar dan sembuh seperti sedia kala, Pak.”
Damar hanya mengangguk sambil tersenyum. Lea adalah panggilan orang-orang di rumah sakit pada putrinya. Pasien Lea, gadis muda yang malang, begitulah yang selalu mereka sebut.
Darma sudah berada di depan pintu ruangan Elea dirawat. Cukup lama dia menatap kosong ke hadapan. Sama seperti saat di depan rumah sakit tadi.
Barulah Darma masuk dan menghampiri Elea.
Dia menarik kursi tunggal yang ada di sudut ruangan ke samping brankar sang putri, laku duduk di sana.
“Nak, maafkan mama karena udah ninggalin kita. Papa nggak tahu apa yang mama rasakan sampai memutuskan pergi dari rumah.”
Darma menyeka bulir bening yang tiba-tiba luruh begitu saja.
“Sekarang Papa juga minta maaf sama kamu. Karena mungkin Papa juga kan pergi mencari mama. Kamu pasti bisa berjuang sendiri. Papa janji akan kembali kalau sudah punya uang banyak dan bisa melunasi semua tunggakan di rumah sakit ini.” Berat rasanya mengatakan ini semua. Seolah-olah dia jadi manusia paling bengis dan egois. Namun, hidup juga tidak semudah itu. Jika dia paksakan bisa jadi dirinya mati sendiri di kontrakannya yang sempit. Bukannya mendapat solusi. Mereka nantinya akan lebih saling tercerai. Semua sudah dia fikirkan. Tidak mungkin pihak rumah sakit memutus perawatan Elea karena selama ini mereka juga ada itikad baik membayar.
Damar berhenti sejenak. Seolah tidak mampu melanjutkan kata-kata. Hatinya terlalu sakit saat tadi memutuskan akan meninggalkan Elea seorang diri. Padahal dia jelas tahu bahwa Elea anak tunggal dan tidak punya sanak keluarga lainnya.
Lusi sudah pergi, dan kini dia pun akan pergi juga. Pasti Elea akan menjadi seperti yatim piatu saat bangun nanti. Tetapi Damar juga tidak yakin kapan Elea akan bangun. Menurutnya tiga tahun itu adalah waktu yang sangat lama. Entah Elea akan bisa bangun lagi atau tidak, yang pasti dia sudah menyerah.
Dengan derai air mata yang tak berhenti, Darma terus meluapkan apa yang selama ini mengganjal di hatinya. “Papa sangat menyenangi kalian, kamu dan mamamu. Tapi Papa sangat lelah dengan semua ini. Papa harap kamu akan mengerti suatu hari nanti. Jadi tolong jangan menyalahkan Papa karena ini semua di luar kendali kita.”
Setelah cukup puas merenda kata di hadapan sang putri, akhirnya dia melepaskan pegangan tangan yang sejak tadi bertaut.
Langkahnya sangat pelan saat meninggalkan putrinya. Entah hantu mana yang membuatnya nekat meninggalkan Elea tanpa sebab. Hanya karena Lusi yang pergi begitu saja tanpa pesan, dia pun kehilangan semangat dan berpikiran sama dengan sang istri tersebut.
“Loh, Pak Damar!”
Damar terkejut saat membuka pintu, ada dokter yang akan memeriksa kondisi Elea.
“I-iya, Dok. Saya ada tambahan kerja malam. Jadi datang lagi ini,” ujarnya gugup.
Dokter itu mengernyitkan dahi. Mata Darma mengerling ke sembarang arah, apalagi kedua mata itu terlihat sembap karena dia terlalu lama menangis. Dia curiga pada gerak-gerik Darma yang tak biasa.
Sang dokter tidak lagi menanggapi. Dia berlalu dari hadapan Darma dan masuk ke ruangan. Melihat itu Darma bergegas pergi dengan terburu-buru. Dia takut gelagatnya bisa dibaca oleh orang-orang yang sudah familier dengan wajahnya.
Setelah berada di luar rumah sakit, Darma langsung naik ojek yang memang sengaja mangkal di depan bangunan yang didominasi warna putih tersebut.
Di ruangan tempat Elea dirawat ...
Dokter tertegun saat merasa ada perkembangan pada tubuh pasiennya tersebut. Seperti suhu tubuh yang meningkat dan otak yang sudah menunjukkan reaksi kecil.
“Ada apa, Dok?” tanya perawat wanita yang memperhatikan gerak-gerik sang dokter sejak awal.
“Mulai hari ini, periksa pasien Lea lebih sering. Tubuhnya menunjukkan reaksi positif." Dokter Rian berbinar bahagia. Dia merasa senang dengan perkembangan Elea.
Perawat mengangguk sambil tersenyum. Meski dia baru sekitar satu tahun bekerja di rumah sakit tersebut, tetapi juga tahu bagaimana dokter Rian menangani pasien Lea selama ini. Juga tahu tentang kedua orang tua Elea yang datang setiap dua hari sekali.
Setelah pemeriksaan selesai, dokter dan perawat meninggalkan ruangan tersebut. Berbagai catatan baru sudah berada di tangan mereka sebagai dokumen rumah sakit. Elea adalah kasus pertama dengan koma lebih dari enam bulan lamanya. Jadi semua petugas kesehatan di rumah sakit tersebut memang benar-benar mengamati setiap perkembangan pada tubuh gadis itu.
Debaman kecil yang berasal dari suatu pintu tertutup membuat tubuh Elea kembali bereaksi. Kali ini dua jari di tangan kanannya yang bergerak perlahan. Gerakannya lebih aktif dengan durasi lebih lama dari hari sebelumnya.
Tidak ada yang tahu saat tiba-tiba mengalir bulir bening dari sudut mata Elea. Sadar atau tidak, dia bisa mendengar apa yang dikatakan Darma padanya tadi. Setiap kata yang keluar dari mulut papanya, ternyata bisa masuk ke dalam relung hati, hingga otaknya merekam dan mengakibatkan reaksi pada tubuh.
***
Pagi sudah beranjak siang. Sinar matahari yang tadinya hangat di kulit, kini menjadi panas terik yang membuat semua orang lebih memilih untuk menghindarinya.
Perawat yang ditugaskan dokter tadi kembali memeriksa kondisi Elea.
“Selamat siang, Lea. Apa kabar?” tanya perawat itu. Dia sudah sering melakukan hal tersebut. Menurutnya berbicara dengan pasien dapat menstimulasi syaraf-syaraf di otak pasien tersebut.
Dia melihat layar monitor yang merekam semua aktivitas tubuh Elea. Matanya terbelalak saat melihat sesuatu.
Segera dia menekan tombol yang ada dinding atas brankar untuk memanggil dokter.
Selang beberapa menit kemudian dokter pun datang. “Ada apa?”
“Dokter, lihat,” ucap perawat sembari menunjuk layar.
Dokter itu pun ikut terbelalak. Jantung Elea berdegup sangat kencang. Seperti orang yang baru saja berlari. Meski itu adalah hal yang baik, tetapi dokter juga khawatir kalau sampai hal itu adalah akibat dari reaksi tubuh yang berlebihan karena telah lama tak berfungsi.
Dokter memerintahkan perawat untuk mengambil peralatan kedokteran yang lebih lengkap di gudang. Perawat segera berlari, tanpa sadar dia menangis takut sesuatu yang buruk terjadi pada Elea. Dia tidak rela jika pasien itu harus pergi setelah menjalani serangkaian perawatan selama hampir tiga tahun.